Sekali Lagi Soal Konspirasi


520

Sekali Lagi Soal Konspirasi

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana mengarahkan pikiran orang sedunia, agar memiliki persepsi yang sama tentang plandemi Kopit?

Jawabannya sangat mudah, yaitu dengan menggelar operasi psikologis. Pada tataran teknis, pertama dengan menggunakan organisasi pengecekan fakta (fact checker) yang beraliansi dengan media mainstream.

Pada tahapan operasional, organisasi pengecekan fakta akan melabel semua yang bertentangan dengan narasi mainstream sebagai teori konspirasi. Kalo sudah begini, maka tuntas sudah narasi alternatif yang berupaya mempertanyakan kejanggalan yang diusung oleh narasi mainstream. (baca disini, disini dan disini)

Lalu yang kedua?

UNESCO sebagai salah satu badan PBB, baru-baru ini meluncurkan kampanye secara masif yang diberi nama Think Before Sharing (TBS). (https://en.unesco.org/themes/gced/thinkbeforesharing)

Apa tujuannya?

Nggak lain dan nggak bukan sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran teori konspirasi. Menurut klaim resminya: teori konspirasi adalah omong kosong belaka, namun didukung oleh para idiot.

Disini saja sudah blunder.

Kalo memang yang dicap sebagai teori konspirasi adalah sebagai omong kosong belaka dan hanya orang idiot yang mendukungnya, lantas kenapa sekelas UNESCO ‘kebakaran’ jenggot?

Apakah mungkin hal yang dianggap omong kosong belaka memiliki dampak yang signifikan bagi masyarakat? Mungkin nggak sih seorang idiot mempengaruhi masyarakat?

Dengan kata lain, dengan mengerahkan badan sekelas UNESCO, sang Ndoro besar ketakutan atas ‘suara-suara’ kritis yang selama ini mempertanyakan narasi resmi plandemi Kopit yang diusung oleh media mainstream dan juga lembaga berwenang.

Kalo nggak ketakutan, ngapain juga UNESCO dilibatkan?

TBS sebenarnya adalah inisiatif bersama antara UNESCO, Komisi Eropa, Twitter dan Kongres Yahudi Dunia, yang mulai di kick-off pada 2020 silam, utamanya dalam membendung suara-suara kritis.

“Teori konspirasi melemahkan sains, fakta, dan kepercayaan pada institusi, dan menimbulkan ancaman langsung bagi individu dan juga komunitas,” begitu kurleb-nya. (https://en.unesco.org/news/new-resources-counter-covid-19-conspiracy-theories-through-critical-thinking-and-empathy)

Seperti yang kita ketahui bersama, suatu fakta adalah sesuatu yang terbukti kebenarannya. Dan untuk membuktikan itu fakta atau bukan, kita harus mempertimbangkan bukti-bukti yang mendukungnya.

Secara singkat, fakta hanya bisa diverifikasi dengan memeriksa bukti-bukti yang mengeksplorasi argumen logis. Dalam hal ini, bukti pendukung nggak bisa lansgsung dinegasikan guna menetapkan suatu fakta. Setidaknya diverifikasi dulu. (https://www.lexico.com/definition/proof)

Disini-lah masalah muncul.

Berdasarkan klaim yang diberikan TBS, “Bukti yang tampaknya mendukung teori konspirasi, sebenarnya bukan bukti sama sekali.” Dengan kata lain, apapun bukti yang bisa dipakai untuk mendukung suatu fakta bakal ditolak jika dianggap sebagai bagian teori konspirasi. (https://en.unesco.org/sites/default/files/unesco-conspiracy-english-0.jpg)

Acuan sungguh blunder. Bagaimana mungkin suatu bukti ditolak keberadaannya hanya karena sudah dianggap bagian dari teori konspirasi?

Lalu bagaimana sesuatu dapat dikatakan sebagai fakta menurut TBS?

Jika dan hanya jika sesuatu telah ditetapkan dan disahkan oleh ahli yang memenuhi syarat ataupun pemeriksa fakta alias fact checker. Dengan demikian, semua akidah ilmu yang diperlukan untuk menetapkan suatu fakta, gugur sudah dan digantikan oleh keberadaan fact checker.

Kalo lembaga fact checker menyatakan itu bukan bukti yang valid, maka sia-sia lah semua upaya untuk membawa bukti tersebut guna mendukung fakta yang diajukan. Case closed.

Lha, memangnya fact checker itu lembaga independen? Lalu, siapakah yang akan memverifikasikan lembaga fact checker? Nggak ada, bukan? Lantas dimana letak independen-nya?

Sungguh membagongkan.

Mengapa teori konspirasi dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan?

Karena teori konspirasi dianggap bagian dari ujaran kebencian yang dapat membahayakan orang lain.

“Kepercayaan pada teori konspirasi dapat membahayakan atau bahkan membunuh orang,” ungkap Prof. Stephan Lewandowsky dari Bristol University. (https://www.scientificamerican.com/article/people-drawn-to-conspiracy-theories-share-a-cluster-of-psychological-features/)

Bahkan di tahun 2020 silam. Prof. Lewandowsky menambahkan bahwa teori konspirasi cenderung bertahan untuk waktu yang lama, meskipun nggak ada bukti yang meyakinkan untuk itu. (https://www.climatechangecommunication.org/wp-content/uploads/2020/03/ConspiracyTheoryHandbook.pdf)

Memangnya bukti yang meyakinkan tuh yang seperti apa?

Tentu saja bukti yang telah disahkan atau diakui oleh otoritas yang berwenang. Dengan demikian, hanya pemerintah-lah yang berhak memonopoli bukti yang ada.

Jika kemudian seseorang yang coba membawa bukti semisal salinan dokumen, kesaksian, video, audio hingga bukti forensik, itu semua akan percuma karenanya nggak akan dianggap sebagai bukti penunjang, sebelum pihak berwenang dan fact checker memverifikasi hal tersebut.

Makin absurd saja.

Dengan adanya ‘permainan’ model begini, bagaimana orang sedunia nggak punya pemahaman yang sama soal plandemi Kopit?

Dan jika ada suara kritis yang mempertanyakan narasi mainstream soal plandemi – misalnya, solusinya gampang, tinggal kasih label saja: teori konspirasi – dan selesai sudah masalahnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!