Nggak Semudah Teorinya


516

Nggak Semudah Teorinya

Oleh: Ndaru Anugerah

“Dunia nggak akan terwujud tanpa hidrokarbon, karena semua material utama, membutuhkannya” begitu ungkap seorang netizen.

Apa yang dikatakan netizen tersebut memang benar. Dari mulai bahan tekstil hingga sabun mandi, otomatis semua membutuhkan karbon dalam pembuatannya. Dengan kata lain, tanpa karbon, semua yang kita pakai saban hari nggak akan bisa dihasilkan.

Masalah bukan mungkin atau nggak mungkinnya. Masalahnya adalah The Great Zero Carbon akan tetap dijalankan, whatever it takes. Kalo sang Ndoro sudah berkehendak, anda bisa apa? Lha wong dikibulin soal plandemi Kopit saja, anda terpedaya, terus apa yang bisa anda lakukan? (baca disini, disini dan disini)

Bagi saya, transisi energi itu menghadirkan 2 masalah utama.

Pertama, energi hijau nggak bisa diimplementasikan karena nggak akan bisa mencukupkan jumlah energi pengganti karbon sebanyak yang dibutuhkan, dan kedua boros bahan baku dan lahan dalam pembuatannya. Saya pernah ulas tentang ini, sebelumnya. (baca disini dan disini)

Sekarang kita mau fokus pada pembahasan masalah pertama, soal pasokan energi yang dihasilkan. Darimana kita tahu bahwa sumber energi hijau nggak bisa diandalkan dalam menyediakan energi yang cukup bagi manusia?

Saya mau kasih contoh. Listrik, misalnya.

Kita tahu bahwa sumber energi hijau seperti turbin angin dan matahari nggak akan bisa mencukupkan jumlah listrik yang dibutuhkan manusia, jika dipaksakan menjadi pengganti energi berbasis karbon yang selama ini sebagai penyedia sumber listrik utama.

Berdasarkan data, negara-negara Eropa penghasil sumber energi angin utama (seperti Inggris, Jerman dan Perancis), hanya mampu menghasilkan pasokan listrik sebesar 14%-26% tiap tahunnya. (https://www.reuters.com/markets/commodities/weak-winds-worsened-europes-power-crunch-utilities-need-better-storage-2021-12-22/)

Dengan angka yang demikian kecil, bagaimana mungkin kekurangan energi dalam jumlah besar bisa ditambal?

Kondisi ini diperburuk dengan cuaca ‘seret’ angin, seperti yang terjadi di China pada Oktober 2021 silam. Hal ini menyebabkan tingkat produksi listrik melalui turbin angin menjadi tidak optimal. (https://theconversation.com/chinas-energy-crisis-shows-just-how-hard-it-will-be-to-reach-net-zero-169478)

Mulai kebayang donk, gimana kusutnya situasi ini?

Hal yang sama juga terjadi dengan matahari, terutama pada negara yang mempunyai 4 musim. Di musim dingin dimana matahari nggak menampakkan dirinya, lalu sumber energinya didapat darimana? Apa mau kasus di Texas (dimana orang mati kedinginan) terulang kembali? (baca disini)

Itu baru satu masalah. Hal lain yang menjadi concern adalah tempat penyimpanan energi hijau.

Apa maksudnya?

Selama ini, penyimpanan energi listrik dilakukan dalam hitungan menit atau paling banter dalam hitungan jam. Nggak pernah berhari-hari, karena bahan bakar hidrokarbon bisa menyediakan energi, nggak lama setelah kita memakainya.

Hal ini nggak terjadi pada bahan bakar energi terbarukan.

Misalnya, saat ada matahari, maka energi langsung dapat digunakan. Cuma saat matahari nggak ada karena musim dingin atau faktor lainnya, energinya dapat darimana?

Untuk mengatasi masalah ini, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah mengembangkan kapasitas penyimpanan energi yang bisa bertahan bukan saja dalam hitungan hari, tapi hitungan bulan. Ini juga bisa terjadi pada angin, yang sifatnya situasional alias kadang ada, kadang nggak ada.

Dengan adanya tenpat penyimpanan energi, maka energi tersebut bisa ditangkap dan disimpan untuk kemudian digunakan saat diperlukan. Setidaknya begitu teorinya, bukan?

Masalah muncul saat teori nggak selaras dengan kenyataan di lapangan.

Selain membutuhkan jumlah bahan baku dan energi yang cukup besar untuk membuat tempat penyimpanan, semua beban produksi yang ditimbulkan kelak akan memicu kenaikan harga listrik yang dihasilkan.

Pertanyaannya: siapa yang akan menanggung proses ini selain konsumen?

Jika tempat penyimpanan nggak berhasil dibuat, maka pasokan listrik akan berkurang. Akibatnya pemadaman bergilir terpaksa dilakukan dan kita kembali ke jaman batu dimana listrik menjadi barang yang mahal untuk dikonsumsi.

Efek domino selanjutnya, pengurangan pasokan listrik akan memicu resesi dan sangat mungkin mengakibatkan penggangguran massal karena produksi barang yang dihasilkan tidak mampu diserap oleh pasar akibatnya mahalnya harga.

Apakah ini yang diharapkan?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!