Narasi-Narasi Palsu (*Bagian 1)


524

Narasi-Narasi Palsu (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

Apakah narasi perubahan iklim yang selalu digembar-gemborkan dipicu oleh pemanasan global merupakan hal terjadi secara riil?

Menarik apa yang dikemukakan oleh Dr. Patrick Moore, selaku pendiri LSM lingkungan internasional Greenpeace. Menurutnya gerakan lingkungan yang awalnya dibentuk di tahun 1971, kini telah berubah menjadi gerakan politik praktis, dengan cara membuat narasi yang menebar rasa takut kepada publik.

Siapa yang menyebabkan ini terjadi?

Macam-macam, dari mulai badan dunia sekelas PBB hingga WEF. Setidaknya itu kata mantan orang penting di Greenpeace.

“Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), bukanlah organisasi sains, melainkan organisasi politik yang mempekerjakan para ilmuwan untuk mendukung narasi tentang darurat iklim akibal global warming,” ungkap Dr. Moore. (https://www.theepochtimes.com/exclusive-former-greenpeace-founder-patrick-moore-debunks-the-false-narratives-of-climate-change_4709568.html)

Menurut Dr. Moore, kampanye yang dilakukan dibalik narasi darurat iklim adalah untuk menyerang penggunaan bahan bakar fosil, energi nuklir, CO2, plastik dll. Tujuannya jelas, agar semua tersebut ditinggalkan karena membawa dampak buruk bagi lingkungan.

Kemana arahnya, tentu nggak sulit untuk menebaknya. (baca disini, disini dan disini)

Dr. Moore menambahkan bahwa narasi darurat iklim juga menyasar manusia sebagai makhluk yang paling bertanggungjawab atas perubahan iklim saat ini. Sehingga solusi yang ditawarkan adalah “Dunia akan lebih baik jika ada lebih sedikit orang (yang hidup).”

Tentang ini, saya juga pernah membahasnya. (baca disini, disini dan disini)

Bagaimana Greenpeace yang awalnya punya visi lingkungan dan perdamaian, lambat laun mulai berubah haluan?

Menurut penuturan Dr, Moore, awalnya Greenpeace membuat kampanye blunder tentang pelarangan Klorin di seluruh dunia, yang diberi judul ‘The Toxic Campaign’ di tahun 1990. (https://history.greenpeace.org/aotearoa/toxics-campaign/)

Inti kampanye tersebut adalah bahwa gas klorin sangat beracun dan nggak boleh lagi digunakan di seluruh dunia.

Secara umum, gas klorin memang beracun dan digunakan sebagai senjata pada PD I. Namun, klorin adalah satu dari 94 elemen alami yang punya peran penting dalam bidang biologi dan kesehatan manusia.

Contoh, garam dapur. Bagainama barang ini bisa terbentuk tanpa adanya unsur klorin? Kan nggak mungkin. Selain itu, klorin adalah nutrisi penting bagi semua hewan dan banyak tumbuhan hidup.

Nggak hanya itu, sebab klorin yang ditambahkan pada air minum hingga kolam renang, juga dapat membunuh kuman yang membahayakan bagi kesehatan manusia.

Tahukah anda jika 85% obat-obatan farmasi dibuat dari bahan kimia yang mengandung klorin? Belum lagi semua halogen, dari mulai bromin hingga yodium yang diguanakan sebagai antibiotik, juga nggak bisa terbentuk tanpa hadirnya klorin. (https://poolclinic.com.au/2013/09/01/chlorine/)

Jadi, bagaimana mungkin manusia disuruh untuk tidak menggunakan klorin bagi hidup mereka? Bukankah ini sama saja menyuruh manusia untuk mati secara perlahan?

Masuk akal jika kemudian kampanye tersebut nggak mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat internasional, karena memang nggak masuk diakal. (https://www.greenleft.org.au/content/chlorine-company-targets-greenpeace)

Apakah hanya itu kampanye ‘hijau’ Greenpeace?

Nggak juga tentunya.

Anda mungkin tahu tentang bagaimana dahsyatnya narasi mencairnya es di ujung bumi yang membahayakan nasib Beruang Kutub. Dikatakan bahwa akibat pemanasan global, maka es di kutub mencair sehingga membahayakan populasi Beruang yang tinggal di sana. (https://www.cnsnews.com/news/article/global-warming-real-thing-says-ad-featuring-polar-bears)

Dengan adanya narasi ini, maka orang akan digiring opininya untuk mempercayai skenario darurat iklim. “Kalo es di kutub aja bisa mencair, apakah volume air laut nggak akan bertambah? Bukankah ini dapat membawa efek domino bagi manusia?” demikian kurleb-nya.

Apakah ini riil?

Menurut Dr. Moore, itu hanyalah narasi sesat. “Perjanjian Internasional tentang Beruang Kutub yang ditandatangani oleh semua negara yang ada di kutub di tahun 1973, dengan jelas melarang perburuan beruang kutub. Namun media dan juga Greenpeace, nggak pernah menyorot hal ini,” ungkapnya. (https://polarbearagreement.org/about-us/1973-agreement)

Dengan adanya perjanjian internasional tersebut, populasi Beruang Kutub bukannya berkurang, malah meningkat tajam dari sekitar 6000-an di tahun 1973, menjadi 39.000 saat ini. Dan ini nggak untuk diperdebatkan, karena ada datanya. (https://www.cnsnews.com/article/international/quinn-weimer/report-polar-bear-population-increasing)

“Jika mereka mengatakan bahwa beruang kutub akan punah di tahun 2100 mendatang (akibat pemanasan global), itu jelas berlebihan. Faktanya musim dingin tahun lalu di Kutub Utara malah justru lebih dingin ketimbang musim dingin yang terjadi selama 50 tahun terakhir,” ujar Dr. Moore.

Aliasnya, narasi pemanasan global yang menyebabkan es di kutub mencair dan membahayakan nasib beruang di sana, adalah narasi akal-akalan semata. Semua hanya difabrikasi untuk membuat kita semua takut, sehingga dengan mudah menelan narasi yang dibuat melalui propaganda media.

Apakah ini nggak sama dengan narasi menakutkan tentang plandemi Kopit yang terjadi saat ini? Masa anda nggak ngeh sih?

Pada bagian kedua nanti, kita akan bahas narasi palsu apalagi yang sukses dibuat Greenpeace selama ini dalam rangka buat orang sedunia ketakutan dan percaya akan narasi darurat iklim.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!