Program Delusional (*Bagian 3)


525

Program Delusional (*Bagian 3)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama dan kedua tulisan, kita sudah bahas tentang program energi hijau PBB yang katanya terjangkau dan andal bagi semua.

Nyatanya itu semua hanya klaim kosong yang nggak pernah terbukti. (baca disini dan disini)

Sekarang kita melangkah ke bagian selanjutnya. Dikatakan bahwa pada 2030 mendatang, PBB akan menggelar program energi hijau yang berkelanjutan.

Apa iya berkelanjutan?

Tentang ini saya sebenarnya pernah bahas 2 tahun yang lalu. Robert Bryce dalam bukunya Not in Our Backyard, dengan jelas menyatakan bahwa yang diklaim sebagai energi terbarukan, nggak akan bisa dijalankan alias program yang mengada-ada. (baca disini dan disini)

Kali ini saya akan mengulas hal yang lain, agar bisa anda jadikan sebagai referensi.

Seperti yang kita ketahui bersama, ada 2 sumber energi hijau yang digadang-gadang bisa menjadi energi alternatif masa depan. Pertama energi matahari, dan yang kedua energi angin.

Sekarang kita coba bandingkan kedua energi tersebut dengan energi kotor (fossil fuel), dalam kaitannya dengan konsumsi bahan massal yang diperlukan (seperri beton, baja, aluminium hingga tembaga) dalam membentuk pembangkit.

Apakah lebih irit atau justru lebih boros konsumsi bahan massalnya?

Berdasarkan data, tenaga angin mengkonsumsi 5.931 ton bahan per TeraWatt listrik yang dihasilkan. Sedangkan tenaga matahari mengkonsumsi sebesar 2.441 ton bahan massal per TeraWatt listrik yang dihasilkan. Ini jauh lebih boros dari batu bara, gas dan nuklir sekalipun yang digunakan sebagai pembangkit.

Asal tahu saja, bahwa untuk membangun satu turbin angin, membutuhkan 900 ton baja, 2.500 ton beton dan 45 ton plastik yang nggak bisa didaur ulang. Pembangkit listrik tenaga surya malah membutuhkan lebih banyak lagi semen, baja, kaca dan logam-logam lainnya.

Sudah boros bahan massal, ternyata energi terbarukan juga menghasilkan efisiensi energi yang jauh lebih rendah, ketimbang efisiensi listrik konvensional yang diproduksi dengan memakai bahan bakar fosil. (https://www.flickerpower.com/images/Environment-Destruction-The-Dark-Side-of-Renewable-Energy-1.pdf)

“Permintaan bahan tambang untuk mewujudkan energi terbarukan seperti energi surya, turbin angin dan kendaraan listrik, nggak akan bisa diwujudkan,” begitu ungkap laporan yang dibuat Institute for Sustainable Futures. (https://www.uts.edu.au/sites/default/files/2019-04/ISFEarthworks_Responsible%20minerals%20sourcing%20for%20renewable%20energy_Report.pdf)

Kenapa bisa begitu?

Karena China merupakan produsen utama bagi bahan baku untuk membuat panel surya dan juga kincir angin. Selain itu, China juga memiliki pengaruh besar atas pasar kobalt dan litium yang digunakan dalam menghasilkan batu baterai bagi kendaraan listrik.

Masalahnya, bagaimana mungkin ketersediaan global bisa dipenuhi kalo Barat terus menerus berkonflik dengan China? Apakah ini memang disengaja?

Selain itu, penambangan bahan baku pembuat baterai bagi kendaraan listrik (EV), sarat dengan pencemaran.

Penambangan kobalt yang ada di Kongo adalah salah satu contohnya, dimana proses ini telah menyebabkan kontaminasi logam berat yang berdampak buruk bukan saja bagi penambangnya tapi juga masyarakat sekitar.

Selain itu, proses pemurnian logam tanah jarang yang merupakan salah satu komponen penyusun baterai bagi kendaraan listrik, juga sarat dengan limbah beracun.

