Menyoal Makanan Sehat (*Bagian 2)


528

Menyoal Makanan Sehat (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah – 10112023

Pada bagian pertama tulisan kita sudah bahas tentang nutrisi gelap yang ada pada makanan yang kita makan, dimana jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang nutrisi yang kita kenal selama ini. (baca disini)

Kita juga sudah ulas tentang klaim kosong yang menyatakan bahwa makanan sintetis bersifat ramah lingkungan. Fakta justru menyatakan sebaliknya, dimana produksi makanan sintetis lebih konsumtif terhadap karbon yang ditenggarai sebagai biang kerok pemanasan iklim.

Sekarang kita mau gali lebih dalam lagi tentang sisi gelap makanan sintetis lainya.

Perlu anda ketahui bahwa makanan sintetis memiliki komposisi nutrisi dan keamanan yang berbeda-beda, sesuai dengan merek yang anda konsumsi.

Hal ini berbeda dengan komposisi makanan alami, yang relatif sama.

Ambil contoh daging sapi yang berasal dari peternakan tradisional dan peternakan modern, hasilnya akan relatif sama, karena secara alami daging sapi ya seperti itu. Yang membedakannya adalah cara memberi makan si sapi, yang berimbas pada kualitas daging yang dihasilkan.

Makanya ada istilah daging regular dan daging kualitas premium.

Tapi ini tidak berlaku pada makanan sintetis yang menggunakan bahan dan proses yang berbeda antara satu merek dengan merek lainnya.

Implikasinya adalah bahwa makanan sintetis berpotensi menimbulkan bahaya keamanan pangan. Hal yang paling umum adalah bahaya kontaminasi yang bisa terjadi selama pemrosesan, pengemasan, pengangkutan, penyimpanan atau saat proses memasak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan panel ahli Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis pada Mei 2023 silam, menyatakan bahwa setidaknya ada 53 potensi bahaya kesehatan yang terkait dengan daging sintetis yang dibuat di laboratorium. (https://www.fao.org/3/cc4855en/cc4855en.pdf)

Apa saja potensi yang mungkin terjadi?

Diantaranya kontaminasi logam berat, mikroplastik, nanoplastik dan bahan kimia, bahan tambahan alergi, komponen beracun, antibiotik hingga prion.

Yang mengerikan lagi, beberapa bahan kimia yang digunakan dalam biologi sintetik dan dikategorikan sebagai alat bantu produksi yang tidak bisa dideteksi keberadaannya. Jadi anda nggak tahu, bahan apa itu.

Misalnya suplemen yang digunakan untuk mendorong pertumbuhan protein, yang banyak dipakai oleh perusahaan pembuat daging sintetis yang memerlukan proses instan dalam produksinya.

Berdasarkan klaimnya, suplemen jenis ini mampu menumbuhkan filet dan steak sebesar 80% serta menambah protein dalam produk akhir sebanyak 5 kali lipat. (https://www.foodnavigator.com/Article/2023/09/26/Profuse-Technology-Cultivated-meat-media-supplement-achieves-breakthrough-for-muscle-maturation-in-3D-format)

Kalo hasil produksi yang dijadikan rujukan, ini bisa menjawab kebutuhan pasar.

Masalahnya: apakah faktor keamanan bisa dijadikan rujukannya? Tentu tidak.

Ini bisa terjadi karena proses budidaya daging sintetis rentan menghasilkan limbah beracun hayati.

Maksudnya?

Perlu anda ketahui, bahwa bahan dasar pembuatan daging sintetis adalah gula dan lemak murah yang berasal dari jagung dan kedelai yang merupakan hasil rekayasa genetik, yang ditanam dengan sistem monokultur yang merusak lingkungan karena menggunakan banyak herbisida, pestisida dan juga pupuk sintetis. (https://discover.grasslandbeef.com/blog/lab-grown-meat-is-25-times-worse-for-the-environment/)

Akibatnya, bahan dasar pembuatan daging sintetis sarat akan residu kimia.

Belum lagi saat proses fermentasi untuk menghasilkan produk akhir yang diinginkan. Pada proses ini, ratusan bahan lain ditambahkan guna menambah warna, rasa, aroma atau komposisi tertentu. Apakah ratusan bahan aditif itu yang punya imbas pada produk akhir?

Nah, untuk proses ini, mikroorganisme yang kerap dipakai adalah E.coli yang telah direkayasa secara genetik. Salah satu ciri khas E.coli hasil rekayasa genetik adalah bahwa E.coli tersebut telah resisten terhadap antibiotik yang digunakan untuk membasmi organisme lain yang mungkin muncul dalam proses fermentasi.

Lalu, apakah nggak mungkin E.coli yang resisten terhadap antibiotik tersebut nggak menimbulkan efek samping berupa penyakit bawaan?

Nggak ada yang bisa memastikan hal tersebut.

Satu hal yang diketahui adalah bahwa organisme yang telah mengalami proses editing gen, dapat mengeluarkan metabolit non-target yang berdampak pada kesehatan manusia berupa limbah hayati yang berbahaya.

Hal ini berbeda dengan proses fermentasi tradisional seperti proses pembuatan bir yang menghasilkan limbah, namun limbahnya masih dapat dimakan hewan lain ataupun dibuat kompos sehingga tidak menimbulkan bahaya limbah hayati.

Untuk fermentasi modern yang bersifat sintetis, produk limbahnya harus dinonaktifkan dahulu sebelum bisa dibuang secara aman ke tempat pembuangan sampah.

Masalahnya, apa proses ini dilakukan, atau limbahnya langsung dibuang ke tempat sampah? Bukankah tiap proses netralisasi limbah, otomatis membutuhkan biaya tambahan yang bisa mengurangi margin keuntungan perusahaan, sehingga proses ini sebaiknya dikesampingkan?

Krik, krik, kriikk…

Dengan alasan yang sudah saya jelaskan di atas, berdasarkan 2 indikator yakni banyaknya kadar karbon dioksida yang dihasilkan dan juga produk berupa limbah hayati yang berbahaya bagi lingkungan, apakah tepat kalo kita katakan bahwa proses produksi makanan sintetis yang ultra proses tersebut bersifat ramah lingkungan dan berkelanjutan?

Terlalu klise untuk ditanyakan, bukan?

Lalu mengapa program makanan sintetis ini terus didengungkan oleh sang Ndoro besar?

Jawabannnya ada pada kontrol. Dengan narasi adanya bahaya iklim berupa pemanasan global yang dipicu oleh penggunaan bahan bakar karbon, otomatis akan mengurangi produksi pangan secara global.

Solusinya: dibutuhkan makanan alternatif yang nggak bergantung pada faktor iklim dalam proses produksinya. Dan makanan sintetis menjawab masalah ini.

Dengan mendistribusikan makanan sintetis kepada masyarakat global, kontrol akan lebih mudah dilakukan. Tinggal tambahin bahan pembuatnya dengan zat yang bersifat lethal pada produk pangan sintetik, apakah program kontrol populasi jadi lebih sulit atau justru lebih mudah dilakukan?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!