Sang Pemangku Kepentingan (*Bagian 1)


530

Sang Pemangku Kepentingan (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, bisa kasih pencerahan tentang siapa yang akan menjadi pemangku kepentingan (stake holder) pada tatanan dunia baru nantinya?” tanya seorang netizen.

Pertanyaannya sederhana, namun untuk menjawabnya dibutuhkan upaya yang lumayan menguras waktu dalam mengulasnya.

Tapi oke-lah, saya mencoba untuk menjawabnya.

Dalam kaji geopolitik, pemangku kebijakan nggak lain adalah para pemodal utama. Mereka-lah yang akan menjadi pamong bagi penduduk dunia, secara khusus yang berkaitan dengan aliran dana yang akan digelontorkan dengan cara menggandeng mitra mereka. (https://www.weforum.org/agenda/2021/01/klaus-schwab-on-what-is-stakeholder-capitalism-history-relevance/)

Siapa saja mitra yang akan digandeng sebagai pemangku kebijakan secara kolektif?

Macam-macam. Mulai dari perusahaan global, bank sentral, yayasan filantropis, lembaga think-tank, NGO, lembaga akademik, hingga badan amal global. Mereka akan berkolaborasi membentuk Kemitraan Global antara Publik dan Swasta alias Global Public-Private Partnership (G3P).

Kemitraan inilah yang akan mengontrol jalannya ekonomi dunia selain menetapkan kebijakan global berupa tata kelola pemerintahan lokal dan nasional. Kelak kebijakan tersebut akan dipromosikan melalui media mainstream yang juga merupakan jaringan kemitraan global.

Untuk kebijakan yang dihasilkan, sebelumnya dirumuskan oleh lembaga think-tank global (semisal CFR, Chatham House, hingga Rockefeller Foundation) yang kemudian diberikan kepada pemerintah. Selanjutnya, kebijakan tersebut akan dituangkan dalam bentuk UU ataupun hukum yang sudah pasti ‘saklek’ dalam implementasinya. Nggak nurut aturan, jeruji besi yang jadi ganjarannya.

“Bukankah selama ini ada aturan yang menegaskan bahwa pemerintahan suatu negara tidak dapat menghasilkan UU/hukum bagi negara lain?”

Memang betul. Ada prinsip kedaulatan negara yang mengaturnya yang bernama Westphalian. (https://www.un.org/en/sections/un-charter/chapter-i/index.html)

Namun dengan adanya tata kelola global (global governance), barrier tersebut dapat diatasi. Kemitraan global kelak dapat menelorkan kebijakan yang akan dipakai oleh banyak negara. Bahasa formalnya ‘rekomendasi’. (https://www.brookings.edu/on-the-record/global-governance-and-what-it-means/)

Tentu saja rekomendasi tersebut harus selaras dengan aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Singkatnya ada konsensus internasional yang akan mengatur ini semua, sehingga saat kebijakan diterapkan, nggak akan mengalami kesulitan untuk implementasinya.

Contoh sederhana-nya adalah saat WHO menerapkan kebijakan ‘Connecting for Health’ dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan pada sektor kesehatan di tahun 2005 silam. (https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/43385/9241593903_eng.pdf?sequence=1&isAllowed=y)

Argumen yang dikemukakan sangat masuk akal, “Karena sektor publik nggak punya sumber daya keuangan maupun kelembagaan yang mumpuni untuk menjawab tantangan yang mereka hadapi, karenanya kolaborasi publik dan swasta mutlak diperlukan.”

Apakah mitra swasta memberi bantuan tanpa syarat?

Tentu saja tidak. Nggak ada makan siang yang gratis.

Dengan diterapkannya kemitraan tersebut, maka peran pemerintah bakal direduksi, yang tadinya memimpin dan membuat kebijakan, kini hanya menjadi debt collector yang menarik pajak dari rakyatnya selain meningkatkan jumlah utangan kepada partner yang ada di kemitraan. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2560730/)

Bahasa sederhananya: pemerintah bakal jadi jongos.

Masalahnya, sebagain besar masyarakat global nggak mengerti dan menolak prinsip kemitraan ini. Yang mereka tahu bahwa pemerintah yang mereka pilih melalui pemilu, mempunyai hak penuh dalam mengatur kedaulatan negara.

Belum lagi kalo kita bahas soal identitas nasional dan juga nilai budaya lokal yang bakal direduksi dengan hadirnya kemitraan global.

Dengan kata lain, jika kemitraan global terbentuk, maka otomatis pemerintah jadi impoten dan hanya bisa berfungsi layaknya jongos.

Adalah World Economic Forum yang telah mengajukan konsep kemitraan global sejak 2010 silam, dalam berbagai aspek, mulai dari: keamanan, kesehatan, sistem keuangan dan moneter, kesejahteraan, ketahanan pangan hingga konsumsi barang dan jasa. (https://www3.weforum.org/docs/WEF_GRI_EverybodysBusiness_Report_2010.pdf)

“Tujuan utamanya adalah membentuk kerjasama dengan Dewan Global yang interdisipliner dan multi stakeholder guna mengatasi kesenjangan global,” ungkap Prof. Klaus Schwab.

Ujung-ujungnya, WEF telah mengajukan Global Redesign sebagai solusi atas masalah-masalah yang mungkin timbul di kemudian hari. (https://www.freedomsphoenix.com/Media/Media-Files/WEF_GRS10_Report.pdf)

Ini jelas menguntungkan buat WEF selaku designer, karena ujung tombak tata kelola global bakal ada di tangan mereka.

Misalkan saat pemerintahan Inggris menjalin kemitraan dengan WEF di tahun 2019 silam dalam rangka mengembangkan tata kelola industri di pemerintahannya, maka sebagai konsekuensinya pemerintah Inggris bakal ‘tunduk’ pada aturan main yang ditetapkan oleh perusahaan global yang menjadi mitra WEF. (https://www.gov.uk/government/news/uk-and-world-economic-forum-to-lead-regulation-revolution-to-foster-industries-of-the-future)

Jika pemerintah Inggris nggak patuh pada WEF dan juga mitra swasta-nya, bisakah mereka mengatur industri nasional mereka yang sesuai dengan aturan mereka an sich? Tentu nggak akan bisa. Money talks

Bisa diambil kesimpulan bahwa azas ‘kemitraan’ antara publik dan swasta hanyalah akal-akalan semata, mengingat publik tidak punya bargaining position pada partnership tersebut. Sebaliknya, pihak swasta-lah yang akan mendikte publik, mengingat mereka punya segalanya sebagai faktor penekan.

Lalu, bagaimana konsep stake holder capitalism akan dijalankan?

Kita akan bahas pada bagian selanjutnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!