“Untuk memproduksi satu ton logam tanah jarang, dihasilkan 420.000 kubik gas beracun, 2600 kubik limbah asam dan satu ton limbah radioaktif,” ungkap Paul Driessen selaku pakar energi. (https://townhall.com/columnists/pauldriessen/2020/08/08/why-dont-these-black-lives-matter-n2573964)

Apakah hanya itu masalah yang disajikan oleh energi terbarukan?

Nggak juga.

Tahukah anda jika untuk menghasilkan energi terbarukan, dibutuhkan luas lahan yang sangat banyak?

Berdasarkan data, untuk membuat pembangkit listrik tenaga surya dan angin, dibutuhkan luasan lahan sekitar 300 kali lebih banyak ketimbang luas lahan yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit tenaga nuklir.

Ini jauh tidak efisien dalam hal penggunaan lahan ketimbang energi yang dihasilkan. Sangat sangat boros. (https://davidturver.substack.com/p/wind-solar-renewables-not-sustainable-not-green)

Dan yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa rencana alih energi ke energi terbarukan ini sangat tidak masuk akal.

Merujuk pada data di tahun 2018, energi global 85%-nya bergantung pada bahan bakar fosil seperti batubara, minyak dan gas. Sedangkan energi nuklir dan energi konvensional lainnya berkontribusi sekitar 10%. Hanya 5% sumber energi terbarukan yang dipakai.

Dengan kata lain, penyedia energi global yang bersifat tak terbarukan, sekitar 95%. Sementara energi terbarukan hanya menyumbang sekitar 5% saja.

Apakah masuk akal mengganti persediaan energi global 95% dengan energi terbarukan yang berkontribusi sekitar 5% saat ini pada 2030 atau paling lambat pada 2050 mendatang? Ini sangat klise untuk dijawab. (https://tupa.gtk.fi/raportti/arkisto/42_2021.pdf)

Belum lagi kalo total kendaraan global berbasis energi kotor yang saat ini mencapai 1,4 milyar akan digantikan dengan kendaraan listrik yang jumlahnya kurang dari 1%. Bagaimana rencana ini mungkin diwujudkan?

Bagaimana dengan kapasitas listrik hijau sebagai energi substitusi yang diperlukan?

Bagaimana mungkin investor mau menaruh uangnya untuk mengembangkan energi hijau sebagai energi substitusi, kalo kondisi balik modalnya (break-even point) nggak bisa dicapai? Investor waras mana yang mau menaruh uangnya untuk rencana tersebut?

Belum lagi jika ditilik dari segi keterpakaian.

Bagaimana bisa baterai bagi kendaraan listrik yang durasi pemakaiannya hanya sekitar 8-10 tahun saja, sementara total kandungan litium, nikel dan kobalt sebagai komponen penyusunnya, cadangannya terbatas alias nggak melimpah?

Kalo semisal baterainya soak, bagaimana bisa menghasilkan baterai baru dengan kandungan unsur penyusun yang terbatas jumlahnya?

Selanjutnya, berapa estimasi biaya energi hijau jika ini diberlakukan?

Untuk kecukupan baterai litium saja secara global, setidaknya dibutuhkan dana investasi sekitar USD 37triliun, menurut perkiraan yang dihitung oleh Van Snyder. (https://vsnyder.substack.com/p/report-about-energy-that-i-requested)

Sedangkan untuk kecukupan biaya listrik, setidaknya dibutuhkan dana reservasi sekitar USD 258-290 triliun di AS, menurut estimasi yang dirilis oleh Ken Gregory. (https://friendsofscience.org/assets/documents/Cost-of-Net-Zero-Electrification-of-the-USAv2.pdf)

Negara mana yang mampu menyediakan dana sebanyak itu?

Sebagai penutup, apa yang bisa disimpulkan?

Bahwa agenda 2030 PBB pada sektor energi yang sejatinya akan menyediakan energi hijau yang terbarukan, hanyalah isapan jempol yang tidak mendasar.

Selain boros lahan dan boros anggaran, rencana ini nggak bisa dikatakan terbarukan mengingat bahan massal yang telah dipakai nggak akan pernah bisa diperbaharui untuk dipakai ulang.

Apa muara atas rencana akal-akalan ini?

Silakan tebak-tebak buah manggis.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)

 


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!