Bersiap ke Ekonomi Hijau (*Bagian 1)


529

Bersiap ke Ekonomi Hijau (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana ekonomi hijau direalisasikan?

Ekonomi hijau adalah ekonomi yang ‘berkelanjutan’ dimana kelak model ini akan menggantikan sistem ekonomi yang lama yang kiblatnya ada pada kapitalisme, menjadi ekonomi yang mengakomodir prinsip ekonomi sirkular yang digadang-gadang bebas karbon dalam implementasi-nya alias ramah lingkungan. (https://sustainabledevelopment.un.org/topics/greeneconomy)

Bisa dikatakan jika green economy adalah pilar tatanan dunia baru yang akan menggantikan ekonomi berbasis bahan bakar karbon yang dipakai dunia selama ini.

Untuk mewujudkan ekonomi hijau, maka perlu endorsement.

Apa perlunya endorsement dilakukan?

Setidaknya ada 2. Pertama agar komunitas global paham cara kerja ekonomi ini. Dan yang kedua, agar arus modal bisa dikanalisasi pada segelintir orang/badan yang kelak disebut sebagai pemangku kepentingan. Makanya, ekonomi ini sering juga disebut sebagai stakeholder capitalism. (baca disini dan disini)

Tentu saja pihak pemangku kepentingan adalah kartel sang Ndoro besar itu sendiri.

Untuk langkah yang pertama, BlackRock didaulat sebagai pembuka jalan dalam menyusun infrastruktur investasi baru. Instrumen yang dipakai nggak lain adalah ESG (Environmental. Social and Governmental) sebagai acuan investasi masa depan. (https://www.blackrock.com/institutions/en-us/solutions/sustainable-investing/esg-integration)

Apa pentingnya instrumen ESG?

Kurang lebihnya rubrik penilaian bagi bank-bank dalam menyalurkan pinjaman bagi perusahaan yang dinilai layak atau tidaknya berdasarkan acuan tersebut. (baca disini dan disini)

Misalnya nih, sebuah perusahaan bergerak di bidang pertambangan minyak, gas atau batubara, maka bisa dipastikan perusahaan tersebut akan mendapat nilai ‘merah’ bagi investor untuk taruh uangnya, karena nggak selaras dengan ekonomi yang ‘berkelanjutan’ selain nggak ramah lingkungan.

Jadi, andaikata sebuah perusahaan menemukan kilang minyak/gas baru bernilai fantastik sekalipun, maka upaya membangun bisnis minyak/gas akan kandas ditengah jalan karena dijamin nggak ada investor yang mau mendanai kilang minyak tersebut.

Silakan anda baca analisa saya tentang Net Zero Carbon agar anda paham maksudnya. (baca disini, disini dan disini)

Atau misalnya sebuah perusahaan mendapatkan pemeringkatan positif oleh ESG karena mempekerjakan karyawan dengan beragam gender serta mengupayakan teknologi paperless, maka bisa dipastikan perusahaan tersebut nggak akan bermasalah dalam menjaring investor sebagai mitra bisnisnya.

Sekali lagi, BlackRock sudah menyediakan rubriknya.

Muara skenario ESG nggak lain adanya terwujudnya situasi bebas karbon pada semua perusahaan yang bergerak diberbagai sektor bisnis.

Lantas, siapa yang kelak akan menjadi investor hijau?

Banyak tentunya. Namun 2 entitas major yang akan mengeksekusinya. Pertama lembaga perbankan utamanya sektor swasta, dan juga jaringan bank-bank sentral. (https://thefintechtimes.com/central-banks-integrate-esg-into-mainstream-activities-according-to-invesco-report/)

Dan yang kedua lembaga keuangan global yang bernaung dibawah Bretton Woods, semisal IMF dan Bank Dunia. (https://thehill.com/opinion/energy-environment/549231-the-esg-movement-needs-help-from-the-imf-and-world-bank/)

Bisa dikatakan jika skema ESG akan punya back up yang kuat untuk dieksekusi.

Sebenarnya, sebelum skema ESG dijalankan, Morgan Stanley sudah lebih dahulu mendirikan Institut Investasi Berkelanjutan (Institute for Sustainable Investing) di tahun 2013 silam. Ini adalah cikal bakal ekonomi hijau. (https://www.fundssociety.com/en/news/business/morgan-stanley-to-invest-1-billion-in-its-newly-created-institute-for-sustainable-investing-2/)

Lalu, untuk memperluas cakupan kemitraan, Morgan menginisiasi Partnership for Carbon Accounting Financials (PCAF) yang bertujuan untuk dekarbonisasi masyarakat global di tahun 2050 mendatang agar dapat menekan laju pemanasan global. (https://www.velaw.com/insights/partnership-for-carbon-accounting-financials-publishes-draft-global-carbon-accounting-standard/)

Upaya ini terbilang sukses, karena di tahun 2020 saja, sudah ratusan bank dan lembaga keuangan bergengsi di dunia yang ikutan bergabung di PCAF, dari mulai Barclays, ABN Amro, Citi Group hingga Amalgamated Bank. (https://carbonaccountingfinancials.com/about#steering-committee)

Dengan demikian bank-bank tersebut akan berkolaborasi membentuk ekosistem keuangan baru yang kelak akan mengubah wajah ekonomi dunia yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Logikanya, kalo bank-bank tersebut akan membentuk ekosistem keuangan global, harusnya mereka termasuk kriteria bank-bank yang bersih, dong? Bagaimana prinsip keberadilan dan keberlanjutan bisa diterapkan jika mereka nggak ‘bersih’?

Pertanyaannya: apakah bank-bank tersebut bersih dari praktik ekonomi kotor?

Justru fakta bicara hal yang sebaliknya.

ABN Amro di tahun lalu telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan Amsterdam, karena terlibat praktik pencucian uang. (https://www.reuters.com/business/abn-amro-settle-money-laundering-probe-574-million-2021-04-19/)

Atau Barclays yang punya catatan hitam karena telah menjalankan praktik pencucian uang di tahun 2015 silam. (https://www.marketwatch.com/story/barclays-fined-for-anti-money-laundering-failings-2015-11-26)

Citi Group juga nggak ketinggalan, karena pernah terbukti bersalah oleh pengadilan gegara menjalankan skema money laundering di tahun 2018. (https://www.reuters.com/article/us-citigroup-fine-idUSKBN1ET25A)

Dengan kata lain, percayakah anda jika bank-bank tersebut didaulat sebagai ekskutor pembentuk ekosistem keuangan global yang baru yang katanya mengusung nilai ‘berkeadilan’ dan ‘berkelanjutan’?

Ini terlalu retorik untuk ditanyakan, bukan?

Bagaimana PCAF mengambil peran bagi pembentukkan ekosistem ekonomi hijau?

Pada bagian selanjutnya kita akan mengulasnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!