Masih Percaya Sama Fact Checker?


525

Masih Percaya Sama Fact Checker?

Oleh: Ndaru Anugerah

“Gampang caranya agar kita tahu bahwa suatu postingan berisi informasi yang valid atau justru hoax. Lihat saja apa yang dikatakan fact checker. Jadi kalo suatu postingan (baik gambar/tulisan) diberi label hoax oleh fact checkers, maka sudah pasti itu hoax!” demikian ungkapan yang diberikan kaum middle class dengan gaya sotoy-nya.

Singkatnya kita harus percaya sepenuhnya pada fact checkers dalam menanggapi suatu konten.

Memangnya benar demikian adanya?

Saya sudah tulis dalam beberapa analis terkait dengan keberadaan lembaga fact checkers ini. (baca disini, disini, disini dan disini)

Intinya, jauh-jauh hari sudah saya katakan bahwa lembaga fact checkers (apapun namanya), nggak menjalankan perannya secara independen karena ada pendonor jumbo di belakangnya.

Nggak ada makan siang yang gratis, bukan?

Pertanyaan mendasar: kalo fact checkers memeriksa konten orang lain, terus siapa yang memeriksa konten yang mereka rilis? Disini masalah blunder, karena nggak ada satupun lembaga di dunia yang memeriksa atau mengaudit lembaga fact checkers tersebut.

Ini fakta yang nggak terbantahkan!

Dan belakangan, apa yang saya tuliskan sejak setahun yang lalu, kini menemukan pembuktiannya kembali.

Maksudnya?

Adalah seorang yang bernama John Stossel yang mengajukan gugatan ke pengadilan. Penyebabnya dia merasa difitnah oleh lembaga fact checker yang digunakan Facebook, dengan melabel video yang diunggahnya sebagai ‘menyesatkan’. (https://wattsupwiththat.com/2021/09/30/john-stossel-sues-facebook-climate-feedback-for-defamation/)

Dalam acara di pengadilan, pengacara Facebook yang kini berganti nama menjadi Meta tersebut, menyatakan bahwa fact checker bukan bertugas memeriksa fakta, tapi hanya melontarkan pendapat (opini) semata.

Dan di bawah hukum pencemaran nama baik, pendapat dilindungi oleh UU atas tuntutan pencemaran nama baik. (https://www.americanthinker.com/blog/2021/12/stunning_facebook_court_filing_emadmitsem_fact_checks_are_just_a_matter_of_opinion.html)

Singkatnya: lembaga fact checkers kerjanya bukanlah memeriksa fakta, tapi hanya meng-counter opini seseorang dengan opini mereka. Dan opini bukanlah fakta!

Jadi kecele, kan kalo selama ini telah menjadi korban penipuan fact checkers?

Singkatnya, kalo lembaga fact checkers mau fair, mereka harusnya kasih label ‘pemeriksa opini’ atau ‘opini kami’, karena mereka nggak memeriksa fakta sama sekali seperti anggapan pada kaum middle-class di atas melainkan hanya memeriksa opini yang nggak selaras dengan opini mereka.

Ini sangat menyesatkan.

Lalu apa fungsi dari lembaga fact checkers?

Nggak lain sebagai alat untuk menekan kebebasan berbicara dan diskusi terbuka berbasis sains. Dan ini sengaja dilakukan agar narasi utama yang digelar pendonor dapat berjalan sesuai rencana.

Jadi kalo ada opini yang menentang narasi mainstream, tinggal panggil fact checkers dan kasih label ‘Hoax’ atau ‘Teori Konspirasi’ pada postingan-nya. Dan masalahpun clear.

Bayangkan jika lembaga fact checkers nggak ada, apakah status plandemi bakal bisa bertahan selama ini?

Singkatnya, kalo media mainstream sekelas Washington Post bilang bahwa fact checkers sudah berjalan sesuai fungsinya, apakah anda nggak tertawa melihat kenyataan yang justru sebaliknya? (https://www.washingtonpost.com/outlook/2021/11/10/facebook-fact-checks-effective-research/)

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!