Rancangan Masa Depan Yang Indah? (*Bagian 2)


537

Rancangan Masa Depan Yang Indah? (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama tulisan kita sudah sedikit mengulas tentang bagaimana SDG 2030 yang telah ditetapkan oleh PBB dapat dicapai. Tentu saja ini membutuhkan campur tangan perusahaan multinasional sebagai pamong bagi masyarakat yang kelak dikenal sebagai inclusive capitalism. (baca disini)

Kita juga sudah bahas bagaimana peran kelompok G20 dalam memberikan kelonggaran fiskal kepada negara-negara yang berhutang namun gagal melakukan pembayaran gegara plandemi Kopit, dengan cara skema penundaan. Salah satunya dengan menciptakan ruang fiskal.

Apa maksudnya?

Anda pasti paham vaksin Kopit buatan AZ yang kontroversial, karena menyebabkan pembekuan darah (blood cloth). Banyak negara di Eropa bahkan melarang penggunaan vaksin ini. (https://www.science.org/doi/10.1126/science.371.6536.1294)

Masalahnya, vaksin sudah diproduksi massal, siapa yang akan membeli kalo ternyata mendatangkan petaka bagi yang menggunakannya?

Disinilah pentingnya konsorsium pemangku kebijakan. Vaksin yang diproduksi kemudian dilempar ke negara-negara Afrika agar bisa digunakan.

Ini tentu saja nggak gratis alias berbayar. Bahkan ada yang harus membayar lebih mahal ketimbang harga jual vaksin tersebut di Eropa. (https://healthpolicy-watch.news/uganda-defends-astrazeneca-price-says-its-not-higher-than-other-countries/)

Kalo negara-negara misqueen di Afrika nggak punya cadangan uang untuk membeli vaksin, lantas darimana mereka mendapatkan fulus-nya?

Tentu saja dari skema penundaan pembayaran utang. Uganda adalah salah satu contoh yang paling gamblang. (https://www.reuters.com/world/africa/uganda-says-may-approach-creditors-suspension-debt-repayments-2021-04-26/)

Teknisnya, utangnya ditunda pembayarannya, dengan syarat negara yang berhutang mau membeli vaksin yang telah disediakan. Kalo perlu mereka akan dapat tambahan utang untuk membeli vaksin tersebut.

Inilah yang dikenal dengan istilah ‘ruang fiskal’.

Seolah-olah hutangnya bisa diatasi (dengan adanya penundaan pembayaran), namun nyatanya hutangnya bukan berkurang tapi jadi nambah karena dipaksa untuk beli barang yang nggak punya nilai guna plus overvalue.

Selain AZ, perusahaan Big Pharma lainnya juga masuk sebagai pemangku kebijakan UHC2030, dari mulai Pfizer, Roche, Johnson & Johnson, hingga GlaxoSmithKline. (https://www.uhc2030.org/what-we-do/knowledge-and-networks/private-sector-engagement/private-sector-governance-members/)

Jadi begitu modus yang dikembangkan. Seolah-olah bertujuan mulia yakni sebagai pamong kesehatan global yang tidak mengutip keuntungan, nyatanya itu hanya kedok belaka.

Coba kita lihat pada laporan keuangan yang dibuat Merck, misalnya. Dengan dalih tanpa pamrih bertindak selaku pemangku kebijakan untuk kesehatan global, nyatanya pendapatan Merck atas penjualan naik 28% pada kuartal kedua di tahun 2022, menjadi USD 14,6 milyar. (https://www.merck.com/stories/mercks-q2-2022-earnings-report/)

Dengan keuntungan segambreng, tentulah pemegang saham yang kebanjiran cuan.

Memang siapa pemegang saham utama di Merck?

Dua diantaranya BlackRock dan Vanguard. Ajaibnya, keduanya juga merupakan mitra pemangku kebijakan atas UHC2030. (https://www.merckgroup.com/en/investors/shares-and-bonds/shareholders.html)

Anda bisa baca ulasan saya tentang kedua perusahaan investasi global tersebut. (baca disini dan disini)

Bukan hanya Merck, kelompok Big Pharma lainnya juga mendapat untung berlimpah selama plandemi Kopit, utamanya dalam menjual vaksin. Contohnya Pfizer. Di tahun 2021 saja, perusahaan ini mencatatkan keuntungan tertinggi sepanjang sejarah. (https://www.pharmaceutical-technology.com/news/pfizer-full-year-2021-revenues/)

Sekali lagi, siapa pemegang saham utama pada Pfizer. Lagi-lagi, 2 diantaranya BlackRock dan Vanguard. (https://tinyurl.com/2nsthnnt)

Secara singkat dapat dikatakan bahwa UHC2030 bukanlah kemitraan publik dan swasta seperti yang diwacanakan, melainkan tata kelola sistem kesehatan global yang dirancang untuk sentralisasi kekuasaan atas negara-negara di dunia, dimana pihak pemangku kebijakan swasta yang memegang kendalinya.

Jadi jangan anda berpandangan bahwa tujuan mulia yang termaktub dalam SDG 2030 pada sektor kesehatan adalah mewujudkan dunia yang lebih baik. Justru mereka memaksimalkan jumlah orang sakit dan membuat mereka tetap sakit, karena ‘keberlanjutan’ keuntungan hanya bergantung pada kondisi tersebut.

Laporan yang dirilis oleh Goldman Sachs di tahun 2018 menyatakan secara implisit tujuan tersebut. “Adanya potensi terapi genetik yang dapat menyembuhkan penyakit, bisa berdampak pada pengurangan cash flow yang tidak berkelanjutan,” begitu kurleb-nya. (https://www.cnbc.com/2018/04/11/goldman-asks-is-curing-patients-a-sustainable-business-model.html)

Apa yang dimaksud aliran uang disini?

Tentu saja keuntungan. Dan memang itulah yang menjadi tujuan para pemangku kepentingan di bidang kesehatan. Jika banyak orang sembuh dari sakit, apa untungnya buat para pemangku kebijakan di sektor kesehatan?

Saya sudahi ulasan saya tentang rancangan masa depan yang indah di tahun 2030 mendatang. Pada lain kesempatan, saya akan ulas lebih mendalam tentang sisi gelap rancangan ‘keberlanjutan’ yang mungkin anda nggak akan dapatkan dari sumber media mainstream manapun.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!