Bersiap ke Ekonomi Hijau (*Bagian 2)


529

Bersiap ke Ekonomi Hijau (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama tulisan, kita sudah membahas bagaimana model ekonomi hijau akan diterapkan. Masalahnya, lembaga sekelas PCAF yang didaulat sebagai eksekutor pembentuk ekosistem ekonomi hijau yang berkeadilan dan berkelanjutan, nggak bisa dijadikan rujukan karena terbukti nggak bersih. (baca disini)

Namun demikian, PCAF terus melaju guna mengeksekusi rencana ekonomi hijau. Siapa yang menjadi a man behind the scene bagi lembaga ini?

Dialah Mark Carney yang merupakan mantan Gubernur Bank of England, yang kini menjadi ‘pengamat’ bagi PCAF.

“Untuk mencapai status net zero carbon, kita perlu melakukan transisi ekonomi, dimana tiap perusahaan atau perbankan beserta para investor perlu menyesuaikan pada model bisnis yang baru ini,” ungkap Carney. (https://carbonaccountingfinancials.com/newsitem/partnership-for-carbon-accounting-financials-pcaf-launches-uk-coalition)

Sesuai arahan Carney, maka PCAF pada Agustus 2020 silam menerbitkan draft penghitungan karbon global. Dengan adanya acuan ini, maka para bankir akan membuat aturan akuntansi tentang bagaimana menilai suatu perusahaan berdasarkan jejak karbon yang mereka hasilkan.

Kalo perusahaan dinyatakan hijau, maka otomatis perusahaan tersebut nggak akan bermasalah dalam menjaring investor untuk memajukan usahanya. Begitupun sebaliknya. (https://carbonaccountingfinancials.com/files/downloads/PCAF-Global-GHG-Standard.pdf)

Tangan Carney jugalah yang mendorong jaringan bank sentral dunia alias Bank for International Settlement guna mewujudkan agenda hijau, dengan cara menciptakan arus investasi ke perusahaan-perusahaan ‘berkelanjutan’ dan menjauh ke perusahaan yang diberi label ‘non-green’.

Ini bisa terjadi karena saat Carney menjabat sebagai kepala Dewan Stabilitas Keuangan BIS (FSB), di tahun 2015 dia menginisiasi terbentuknya Gugus Tugas untuk Pengungkapan Keuangan terkait Iklim (TCFD). (https://www.statestreet.com/ideas/articles/mark-carney-tcfd.html/)

TCFD sangat kuat posisinya karena selain diketuai oleh Michael Bloomberg, juga ditunjang oleh para bankir dan jaringan kartel sang Ndoro besar dari mulai JP Morgan, Barclays, Dow Chemical, BlackRock, HSBC, David Blood, hingga BHP yang merupakan raksasa pertambangan di dunia. (https://www.fsb-tcfd.org/members/)

Apa tujuan dibentuknya TCFD (Task Force on Climate Related Financial Disclosures)?

Agar perusahaan mengungkapkan secara transparan laporan keuangan mereka yang berkaitan dengan potensi bahaya iklim yang dapat mengancam suatu perusahaan dan juga jejak karbon-nya. (https://www.fsb.org/2015/12/fsb-to-establish-task-force-on-climate-related-financial-disclosures/)

Misalkan kalo anda berencana membeli rumah dengan sistem kredit di AS sana, maka hipotek yang diberikan oleh bank akan merujuk pada 12 potensi bahaya, dari mulai gempa bumi, hujan es, banjir bandang, tsunami hingga gunung berapi. (https://about.bankofamerica.com/assets/pdf/task-force-climate-financial-disclosures-report.pdf)

Jadi, iklim yang akan dirujuk sebagai potensi yang mengancam laju investasi bisnis. Jika kemudian suatu daerah dianggap berpotensi sebagai ‘daerah merah’ bagi investasi, maka bisa dipastikan daerah tersebut akan ditinggalkan oleh para investor.

Memang darimana asalnya bencana alam tersebut?

Rujukannya nggak lain adalah pemanasan global yang diklaim dipicu oleh meningkatnya emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas manusia.

Padahal yang katanya ‘pemanasan global’ nggak ada kaitannya dengan emisi karbon sama sekali. (baca disini, disini dan disini)

Selain PCAF dan TCFD ada lagi lembaga yang berperan dalam membentuk ekosistem ekonomi hijau, yaitu Sustainability Accounting Standard Boards (SASB).

Apa pentingnya lembaga ini?

Nggak lain sebagai lembaga standarisasi bagi akuntansi yang berkelanjutan pada sektor industri. Dengan adanya acuan yang dikeluarkan SASB, maka investor akan dapat melihat seberapa layak seuatu perusahaan dapat kucuran dana investasi berdasarkan prinsip ESG yang sudah diterapkan. (https://www.ibm.com/blogs/internet-of-things/what-is-sasb-sustainability-accounting-standards-board/)

Kalo bisa dirangkum, maka ketiga lembaga tersebut sengaja dibentuk untuk membuat jaringan ekonomi global yang baru, dengan cara menetapkan aturan main ala mereka. Dengan aturan main tersebut, maka perusahaan akan dinilai kelayakannya untuk diberi kucuran dana investasi berdasarkan status ‘hijau’ tidaknya.

Apa sasaran utama ekonomi hijau?

Tentu saja perusahaan migas dan batubara plus perusahaan petrokimia yang selama ini jadi tulang punggung perekonomian global. Sehingga transisi energi mutlak diperlukan. Dan BlackRock sudah menginisiasi proses ini. (https://oilprice.com/Energy/Energy-General/Why-Are-Investors-Turning-Their-Backs-On-Fossil-Fuel-Projects.html)

Agar bisa berjalan, portofolio yang rendah karbon mulai banyak dibangun. Ini bertujuan agar dapat menarik investor sebanyak-banyaknya. (https://www.blackrock.com/corporate/newsroom/press-releases/article/corporate-one/press-releases/bii-sees-green-energy-transition)

Bahkan Biden sudah ancang-ancang untuk menghapus bisnis migas secara bertahap. Salah satunya dengan melarang sewa baru pada tanah Federal dan lepas pantai yang diajukan Keystone XL pada 2021 silam. Dengan adanya pelarangan ini, energi AS dapat darimana lagi? (https://www.forbes.com/sites/davidblackmon/2022/03/10/why-bidens-killing-of-keystone-xl-was-a-big-energy-blunder/)

Ke depannya, semua yang berkaitan dengan bahan bakar fosil bakal ditinggalkan investor. Dan ini akan berimbas pada runtuhnya ekonomi global yang selama ini mengandalkan bahan bakar fosil sebagai penunjangnya.

Disinilah skenario resetting besar menemui kanalnya. (baca disini, disini dan disini)

Dan sang Ndoro besar telah mempersiapkan panggung baru sebagai penopang ekonomi hijau yang kelak akan digunakan.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!