Narasi-Narasi Palsu (*Bagian 2)


524

Narasi-Narasi Palsu (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama tulisan, kita telah bahas paparan yang diberikan oleh mantan pentolan Greenpeace, Dr. Patrick Moore tentang narasi-narasi palsu yang difabrikasi oleh LSM lingkungan tersebut dan juga jaringan lainnya, setelah mendapat order dari sang Ndoro besar. (baca disini)

Dengan kata lain, Dr. Moore mau bilang kalo narasi kiamat lingkungan yang dipicu oleh perubahan iklim, hanyalah sebatas propaganda belaka.

“Prediksi bahwa dunia akan segera berakhir telah ada sejak ribuan tahun, dan itu nggak pernah menjadi kenyataan. Lantas kenapa sekarang kita harus percaya pada narasi tersebut?” paparnya. (https://www.theepochtimes.com/exclusive-former-greenpeace-founder-patrick-moore-debunks-the-false-narratives-of-climate-change_4709568.html)

Menurut Dr. Moore, generasi muda saat ini tengah diajari doktrin sesat bahwa manusia adalah makhluk tak berharga yang punya kontribusi terhadap kerusakan bumi. Dan memang itulah yang terjadi saat ini, bukan? (baca disini dan disini)

Lalu bagaimana tentang karbon dioksida yang dituding sebagai penyebab pemanasan global?

Dunia sudah memanas sejak sekitar 1700an, alias 150 tahun sebelum kita menggunakan bahan bakar fosil yang dituding menghasilkan CO2. Jadi, emisi CO2 yang dihasilkan bahan bakar fosil, nggak signifikan angkanya terhadap pemanasan global.

Dr. Moore lantas memberikan grafik suhu yang diukur secara terus menerus selama 350 tahun (dari tahun 1659 hingga 2009) yang ada di Inggris Tengah. “Jika CO2 adalah penyebab utama pemanasan global, maka akan ada kenaikan suhu sepanjang kurva karbon. Nyatanya itu nggak ada,” ungkapnya.

Sebaliknya, peningkatan kadar CO2 justru memicu peningkatan produksi daun di Australia, Amerika dan Afrika, selama setidaknya 30 tahun terakhir. Penelitian yang dilakukan CSIRO mengamini hal itu. (https://www.csiro.au/en/News/News-releases/2013/Deserts-greening-from-rising-CO2)

Tidak hanya itu, sebab banyak petani rumah kaca komersial yang ada di berbagai belahan dunia malah bersedia membeli CO2 untuk disuntikkan ke dalam rumah kaca yang mereka miliki guna memicu peningkatan hasil panen hingga 60% lebih tinggi. (https://prepareforchange.net/2019/10/06/if-co2-is-so-bad-for-the-planet-why-do-greenhouse-growers-buy-co2-generators-to-double-plant-growth/)

Bisa dikatakan bahwa CO2 bukanlah sampah peradaban, karena sangat banyak gunanya bagi lingkungan hidup manusia.

Bagaimana dengan narasi net zero carbon yang kini tengah didengung-dengungkan?

Dr. Moore menyatakan bahwa netralitas karbon merupakan istilah politik dan bukan istilah ilmiah.

“Adalah salah kaprah menyebut CO2 sebagai karbon, sebab karbon adalah elemen yang terdiri atas berlian, grafit dan jelaga. Sehingga C02 adalah molekul gas yang mengandung oksigen dan karbon yang tak kasat mata yang merupakan makanan utama bagi semua kehidupan,” kilahnya.

Jika unsur-unsur atom bergabung satu sama lain (misalnya karbon dan oksigen) dan membentuk senyawa (molekul), maka zat baru yang terbentuk akan memiliki sifat yang sangat berbeda dari unsur yang mereka buat.

Jadi, karbon dioksida nggak sama dengan karbon. Kenapa tetap disebut karbon, sehingga ada istilah net zero carbon?

Nggak aneh jika Dr, Moore menyebut net zero carbon adalah istilah politik, karena memang nggak bersifat ilmiah. Lagian, kenapa juga yang kerap berpromosi net zero carbon kok tokoh-tokoh sekelas Al Gore, Leonardo DiCaprio hingga Greta Thunberg. Emangnya mereka ilmuwan iklim?

Dengan demikian, asap yang keluar dari mesin kendaraan bukanlah CO2 alias zat lain, karena CO2 nggak akan terlihat dan nggak akan berbau. Sama halnya dengan debu yang berterbangan dan dapat terlihat. Itu jelaga, dan karbon bukanlah jelaga. (https://education.seattlepi.com/co2-odor-4517.html)

Anehnya, net zero carbon terus diulang-ulang kek kaset kusut, demi mempromosikan tatanan dunia baru yang bebas karbon. Dan solusinya adalah dengan menggunakan energi terbarukan seperti tenaga angin dan surya.

Pertanyaannya: memangnya energi ‘hijau’ tersebut bisa diandalkan sebagai pengganti bahan bakar fosil?

Sekali lagi Dr. Moore mengatakan bahwa tenaga surya dan angin, keduanya sangat mahal dan nggak bisa diandalkan sebagai pengganti bahan bakar fosil. “Angin dan energi surya, keduanya adalah parasit ekonomi yang akan membuat suatu negara menjadi lebih miskin karena boros biaya dalam membuat instalasinya ketinbang menggunakan bahan bakar fosil,” ungkapnya.

Dan istalasi berbiaya mahal tersebut ujung-ujungnya akan dikenakan kembali kepada rakyat sebagai penggunanya, dengan dalih bersifat ramah lingkungan.

Asal tahu saja, energi hijau akan membutuhkan lahan yang sangat luas untuk membangun istalasi pembangkitnya, dimana nggak semua tempat bisa menyediakan lahan tersebut. Belum lagi tenaga surya yang sangat bergantung pada cuaca. Nah kalo musim dingin, gimana bisa mendapatkan sinar matahari yang cukup?

Masalah lain adalah pembangunan pembangkit tenaga angin dan surya memerlukan bahan bakar fosil dan juga bahan mentah dari logam tanah jarang, dalam jumlah besar. Bagaimana menyediakan semua itu? Kenapa nggak menggunakan sumber energi utama yang tersedia selama ini yang sudah pasti dapat diandalkan?

Tentang ini saya pernah bahas sebelumnya. (baca disini dan disini)

Dengan semua hal yang telah diungkapkan Dr. Patrick Moore, apakah narasi-narasi palsu yang selama ini dikumandangkan oleh LSM dan juga media mainsteam, layak dipercaya?

Silakan anda simpulkan sendiri.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!