Hikayat Gentong Babi


514

Hikayat Gentong Babi

Oleh: Ndaru Anugerah – 23042024

Dalam politik praktis, para politisi kerap menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya tanpa peduli atas kepentingan umum. Secara umum, tindakan yang dilakukannya, otomatis merugikan masyarakat luas.

“Memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadinya,” begitu kurleb-nya.

Penyalahgunaan ini ada banyak macam.

Satu yang paling kentara adalah politik gentong babi.

Apa maksud dari politik gentong babi tersebut?

Secara historis, gentong biasa digunakan untuk menyimpang daging, salah satunya daging babi. Ini dirasa cukup efektif mengingat gentong merupakan media efektif sebagai wadah menyimpan daging, utamanya di musim dingin.

Namun frasa ‘gentong babi’ baru dipopulerkan saat artikel Chester Collins Maxey yang di terbitkan pada Municipal Review di tahun 1919. Pada artikelnya tersebut, Maxey menggambarkan politik gentong babi sebagai upaya kotor yang dilakukan anggota Kongres dalam meraup dukungan publik dengan cara menggunakan fasilitas negara.

Kok bisa Maxey memakai frasa ‘gentong babi’?

Karena untuk menggambarkan betapa kotornya perilaku politisi dalam mengeksploitasi kemiskinan warganya.

“Saat Perang Saudara berlangsung, para budak diberikan satu tong daging babi asin sebagai hadiah dan mengharuskan mereka bersaing satu sama lain untuk mendapatkan bagian dari ‘pemberian’ tersebut,” ungkap Maxey. (https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/ncr.4110081006)

Perlu anda ketahui bahwa gentong yang berisi babi asin (agar dagingnya awet) adalah makanan umum di rumah tangga AS pada abad ke-19. Uniknya, gentong babi tersebut kerap dipakai sebagai ukuran kesejahteraan suatu keluarga secara finansial.

Pada novel karya James Fenimore Cooper yang berjudul The Chainbearer yang dirilis pada 1845, Cooper menulis, “Saya menganggap sebuah keluarga ada dalam keadaan putus asa saat seorang ibu dapat melihat dasar dari gentong babi yang dimilikinya.” (https://archive.org/details/chainbearer00cooprich)

Singkatnya, gentong babi adalah ukuran sukses tidaknya sebuah keluarga secara ekonomis. Karenanya memberikan gentong itu kepada para budak untuk diperebutkan adalah tindakan ‘barbar’ yang tidak bisa ditoleransi.

Dapatkan anda membayangkan sekawanan buaya yang sedang lapar-laparnya, kemudian anda dengan sengaja melemparkan daging ayam untuk mereka perebutkan? Bukankah tindakan saling libas akan terjadi antar buaya dalam memperebutkan daging ayam tersebut?

Seiring berjalannya waktu, politik gentong babi banyak disematkan kepada para politisi (utamanya anggota legislatif) yang menyelipkan pendanaan proyek lokal yang nggak ada kaitannya dengan proyek nasional dalam scope yang lebih luas.

Adapun pendanaan tersebut sengaja dilakukan untuk kepentingan para legislator tersebut, yang secara spesifik berfungsi untuk menggalang dukungan politik di antara para konstituen.

Lantas kenapa politik gentong babi ini dikritik banyak pihak?

Salah satunya menghambur-hamburkan uang negara. Sudah rahasia umum jika proyek gentong babi memakan biaya yang mehong, dimana ujung-ujungnya rakyat juga yang bakal disuruh membayarnya dalam bentuk pajak.

Selain itu, politik gentong babi tersebut dipakai bukan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan untuk menarik suara rakyat. Masalahnya, etis-kah tindakan yang dilakukan politisi tersebut dibalik penggelontoran ‘bantuan’ bagi rakyat, menggunakan fasilitas negara bukan dari kantongnya sendiri? (https://www.investopedia.com/terms/p/pork_barrel_politics.asp)

Dalam perjalanannya, politik gentong babi banyak dipakai oleh para politisi di beberapa negara. Salah satu contoh paling gamblang atas politik gentong babi yang dipakai oleh para diktator di benua Asia dan Afrika.

Diktator-diktator tersebut acap kali memperkaya diri dan kelompoknya dengan menyalahgunakan kekuasaan, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam garis kemiskinan.

Apa modus yang paling sering diterapkan?

Dari mulai skandal korupsi besar-besaran hingga praktik nepotisme. Pada tataran teknis, bisa berupa suap, penggelapan dana publik, menyorong anggota keluarga untuk ikut kontestasi dan praktik ilegal lainnya yang tujuan utamanya menguntungkan pihak tertentu yang ada di pemerintahan.

Bisa dikatakan bahwa politik gentong babi bakal melahirkan ketidaksetaraan, hilangnya public trust (kepercayaan masyarakat) dan berpotensi merusak institusi demokrasi.

Bagaimana dengan praktik politik gentong babi yang ada di Planet Namek?

Sangat banyak. Petinggi Cikeas salah satunya. Di tahun 2009 semasa menjabat sebagai presiden di Planet Namek, Kebo Cikeas pernah meluncurkan program bertajuk BLT kepada masyarakat luas. Tujuannya sungguh mulia: untuk membantu ekonomi masyakarat misqueen, yang terdampak krisis ekonomi global akibat bangkrutnya Lehman  Brothers. (https://news.detik.com/pemilu/d-1105707/sby-jawab-tudingan-soal-blt)

Masalahnya, program bagi-bagi duit ala Sinterklas tersebut dilaksanakan pada masa kampanye pemilu 2009, yang tentu saja bertujuan untuk meningkatkan popularitas sang Kebo Cikeas, utamanya memobilisasi pemilih pada pilpres yang berlangsung di tahun yang sama. (https://cpps.ugm.ac.id/manipulasi-program-blt-untuk-memenangkan-pilpres-2009/)

Wajar jika BLT tersebut tidak tepat sasaran, karena pada dasarnya yang menerima bantuan adalah mereka yang diprediksi bakal memberi dukungan politik sebagai aksi balas budi setelah ‘dibantu’ dan bukan yang sungguh-sungguh memerlukan bantuan. Jadi sarat muatan politik-nya.

Jadi ada 2 klausul yang dilanggar. Pertama memakai fasilitas negara untuk menggali dukungan masyarakat pada dirinya. Kedua mengeksploitas kemiskinan warga dengan memberikan bantuan, layaknya para budak yang memperebutkan gentong babi dari majikannya. Dengan kata lain BLT bukannya membantu, melainkan hanya menumbuhkan budaya ketergantungan warga pada bantuan dari pemerintah ala pengemis.

Sejarah mencatat, Kebo Cikeas berhasil memenangkan kontestasi pilpres dengan perolehan suara hingga 60%, meskipun gelaran tersebut diikuti oleh 3 paslon. Dan politik gentong babi yang diterapkannya, adalah salah satu faktor peraih kemenangannya.

Sialnya, praktik politik gentong babi juga di copas plek-plek oleh Lurah Planet Namek sebagai penerus Kebo Cikeas.

Seperti apa praktiknya?

Saya pikir, saya tidak perlu membahasnya. Toh anda juga sudah tahu, bukan?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!