Perang Melawan Pertanian (*Bagian 2)


531

Perang Melawan Pertanian (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah – 23112023

Pada bagian pertama tulisan, kita telah membahas bagaimana program pertanian yang dikelola oleh rezim komunis Stalin secara tersentral, berhasil dijalankan dengan membentuk musuh bersama revolusi yang bernama kaum Kulak. (baca disini)

Apa relevansinya kita membahas hal ini?

Karena program yang sama, yakni demi terbentuknya tata kelola pertanian global, kini sedang digarap. Dan kali ini, musuh bersama yang coba dimunculkan bernama pertanian tradisional yang ditenggarai tidak ramah lingkungan dan rentan memicu kerawanan pangan global.

Kalo anda baca beberapa ulasan yang saya berikan, tata kelola pertanian di banyak negara mulai ‘diperangi’, ironisnya oleh pemerintahnya sendiri.

Tujuannya apa?

Sepertinya saya nggak perlu menjelaskan hal itu lagi. (baca disini, disini, disini dan disini)

Singkatnya, demi mencapai target Sustainable Development Goals 2030, maka banyak batasan diberikan pada petani tradisional, termasuk menutup sektor pertanian itu sendiri.

Di AS, misalnya, pemerintahan Biden telah mengeluarkan program cadangan konservasi yang intinya untuk mengurangi tingkat polusi pada bidang pertanian. Solusi yang ditawarkan adalah para petani bakal dibayar oleh pemerintah untuk tidak bertani lagi. (https://thecounter.org/biden-administration-farmers-conservation-reserve-crp-usda-vilsack/)

Ini bukan rencana recehan, mengingat pemerintah AS bakal mengonversi lahan pertanian produktif (sekitar 4 juta hektar) untuk diberakan alias tidak bisa ditanami. Untuk kepentingan ini, butuh dana tambahan sekitar USD 300 juta bagi biaya konversi lahan tersebut.

Hal yang sama juga terjadi di Belanda, dimana program konversi lahan tengah digalakkan oleh negara agar petani tidak lagi bisa bertani.

Bagaimana jika ada yang menolak?

Lahannya akan dibeli secara paksa, selain memotong pinjaman yang bisa diberikan pihak bank kepada para petani. Lha kalo petani kurang modal, sementara pinjaman bank tidak tersedia, apa namanya kalo bukan dibuat mati secara perlahan? (https://www.theguardian.com/environment/2022/nov/30/peak-polluters-last-chance-close-dutch-government)

Di Inggris, dengan skema yang berbeda tapi memiliki tujuan yang sama, juga tengah dibesut.

“Pemerintah akan mendorong para petani untuk menyerahkan tanah mereka. Sebagai gantinya, pemerintah akan memberikan imbalan yang layak atas tanah yang telah mereka konversikan,” demikian kurleb-nya. (https://www.gov.uk/government/news/government-commits-to-support-farmers-who-wish-to-leave-the-industry)

Apakah sistem pertanian tradisional akan benar-benar dihancurkan?

Jawabannya: iya.

Lantas apa solusinya?

Tentu saja tata kelola pertanian baru yang lebih modern dengan sentuhan teknologi, dan diklaim ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ini konsep pertanian yang akan ditawarkan nantinya, yang tentu saja selaras dengan target SDG 2030.

Mungkin kalo anda pernah dengan revolusi hijau, ya seperti itulah konsep yang akan ditawarkan. (baca disini, disini dan disini)

Untuk kepentingan tersebut, sederet narasi telah disiapkan untuk membentuk opini publik.

Salah satu yang cukup populer adalah bagaimana sistem pertanian gandum di Meksiko yang telah sukses memberi pangan dunia, namun menghasilkan gas rumah kaca yang bersifat merusak lingkungan. (https://www.washingtonpost.com/climate-environment/interactive/2021/mexico-fertilizer-nitrous-oxide-emissions/)

Solusi praktis yang ditawarkan adalah dengan mengadopsi teknologi baru yang diklaim dapat menekan penggunaan pupuk nitrogen, sehingga ramah lingkungan.

Diantaranya adalah teknologi yang ditawarkan oleh LSM sekelas International Maize and Wheat Improvement Center (CIMMYT), dengan penggunaan drone, sensor dan teknologi penunjang lainnya agar penggunaan pupuk nitrogen jadi lebih efektif dan efisien.

Kok bisa CIMMYT yang dijadikan rujukan oleh Washington Post?

Karena CIMMYT adalah LSM yang sengaja dibentuk oleh Rockefeller Foundation di tahun 1950an, agar hasil pertanian di Meksiko dapat meningkat. Dengan kata lain CIMMYT adalah kepanjangan tangan kartel Ndoro besar. (https://www.cimmyt.org/about/our-history/)

Lagian, apakah anda lupa bahwa Norman Borlaug yang dikenal sebagai bapak revolusi hijau dan dikenal sebagai ‘pendiri’ Washingon Post, yang terlibat dalam program CIMMYT di Meksiko? Jangan aneh jika CIMMYT dijadikan rujukan oleh media gaek sekelas Washington Post. (https://www.nobelprize.org/prizes/peace/1970/borlaug/facts/)

Apakah program revolusi hijau akan berhasil mengatasi masalah di pertanian tradisional?

Itu retorik untuk ditanyakan, karena pada esensinya program bernama revolusi hijau nggak lain adalah program subsidi penyebaran teknologi milik Big Ag ke seluruh dunia, yang sudah tentu berbiaya sangat mahal.

Apakah teknologi ini berhasil diterapkan?

Anda sudah bisa menjawabnya.

Alih-alih keberhasilan yang ditawarkan, yang ada lahan pertanian tradisional yang tadinya produktif tanpa penggunaan zat-zat kimia produksi Big Ag, dibuat mati secara perlahan akibat penggunaan pupuk hingga herbisida, yang bersifat merusak lahan dan tidak ramah lingkungan. (baca disini, disini dan disini)

Kalo sudah begini, kemungkinannya hanya 2, jual lahan dan tidak bertani lagi, atau opsi kedua dengan tetap bertani, tapi menggunakan teknologi pertanian yang diendorse Big Ag, yang sudah tentu mahal dan nggak ramah lingkungan.

Tapi tetap saja, mau gimana cara yang diambil, hasil pangan nggak akan bisa diandalkan untuk menunjang kecukupan pangan global. Di tahap ini, akan ada solusi praktis, pangan berkelanjutan. Bentuknya bisa makakan dari serangga yang ‘kaya protein’ atau makanan ala GMO yang banyak bertebaran di pasaran.

Kembali ke laptop.

Jadi apa yang bisa disimpulkan?

Perang melawan Kulak ataupun perang melawan petani tradisional saat ini, punya tujuan yang sama, pengendalian dan pembentukan sistem pangan global. Semua bicara tentang kontrol, yang sudah tentu sang Ndoro besar-lah yang pegang kendali atas semua itu.

Jika saat ini anda membaca program besar bernama sustainable development, maka itu sejatinya adalah perbudakan berkelanjutan, dimana anda dan saya yang kelak akan jadi jongos-nya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!