Menyoal Nol Karbon (*Bagian 3)


523

Menyoal Nol Karbon (*Bagian 3)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian terdahulu saya telah menguraikan isu pemanasan global dan juga feasilibitas teori tersebut secara akademis. Saya juga telah mengulas tentang rencana sang Ndoro besar mencari energi alternatif pengganti sebagai energi terbarukan. (baca disini dan disini)

Dengan mengulas kisah di Jerman, anda akan tahu bahwa kebijakan tersebut nantinya akan dicopas ke banyak negara industri maju lainnya. Tinggal tanggalkan penggunaan bahan bakar hidrokarbon, atau beri pajak Karbon setinggi-tingginya bagi perusahaan yang tetap nekat menggunakannya.

Walhasil dengan kebijakan tersebut, memicu bangkrutnya industri di negara-negara maju. Dan ini memang skenario yang telah lama dirancang sejak 1970an.

Selanjutnya, apa yang akan terjadi pada rencana yang sedang dieksekusi tersebut?

Kita kembali melihat situasi di Jerman. Saat ini Jerman memiliki 30 ribu turbin angin yang berarti terbanyak di Benua Eropa. Tetapi, hadirnya turbin angin mendatangkan masalah baru mulai dari tingkat kebisingan yang tinggi hingga bahaya kesehatan infrasonik pada penduduk sekitar.

Itu baru beberapa masalah lingkungan yang ditimbulkan dari penggunaan turbin angin. Di tahun 2025, diprediksi bahwa 25% turbin tersebut perlu diganti dengan yang baru selain masalah pembuangan limbah hasil pengolahan tenaga angin tersebut.

Tahu gelagat bahwa masyarakat akan menggugat eksistensi turbin angin tersebut gegara masalah lingkungan yang ditimbulkannya, Deutsche Bank menyarankan agar negara perlu menciptakan ‘kediktatoran lingkungan’ guna mencapai target di tahun 2030. (https://www.dw.com/en/german-wind-energy-stalls-amid-public-resistance-and-regulatory-hurdles/a-50280676)

Pada tataran teknis, setiap individu atau kelompok yang mempertanyakan atau menggugat masalah lingkungan yang ditimbulkan turbin angin, akan mendapatkan perlakuan represif dari negara. Namanya juga kediktatoran, sudah pasti anti-kritik.

Di saat yang sama, Jerman juga punya rencana untuk menghentikan transportasi berbahan hidrokarbon di tahun 2035 diganti dengan kendaraan elektronik. Ini akan mendatangkan dua masalah besar: pertama pengangguran dan limbah lithium.

Padahal Jerman merupakan negara yang mengandalkan sektor otomotif sebagai pemasukan negara. Dengan peralihan tersebut, maka industri mobil berbahan hidrokarbon akan ditutup dan tentunya memacu pengangguran besar-besaran.

Sementara itu, kendaraan bertenaga lithium bukan kendaraan yang bebas jejak karbon. Kalo boleh jujur jejak karbon yang ditinggalkan industri lithium mulai dari penambangan dan proses produksi, maka polusi yang ditimbulkan lebih buruk daripada mobil diesel sekalipun. (https://www.cbc.ca/news/technology/ev-electric-vehicle-carbon-footprint-1.5394126)

Singkatnya, Jerman butuh listrik tambahan yang jauh lebih besar pada tahun 2050 karena jutaan pengisi daya baterai jelas membutuhkan jaringan listrik yang dapat diandalkan. Sekarang saja Jerman sudah memberlakukan pajak Karbon yang mengakibatkan harga listrik jadi lebih mahal, Dan ini akan memicu keruntuhan industri Jerman dengan lebih cepat.

Dan memang itulah rencana sesungguhnya, seperti yang dikatakan Maurice Strong beberapa dekade yang lalu untuk mewujudkan runtuhnya peradaban industri. Dunia akan dibuat krisis energi sehingga pemadaman lampu menjadi hal yang lumrah terjadi.

Ini tentu saja selaras dengan agenda SDG 2030 PBB dan juga The Great Reset, yaitu untuk mewujudkan pembangunan ‘berkelanjutan’. (Global compact for sustainability)

Satu yang perlu anda ketahui, bahwa agenda hijau yang diajukan Prof. Hans Joachim Schnellnhuber di tahun 2015 tersebut, sejalan dengan surat ensiklik Laudato Si yang dikeluarkan Paus Fransiskus di Vatikan.

“Sains kini telah menemukan daya dukung maksimum dari populasi manusia yang ‘berkelanjutan’ yaitu dibawah 1 milyar orang.” (https://voiceofthefamily.com/professor-schellnhuber-climate-science-and-the-population-problem/)

Maksud dari penyataan Prof. Schnellnhuber adalah bahwa populasi manusia yang kini berjumlah lebih dari 7,8 milyar harus dikurangi menjadi hanya 1 milyar orang saja jumlahnya dengan berbagai cara. Singkatnya inilah rencana depopulasi sesungguhnya.

Dan untuk mewujudkan rencana ini, pertama dunia industri harus dibongkar diganti dengan model yang baru. Christiana Figueres mengatakan, “Ini saatnya kita membongkar model pembangunan ekonomi yang telah usang.” (https://www.americanthinker.com/blog/2018/10/the_hidden_agenda_behind_climate_change.html)

Nggak aneh jika Macron yang pernah jadi bankir Rothschild, ngomong hal yang kurleb sama, “Satu-satunya cara agar kita bisa keluar dari krisis ini adalah dengan menciptakan ekonomi baru yang dapat mengatasi kesenjangan antara yang kaya dan miskin.” (https://uk.finance.yahoo.com/news/france-president-emmanuel-macron-davos-speech-paris-consensus-161400027.html)

Lalu bagaimana caranya agar jenjang antara si kaya dan si miskin bisa diwujudkan?

Tentu saja dengan menurunkan standar hidup masyarakat di Jerman dan negara-negara OECD lainnya agar setara dengan standar hidup di Sudan atau Ethiopia.

Konsekuensinya, akan ada pembatasan perjalanan udara, penggunaan mobil, pergerakan orang hingga menutup industri dalam rangka mewujudkan ekonomi dan tata dunia baru yang berkeadilan, tanpa pencemaran CO2 dan tentu saja ‘berkelanjutan’.

Luar biasa desain yang dikembangkan, bukan?

Dimana kewarasan kita dalam menghadapi rancangan sang Ndoro besar tersebut?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


2 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!