Mematangkan Skenario Kelangkaan Pangan Global (*Bagian 1)


550

Mematangkan Skenario Kelangkaan Pangan Global (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, apakah kelangkaan pangan global itu hanya sekedar isu atau memang ada rencana taktisnya?” tanya seorang netizen.

Saya hanya tersenyum membaca pertanyaan ini.

Kenapa?

Karena suatu isu tetaplah isu tanpa hadirnya rencana taktis untuk mewujudkannya. Untuk itulah isu tersebut harus dijalankan dengan memakai skenario yang telah dirancang. Disinilah rencana taktis diperlukan.

Tapi, saya akan jawab pertanyaan tersebut, agar pembaca mendapat insight dari apa yang saya bahas kali ini.

Anda pasti tahu tentang demonstrasi besar-besaran yang dilakukan baru-baru ini oleh ribuan petani (dan juga peternak) yang ada di Belanda, bukan? (https://abcnews.go.com/Business/wireStory/explainer-dutch-farmers-protesting-emissions-85848026)

Apa penyebabnya?

Karena mereka protes tentang tudingan yang dialamatkan kepada mereka, bahwa mereka sebagai salah satu produsen polusi di Negeri Kincir Angin. Untuk alasan ini, pemerintah Belanda mengajukan rencana untuk memangkas emisi polutan (khususnya nitrogen) yang ditenggarai diproduksi secara masif oleh sektor pertanian.

Rencana ke depannya, atau tepatnya di tahun 2030, emisi polutan di Belanda akan bisa dipangkas sebanyak 50% dari angka saat ini.

Untuk mewujudkan rencana ini, maka para petani di Belanda diberi waktu satu tahun untuk memangkas emisi karbon, yang ini berimbas pada pengurangan volume produk pertanian yang bisa mereka hasilkan.

Pada praktiknya nanti, para petani dipaksa mengurangi jumlah ternaknya (dan hasil pertanian lainnya), karena makin banyak ternak maka makin banyak juga amonia yang dihasilkan. Dan ini makin banyak emisi karbon-nya. (https://www.france24.com/en/live-news/20220622-dutch-farmers-protest-livestock-cuts-to-curb-nitrogen)

Lalu kenapa ini yang disasar?

Untuk jawab pertanyaan ini, kita harus paham dulu apa arti nitrogen bagi manusia.

Perlu anda ketahui bahwa udara yang kita hirup sekitar 78%-nya adalah nitrogen. Oksigen hanya berkontribusi sekitar 20-an saja. Jadi nitrogen merupakan unsur penting dalam proses respirasi manusia. (https://climate.nasa.gov/news/2491/10-interesting-things-about-air/)

Sebagian besar nitrogen di bumi hadir dalam bentuk molekul N2 yang bersifat non-reaktif dengan zat lainnya. Jadi nggak membahayakan bagi manusia. (https://scied.ucar.edu/learning-zone/air-quality/nitrogen)

Sedangkan sisanya, berupa nitrogen oksida yang merugikan karena dituding menyebabkan pemanasan global, seperti amonia (NH3) dan oksida nitrat (NO). (https://www.aeronomie.be/en/news/2021/when-greta-thunberg-encounters-bira-iasb)

Dan sumber utama dari oksida nitrat (NO) adalah pembakaran bahan bakar fosil selain penambahan pupuk ke dalam tanah. (https://tinyurl.com/yn8spr23)

Adalah fakta bahwa kontributor terbesar nitrogen oksida salah satunya adalah sektor pertanian konvensional yang memakai bahan bakar fosil untuk menjalankan mekanisasi pertanian selain memakai pupuk amoniak guna meningkatkan hasil produksinya.

Namun, penelitian yang dilakukan Universitas Virginia di tahun 2017, menyatakan bahwa pertanian organik (yang memakai pupuk kandang dan kompos untuk pemupukan serta menghindari pemakaian bahan-bahan kimia sebagai pestisida), justru bisa memangkas emisi nitrogen sebanyak 64%, ketimbang pertanian ‘konvensional’. (https://www.newhope.com/news/new-research-shows-organic-farming-can-curb-nitrogen-pollution)

Jika memang niat, harusnya dalam rangka memangkas emisi nitrogen global, pertanian yang ada di dunia diarahkan menjadi organik, dan bukan menyalahkan pertaniannya an sich, terus ujug-ujug menutup usaha pertaniannya. Itu sama sekali nggak solutif.

Disini-lah masalah muncul.

Berdasarkan data, sangat sedikit lahan pertanian yang memiliki sertifikat organik. Di Belanda saja hanya sekitar 4%. Sementara di AS, angkanya lebih kecil lagi. Gimana mau beralih ke pertanian organik jika nggak ada good will dari pemangku kebijkan? (https://www.dutchnews.nl/news/2020/05/eating-green-dutch-are-more-inclined-to-go-organic-research/)

Masalah diperburuk, karena perusahaan yang berafiliasi dengan kartel Ndoro besar, seperti: Monsanto, DuPont hingga Syngenta, telah menguasai hak paten bukan saja benih yang akan dipakai para petani, juga menguasai pestisida beracun yang akan diaplikasikan guna menggenjot hasil pertanian. (https://monsanto.news/2018-03-01-big-ag-using-synthetic-fertilizers-nitrogen-causing-dead-zones-and-algal-blooms-waterways.html)

Dengan kata lain, masalahnya jadi tambah kompleks. Bukan saja label pertanian organik sulit untuk didapatkan oleh para petani karena kekurangan modal, mereka juga terpaksa memakai bahan kimia beracun dan juga benih yang disediakan oleh sang Ndoro besar karena nggak ada pilihan lain.

Seharusnya, kalo memang pemanasan global menjadi concern utama, semua pertanian di dunia harusnya difasilitasi untuk beralih ke sistem organik dan bukan malah membatasinya.

Bukannya memfasilitasi, ini malah menjual bahan kimia beracun yang nggak ramah sama lingkungan, selain menggunakan benih hasil rekayasa genetik (yang rentan memunculkan mutasi genetik) kepada para petani yang ada di kolong jagat.

Mengapa ini dilakukan sang Ndoro?

Karena 2 alasan. Pertama menjual bahan kimia beracun dan benih hasil rekayasa genetik kepada petani, banyak mendatangkan ‘cuan’. Dan kedua, langkah ini sengaja dilakukan untuk memuluskan agenda yang lebih besar. Salah satunya kelangkaan pangan. (baca disini dan disini)

Nggak aneh jika pertanian organik tidak akan pernah mendapat prioritas dari sang Ndoro besar, karena memang bukan itu tujuan utamanya dalam upaya mengatasi pemanasan global.

Kalo kemudian para petani Belanda protes atas tudingan miring yang dialamatkan ke mereka, adalah hal yang lumrah, mengingat menutup usaha pertanian mereka, jelas bukanlah solusi dalam mengatasi pemanasan global.

Yang ada, alih-alih mengantisipasi pemanasan global dengan cara ‘membatasi’ usaha pertanian, bahaya kelaparan justru mengintai di depan mata karena produksi pertanian berkurang secara drastis. “Lha orang sedunia mau dikasih makan apa kalo produksinya dibatasi?”

Lalu, kemana arah dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Belanda kepada para petani-nya?

Tentu saja konversi pangan dunia. Dengan adanya kelangkaan produk pertanian, orang dipaksa untuk memakan bahan pangan yang telah disediakan sang Ndoro besar. Dan nggak ada pilihan lain.

Bagaimana teknisnya?

Pada bagian kedua, kita akan membahasnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!