Pemanasan Global? (*Bagian 1)


522

Pemanasan Global? (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

Apa isu yang paling santer disuarakan setelah plandemi Kopit?

Jawabannya: pemanasan global.

Bahkan saking seriusnya, KTT perubahan iklim PBB (COP27) kembali diadakan di Mesir pada tahun ini, dengan tajuk bernada propaganda, “Planet kita telah mengirim sinyal kesusahan”.

Apa yang dimaksud kata ‘kesusahan’ di sini nggak lain adalah kontribusi CO2 yang dihasilkan manusia bagi aktivitas pemanasan global. Dan ini membawa kesusahan bagi planet bumi. (https://news.yahoo.com/cop27-climate-chaos-warning-un-130239737.html)

Pertanyaannya: apakah benar CO2 hasil aktivitas manusia yang ditenggarai sebagai biang kerok pemanasan global?

Tentang ini saya pernah bahas sebelumnya. (baca disini dan disini)

Sekarang saya coba kasih anda perspektif yang lain tentang ide utopis bertajuk pemanasan global yang telah didengungkan oleh Club of Rome sejak dekade 1970an silam. (baca disini)

Adalah Profesor Claudia von Werlhof selaku sosiolog dan ilmuwan politik asal Austria yang merasa gregetan kepada sosok Greta Thumberg yang berulang-ulang menyuarakan pemanasan global.

Singkatnya Prof. Werlhof menegur Thumberg lewat suratnya, “Pemanasan global itu ide yang mengada-ada. Dan bukan CO2 juga yang menyebabkan bumi memanas.” (https://www.pbme-online.org/2019/02/11/greta-thunberg-the-real-causes-of-the-planetary-disaster/)

Bagaimana Prof. Werlhof sampai pada pemikiran tersebut?

Dalam wawancaranya dengan Onda Italia pada April 2019 silam, beliau mengungkapkan beberapa informasi bernas. (https://www.pbme-online.org/2019/04/16/claudia-von-werlhof-interview-on-geoengineering-haarp-5g/)

“Apa yang selama ini diklaim sebagai pemanasan global nggak lain hanyalah perubahan iklim semata. Data yang dirilis NASA menyatakan bahwa selama 18 tahun terakhir tidak ada pemanasan global secara umum,” ungkapnya

Lalu bagaimana dengan CO2 yang dianggap sebagai agen pemanasan global?

“Ada sekitar 30 ribu ilmuwan di AS yang menyatakan bahwa CO2 bukanlah gas yang bermasalah, sebaliknya, CO2 dipakai tanaman untuk menghasilkan oksigen yang dibutuhkan manusia untuk bernapas. Jadi C02 tidak menyebabkan kerusakan iklim melainkan gas yang dibutuhkan dalam siklus hidup,” tambahnya.

Lucunya, CO2 sering digambarkan sebagai gas sampah yang melayang-layang di udara hasil pembakaran bahan bakar di pabrik atau hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor. “CO2 adalah gas yang tidak terlihat dan nggak berbau. Bagaimana mungkin?” pungkas Prof. Werlhof.

Prof. Werlhof menambahkan bahwa jumlah CO2 yang ada di bumi hanya sekitar 0,038%, dimana 70%-80%-nya berupa uap air. “Adalah tidak mungkin jika sesuatu yang secara kuantitatif kecil dapat mengubah sesuatu yang besar seperi iklim di planet ini,” tegasnya.

Pernyatan yang diungkapkan Prof. Werlhof nggak sendirian. Pemenang Nobel bidang Fisika, Ivar Giaever hingga ilmuwan iklim asalh MIT, Richard Lindzen juga menyuarakan hal yang sama yang intinya mempertanyakan isu pemanasan global.

Lantas mengapa isu ini bisa berkembang dengan cepat?

Karena peran Panel Internasional untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang diklaim sebagai organisasi politik. Lembaga inilah yang terus mengamplifikasi mitos peran gas CO2 terhadap pemanasan global.

Ini bisa terjadi karena IPCC dibidani oleh Club of Rome, World Watch Institute hingga Rockefeller yang semuanya bermuara pada musuh bersama yang sama, yaitu kemanusiaan itu sendiri. (baca disini dan disini)

Siapa yang mengotori bumi dengan sampah? Siapa yang haus bahan bakar penghasil polutan terbesar? Siapa juga yang merusak bumi dan menguras SDA dengan sifat serakahnya?

Tentu saja manusia jawabannya.

Jadi, dibalik isu pemanasan global, alih-alih gas polutan yang dipersalahkan, nyatanya manusia-lah yang jadi target utamanya. (baca disini dan disini)

Darimana IPCC tahu akan skenario pemanasan global?

Sama halnya dengan plandemi Kopit yang merupakan produk simulasi komputer belaka, IPCC mengeluarkan pemodelan alias rekayasa komputer yang memprediksi bencana pemanasan global. (https://www.ipcc.ch/report/ar4/wg1/global-climate-projections/)

Jadi ini merupakan metode yang abrakadabra alias nggak ilmiah sama sekali. Parameter dan datanya nggak tersedia, bagaimana mungkin melakukan prediksi?

Bagaimana tanggapan Prof. Werlhof tentang penipisan lapisan ozon yang ditenggarai disebabkan oleh gas rumah kaca (GRK) semisal chlorofluorocarbons (CFC)?

Menurutnya, lapisan ozon sangat dibutuhkan oleh bumi karena melindungi bumi dari radiasi kosmik matahari, utamanya UV-B dan UV-C yang sangat beracun. Jadi radiasi ini bisa dinetralisir dengan hadirnya lapisan ozon.

Namun, yang merusak lapisan ozon bukanlah GRK, melainkan radioaktivitas, salah satunya yang didapat dari hasil ledakan nuklir. Bisa dari eksperimen militer, maupun imbas dari perang. Inilah yang menyebabkan efek radioaktivitas dan mengikis lapisan ozon.

Selain itu, aktivitas gunung berapi juga bisa mengikis lapisan ozon. (https://larouchepub.com/eiw/public/1989/eirv16n24-19890609/eirv16n24-19890609_018-cfcs_are_not_depleting_the_ozone.pdf)

Efek dari penipisan ini adalah kesesakan saat bernapas dan efek toksisitas selain efek panas. Ini bisa dimungkinkan karena ozon adalah oksigen yang menempel pada atmosfer, dan radioaktivitas merusak komposisi oksigen pada atomosfer.

Kalo kadar oksigen menipis, bukankah kita berasa sesak saat bernapas?

Apakah efek penipisan lapisan ozon hanya itu?

Prof. Werlhof mengatakan ada hal lainnya. Pada bagian kedua kita akan membahasnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!