Efek Transisi ke Energi Hijau


522

Efek Transisi ke Energi Hijau

Oleh: Ndaru Anugerah

Proses pembentukan tata dunia baru yang diagendakan sang Ndoro besar dan jaringan guritanya lewat pintu masuk skenario plandemi Kopit, jelas bukanlah hal yang sifatnya recehan. Ini fundamental, sifatnya. (https://www.weforum.org/agenda/2022/07/green-energy-transition-democracy-economy)

Ini bukan hanya kita digiring untuk tidak menggunakan bahan bakar fosil, tapi juga ada efek serius yang ditimbulkannya.

Maksudnya?

Baru-baru ini, sebuah riset yang dibuat oleh Dr. Mark Maslin dan rekan-rekannya dari University College London, mengungkapkan hal yang serius untuk dikaji. Menurutnya, transisi ke energi hijau akan menyebabkan kekurangan sumber penting untuk produksi makanan selain menghambat produksi baterai litium-ion sebagai baterai masa depan.

Gimana ceritanya?

Menurut Dr. Maslin, lebih dari 80% pasokan belerang dunia yang ada saat ini, dihasilkan melalui proses desulfurisasi bahan bakar fosil. Jika bahan bakar fosil nggak lagi boleh digunakan, maka pasokan belerang (asam sulfat) di tahun 2040 mendatang, akan minus.

Berdasarkan kalkulasinya, di tahun 2040 mendatang, kebutuhan asam sulfat global ada dikisaran 400 juta ton, namun yang tersedia hanya sekitar 100-320 juta ton saja. Itupun tergantung pada kecepatan net zero carbon dilakukan. Makin cepat, otomatis makin sedikit pasokan asam sulfat-nya. (https://rgs-ibg.onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/geoj.12475)

Memang apa arti penting asam sulfat bagi produksi pangan?

Banyak tentunya. Salah satu yang paling penting adalah bahan baku pupuk fosfor, yang digunakan secara luas untuk mendongkrak hasil pertanian. Aliasnya, asam sulfat dipakai untuk menjaga pasokan pangan global. (https://chemdictionary.org/sulphuric-acid/)

Selain itu, asam sulfat juga dipakai sebagai elemen penting dalam mengekstraksi logam seperti kobalt dan nikel, dimana kedua logam tersebut merupakan anasir dalam pembuatan baterai litium-ion yang ada pada perangkat elektronik saat ini.

Jadi, semakin dekarbonisasi secara intensif dijalankan, maka nggak ada cukup asam sulfat dihasilkan sebagai bahan ekstraksi logam pembuat baterai litium-ion. Padahal kita tahu, bahwa secara masif dikatakan bahwa baterai litium-ion adalah baterai masa depan. (https://catalyst-magazine.org/articles/how-will-tomorrows-lithium-ion-batteries-be-better-than-todays/)

Padahal World Economic Forum mendorong penggunaan baterai litium-ion secara global ke depannya. Ambigu, bukan? (https://www.weforum.org/agenda/2017/09/lithium-ion-batteries-ethics-global-battery-alliance/)

Lantas apa yang bisa disimpulkan?

Masalah pasokan pangan global, memang bukan itu concern dari sang Ndoro besar. Kita bukan digiring untuk memakai pangan yang dihasilkan dari pertanian yang ada saat ini, melainkan pangan sintetis. (baca disini dan disini)

Dan yang kedua, energi hijau hanyalah konsep utopis yang nggak bisa diwujudkan demi kecukupan energi. Manusia hanya akan digiring pada pembatasan energi, dengan narasi transisi ke energi hijau. (baca disini dan disini)

Masalahnya, bisakah manusia hidup dengan keterbatasan akses ke sumber energi?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!