Ketika Big Tech Kalap (*Bagian 2)


526

Ketika Big Tech Kalap (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian 1 kita sudah berbicara tentang aliran dana jumbo dari para perusahaan raksasa teknologi informasi komunikasi alias Big Tech. Siapa saja mereka? FAAMG alias The Big Five. Ada Facebook, Amazon, Apple, Microsoft, dan Google.

Sebagai ilustrasi, Big Tech berhasil mengkapitalisasi pasar gabungan dengan valuasi senilai USD 4 trilyun. (https://www.visualcapitalist.com/the-big-five-largest-acquisitions-by-tech-company/)

Berdasarkan laporan terakhir, dari ke-5 anggota Big Tech, hanya Facebook, Apple dan Google yang tercatat aktif dalam memerangi berita ‘anti mainstream’, dengan mendanai lembaga pengecekan fakta alias fact checker organization (IFCN) selain memberikan dana hibah untuk media lokal. (https://www.visualcapitalist.com/big-tech-covid-19/)

Nggak aneh kalo banyak orang sangat mengandalkan Google untuk menemukan berita dan sumber informasi yang dapat diandalkan selama pandemi C19.

Untuk informasi saja, dana sebesar USD 6,5 juta juga sudah digelontorkan Google untuk mendukung pemeriksaan fakta. Siapa lagi kalo bukan IFCN selaku operatornya. (https://www.visualcapitalist.com/big-tech-covid-19/)

Google juga bermitra dengan Apple untuk membuat alat penelusuran kontak pribadi untuk ‘membantu’ otoritas kesehatan masyarakat. (https://blog.google/inside-google/company-announcements/apple-and-google-partner-covid-19-contact-tracing-technology/)

Apa itu motovasinya? Saya pernah bahas tentang hal ini. (baca disini)

Sedangkan Facebook, total jenderal menggelontorkan dana hibah kepada IFCN dalam rangka menanggulangi berita ‘sesat’ sebesar USD 2 juta.

Dengan dana hibah jumbo tersebut, apakah bisa IFCN menjaga independensinya selama melakukan aktivitas fact checking? Kalo begitu kejadiannya, ngapain juga Big Tech repot-repot memakai jasa IFCN dan keluarin banyak duit?

Yang paling mungkin, dana jumbo sengaja digelontorkan dalam rangka memberi ‘kerjaan’. Apa itu? Mengamankan agenda vaksinasi global dari serangan pihak-pihak yang ingin membongkarnya.

Jadi apapun yang tidak selaras dengan narasi Elite Global, pasti otomatis akan di beri label sebagai hoax, main ancam atau yang paling kasar informasinya akan dihapus secara permanen dari media sosial milik mereka. Tentu saja atas jasa IFCN sebagai konsultan fact checker-nya. Udah banyak korbannya.

Sampai sini clear ya…

Lantas, apakah IFCN mempunyai lembaga atau organisasi tandingan dalam menjalankan pekerjaannya?

Ya nggak ada. Lha wong IFCN adalah organisasi yang memberikan sertifikasi atas fact checking kepada media, organisasi dan LSM di kolong jagad.

Ironis. Saat sebuah aktivitas tanpa kontrol, apa yang akan terjadi?

Yang namanya kebenaran otomatis akan bisa dimonopoli oleh organisasi yang melakukan aktivitas fact checking tersebut.

Bukankah monopoli dapat terjadi saat hanya ada satu penjual yang menawarkan produk atau layanan di pasaran? (Hermansyah, 2008:18, Pokok-Pokok Persaingan Usaha di Indonesia)

Banyak kasus yang akhirnya mengamini tindakan monopoli ‘kebenaran’ tersebut.

Yang dilakukan media mainstream Barat misalnya, saat mengkonfirmasi kematian Kim Jong Un tempo hari. Semua beritanya hampir sama, gegara KJU nggak muncul ke ‘permukaan’ selama beberapa hari. Maka dikaranglah narasi bahwa KJU telah mati.

Tapi saya coba kasih klarifikasi dengan mengeluarkan analisa, bahwa KJU justru dalam keadaan sehat. Dan beberapa hari kemudian, analisa saya terbukti benar. (baca disini)

Saat semua berita hoax yang diturunkan media mainstream, mana suara dari IFCN yang katanya independen?

Kemudian Liputan6.com yang pernah menurunkan berita pada 6 April 2020 yang lalu. (https://www.liputan6.com/global/read/4221000/gelombang-kedua-virus-corona-kasus-covid-19-tanpa-gejala-meningkat-di-china?fbclid=IwAR22IWu5blA80bMEpCPL2Lkd-UFGbrbcgDx6kGiIqkE8ih3uA-G_BLl54vI)

Beritanya cukup provokatif, dimana menurut mereka: Komisi Kesehatan Nasional China, pada Senin (6/4/2020), telah melaporkan 78 kasus baru Virus Corona COVID-19 tanpa gejala yang teridentifikasi hingga Minggu malam 5 April 2020.

Menurut laporan mereka lagi, Provinsi Hubei telah menjadi pusat wabah Virus Corona jenis baru bermula, saat ini mencatatkan hampir setengah jumlah kasus baru tanpa gejala, menurut data otoritas kesehatan.

Sejauh ini (menurut mereka), total 705 orang positif COVID-19 tanpa gejala tengah berada dalam pengawasan medis di seluruh China.

Kata mereka lagi, lonjakan kasus tanpa gejala, yang baru mulai dilaporkan China pada pekan lalu, menimbulkan kekhawatiran di tengah persiapan ibu kota provinsi Hubei, Wuhan, untuk kembali membuka wilayah pada 8 April mendatang setelah ditutup total sejak akhir Januari.

Benarkah laporan tersebut?

Saya pernah mengulasnya dengan lengkap. (baca disini)

Pertanyaannya: mengapa media mainstream local sekelas Liputan6.com kok bisa nggak akurat dalam menurunkan laporan beritanya? Katanya sudah disertifikasi IFCN sebagai media massa berbasis fact checking? Apakah ada permintaan maaf dari mereka karena telah menurunkan berita ngawur tersebut?

Apakah karena big boss mereka – Eddy Sariaatmadja – pemilik Emtek group, punya hubungan ‘khusus’ dengan Obama? (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170701101559-32-225045/ada-megawati-di-pertemuan-obama-dengan-bos-emtek)

Atau mungkin anda pernah dengar fakta-fakta kebakaran hutan di Australia pada awal tahun lalu (yang dikeluarkan oleh Friends of Science Society), yang kemudian diblokir dari distribusi publik oleh Facebook atas masukan dari IFCN?

“Pola konsumsi bahan bakar-lah yang memicu kebakaran hutan, bukan perubahan iklim.” (https://friendsofscience.org/assets/documents/News/Friends%20of%20Science%20Press%20Release%20Jan.%2020,%202020.pdf)

Tentu saja aksi main blokir dari Facebook tersebut memicu protes dari kalangan pecinta lingkungan hidup yang ada di Australia, “Ini jelas upaya menekan kebebasan berbicara yang dijunjung tinggi oleh Undang-Undang,” begitu kurleb-nya.

Jadi kalo anda membaca ulasan yang dikeluarkan oleh fact checker atas sebuah postingan ‘nyeleneh’, jangan buru-buru main telan sebagai sebuah kebenaran. Kritis sedikit mikirnya.

Karena apa? Ada faktor U dalam setiap aktivitas ‘independen’ mereka…

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!