Masih Ngarepin Vaksin?
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bang, perlu nggak kita memakai vaksin guna mengakhiri pandemi Corona?” begitu tanya seorang nun jauh disana.
Tentang ini sebenarnya sudah banyak ulas kek kaset kusut. Kalo yang rajin baca ulasan saya, sudah jelas kok masukan yang saya berikan kepada para pembaca setia dan juga kepada pemerintah.
Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan concern terkait perlu tidaknya vaksin.
Pertama, apa urgensinya kita harus pakai vaksin? Yang dimaksud urgensi menyangkut keselamatan jiwa kita. Dulu di tahun 2009, saat WHO menerapkan status pandemi, mereka juga teriak-teriak ke seluruh dunia untuk mau divaksinasi global lengkap dengan narasi menakutkan yang dimainkan oleh media mainstream. (baca disini)
Nyatanya, kita nggak mati tuh walaupun nggak pakai vaksin Big Pharma kala itu. Karena nggak ada urgensinya, ngapain juga kita divaksin? Kecuali kalo terpaksa, “nggak divaksin atau mati.” Nah itu lain lagi ceritanya.
Lagian C19 nggak menakutkan seperti yang digembar-gemborkan selama ini, kan?
Kedua, menyangkut kandungan yang ada pada vaksin. Seperti kita ketahui, bahwa tiap vaksin mengandung 3 bahan utama. Tentang ini saya juga sudah ulas. (baca disini)
Nah kebayang, kalo kandungan yang ada divaksin yang kita nggak tahu ‘jeroannya’ apa, terus difabrikasi sama Big Pharma, anda masih yakin mau memakainya?
Apalagi ini sudah ada grand design dari elite global (yang pro aliran depopulasi manusia) untuk menerapkan vaksinasi global, apa masih percaya pada keefektifan tuh vaksin? (baca disini) dan (baca disini)
Ketiga, menurut temuan Dr. Andrew Kaufman, belum tentu juga yang selama ini dianggap sebagai virus Corona, beneran virus Corona. Karena menurut beliau, yang diduga virus tersebut, nggak lain adalah exosome. (baca disini)
Coba dipikir, kalo identifikasinya aja sudah salah (dianggap virus, tahunya exosome), apa yakin vaksin yang tepat dapat ditemukan? “Ngobatin kagak, kena komplikasi iya..”
Dan terakhir, ini yang saya mau ulas karena belum pernah saya ungkap sebelumnya.
Kenal dengan Prof. Paul Offit dan Prof. Peter Hotez? Mereka berdua adalah promotor vaksin top di kolong jagad. Tanpa ulasan/promosi mereka berdua, vaksin bakalan kurang laku dipasaran. (https://en.wikipedia.org/wiki/Paul_Offit) (https://en.wikipedia.org/wiki/Peter_Hotez)
Nah masalahnya, mereka berdua justru memperingatkan kita akan bahaya yang sangat menakutkan jika tetap ngotot mengembangkan vaksin virus Corona. (https://healthimpactnews.com/2020/why-are-the-worlds-top-vaccine-promoters-frantically-warning-about-the-frightening-dangers-in-developing-a-coronavirus-vaccine/)
Apa dasarnya?
Para ilmuwan dunia, pertama kali mencoba mengembangkan vaksin virus Corona saat wabah SARS-CoV melandan China di tahun 2002. Tim ilmuwan AS dan beberapa ilmuwan asing lainnya mengujicobakan 4 buah vaksin yang menjanjikan, ke tubuh hewan (uji praklinis).
Awalnya, percobaan ini terlihat berhasil, karena semua hewan berhasil mengembangkan respon antibodi yang kuat terhadap virus Corona. Namun pada akhirnya justru mengerikan. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22536382)
Apa yang terjadi?
Hewan-hewan yang telah divaksin tersebut justru mengalami respons hiper-imun, termasuk peradangan di seluruh tubuh, terutama dibagian paru-paru mereka. (https://cvi.asm.org/content/23/3/189)
Para ilmuwan telah mencatat gejala yang sama (respons imun yang meningkat) saat pengujian manusia terhadap vaksin RSV (respiratory syncytial virus) yang berakibat kegagalan pada tahun 1960-an. Dua anak meninggal karena vaksinasi tersebut. (https://cvi.asm.org/content/23/3/189)
“Kekhawatiran besar bagi para ilmuwan yang terlibat dalam pengembangan vaksin RSV (dan sejenisnya) adalah dengan memastikan bahwa kami tidak mengulangi kesalahan yang sama,” ungkap Polack, yang juga berafiliasi dengan Yayasan INFANT di Buenos Aires. (https://www.reuters.com/article/us-rsv-shot/research-shows-why-1960s-rsv-shot-sickened-children-idUSTRE4BM4SH20081223)
Berbekal pengetahuan tersebut, maka Prof. Offit dan Prof. Hotez memberi peringatan keras bahwa vaksin virus Corona jenis apapun dapat memicu reaksi kekebalan (auto-imun) pada tubuh seseorang dan mematikan.
Namun reaksi berbeda justru diberikan oleh Dr. Anthony Fauci (selaku Direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases). Bukannya menunda, eh Fauci justru malah mempercepat jalur vaksin C19 (yang sebagian didanai BG), tanpa melalui prosedur uji praklinis pada hewan terlebih dahulu.
Bisa ditebak, akhirnya seperti apa kelak vaksin yang difabrikasi oleh Big Pharma tersebut. (https://www.businesswire.com/news/home/20200316005666/en/Moderna-Announces-Participant-Dosed-NIH-led-Phase-1
Kenapa ini nekat dilakukannya?
Silakan simpulkan sendiri.
Yang jelas BG tahu kondisi ini, bahwa peristiwa itu sangat mungkin berulang kembali saat vaksin C19 diterapkan pada tubuh manusia.
Jangan heran bahwa dalam suatu wawancara, BG mengatakan vaksin C19 tersebut, kelak tidak boleh didistribusikan terlebih dahulu, kecuali pemerintah (AS) setuju untuk menjamin bahwa tidak akan ada tuntutan hukum atas dirinya dikemudian hari kalo vaksinnya gagal. (https://www.cnbc.com/video/2020/04/09/watch-cnbcs-full-interview-with-microsoft-co-founder-bill-gates-on-past-pandemic-warnings.html?__source=iosappshare%7Ccom.apple.UIKit.activity.Mail&fbclid=IwAR0RG79OtbdXUpY_ylULT6sY_Xo5D-cBQ0awSo6vGS19VnLGqB9z)
Apa yang terjadi kemudian?
Diam-diam pemerintah AS (pada tanggal 4 Februari lalu), tengah merancang peraturan Federal yang kelak memberikan ‘kekebalan penuh’ bagi pembuat vaksin C19 dari jeratan hukum. (https://www.phe.gov/Preparedness/legal/prepact/Pages/COVID19.aspx)
Biarlah itu terjadi di Amrik sana, dan jangan di Indonesia aja deh Bray…
Nah, setelah anda baca analisa saya, apa masih ngotot ambil risiko untuk pakai vaksin C19 pada tubuh kita?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments