Jongos Afrika


506

Oleh: Ndaru Anugerah

Penetapan COVID-19 sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) alias keadaan darurat kesehatan publik untuk kepedulian internasional oleh badan kesehatan dunia WHO, jelas konyol dan mengada-ada.

Kenapa?

Merujuk pada WHO, PHEIC didefinisikan sebagai suatu peristiwa luar biasa yang memiliki risiko kesehatan masyarakat bagi negara-negara melalui penyebaran suatu penyakit secara internasional sehingga memerlukan respons internasional yang terkoordinasi dengan baik.

Secara kuantitatif, PHEIC direpresentasikan dengan angka kematian sekitar 12%. Namun nyatanya, tingkat kematian yang disebabkan COVID-19 tersebut kurang dari angka tersebut. Masih jauh, bahkan.

Mengutip data yang saya ambil dari situs John Hopkins University per hari ini (Rabu, 18/3), yang menyatakan bahwa sebanyak 204.264 orang diseluruh dunia telah terinfeksi virus tersebut. Yang mati sebanyak 8.244 orang, sedangkan yang berhasil pulih sebanyak 82.107. Sisanya tunggu nasib.

Artinya apa?

Tingkat kematian hanya sekitar 4%. Masih jauh dari angka 12%. Sementara tingkat recovery alias pemulihan mencapai 40%.

Logikanya, jika seseorang terkena virus COVID-19, tingkat pulihnya jauh lebih besar ketimbang tingkat mortalitas alias kematiannya. Jadi nggak terlalu mematikan sebenarnya kasus COVID-19 ini, meskipun tingkat penularannya memang luar biasa.

Jika tidak mematikan, tak berlebihan kalo kita jadi bertanya-tanya, ada apa dibalik pemutusan status darurat kesehatan oleh WHO yang dulu setara dengan pandemi global tingkat 6 alias status gawat yang tertinggi di dunia tersebut?

“WHO itu bukan lembaga kesehatan dunia yang independen,” ungkap sebuah sumber.

Maksudnya?

WHO sebagai lembaga kesehatan dunia, tidak bebas kepentingan.

Dalam melakukan program-programnya, apa yang dibutuhkan oleh sebuah lembaga sekelas WHO selain uang? Dari mana uang didapat? Bisa didapat dari banyak sumber. Namun yang terbesar adalah sumbangan dari para donatur.

Pertanyaan selanjutnya: apa setelah sang donatur menghibahkan uang yang demikian besar nominalnya buat WHO, lantas nggak ada pamrihnya, gitu?

Tak ada makan siang yang gratis, tentunya. Begitulah yang terjadi di WHO. Itu juga yang terjadi dengan Dirjen WHO sepanjang masa. Tak terkecuali dengan Dirjen WHO saat ini.

Dialah Tedros Adhanom Ghebreyeus.

Tedros merupakan Dirjen WHO yang diangkat sejak 2017, menggantikan Dr. Margaret Chan dari Hong Kong dengan rekam jejak yang kontroversial.

Gimana nggak?

Pada 2009 Margaret telah salah prediksi tentang kasus flu babi (H1N1) yang melanda dunia saat itu. Dia memprediksi, bahwa akan ada korban di seluruh dunia mencapai angka 2 milyar orang alias sepertiga penduduk dunia kala itu akibat virus mematikan tersebut.

Sebagai implikasinya, maka Margaret menetapkan status PHEIC, mirip dengan COVID-19 saat ini.

Nyatanya, jumlah penduduk yang terinfeksi nggak sebanyak prediksinya. Hanya jutaan orang yang terinfeksi dengan 575.400 orang yang akhirnya meregang nyawa.

Dan tebak siapa yang diuntungkan dengan angka mark-up sedemikian besarnya? Big Pharma dan GAVI, selaku perusahaan yang memproduksi vaksin. Vaksinasi global kemudian diterapkan ke seluruh dunia, karena ada pembenaran lewat status PHEIC tadi.

Ini jadi nggak aneh, mengingat perusahaan farmasi raksasa tersebut yang berada dibelakang layar sebagai pihak yang mendukung pencalonan Margaret sebagai Dirjen WHO kala itu.

Jadi ada semacam skenario balas jasa dari Margaret terhadap para penyokongnya.

Nah, kasus yang sama kembali terulang dimana Tedros juga telah mendapat sokongan dari pihak yang sama dalam mendapatkan jabatan sebagai Dirjen WHO.

Padahal Tedros bukan seorang dokter. Kebayang dong, WHO kok dirjen-nya bukan dokter? Dan ini baru pertama kali terjadi di badan kesehatan dunia tersebut.

Tambahan lagi, Tedros merupakan orang Afrika pertama di dunia yang berhasil menduduki jabatan prestisius tersebut.

Saat Tedros menjabat sebagai menteri kesehatan Ethiopia di periode 2005-2012, dirinya berhassil menjalin kontak perdana dengan Bill Clinton selaku mantan presiden AS, disusul dengan Bill Gates lewat Yayasan Bill and Melinda Gates. Hubungan mereka kian lama kian mesra.

Terbukti dengan ditunjuknya Tedros sebagai pemimpin Global Fund yang bertugas mengatasi AIDS, Tuberkulosis dan malaria, hasil dari rekomendasi Clinton dan Gates.

Karirnya makin moncor, dengan disokongnya Tedros untuk menduduki posisi Dirjen WHO oleh Big Pharma (Bayer, GSK, Novartis, Roche, Merck, Sanofi, Pfizer, dll) dan juga GAVI.

Tentunya dukungan ini nggak gratis.

Jangan heran jika tanpa perhitungan yang cermat, Tedros sempat mengeluarkan larangan bepergian ke China pada masyarakat internasional saat virus Wuhan pertama kali merebak.

Akibat dari seruannya tersebut, maka rasa takut dan parno yang dimiliki masyarakat internasional terhadap China, makin menjadi-jadi. Inilah yang akhirnya sempat memicu kebencian dunia terhadap komunitas China, seiring menyebarnya virus Wuhan.

Dan sekarang, setelah kita tahu siapa sosok Tedros, masihkah kita bisa berkata bahwa penetapan darurat global terhadap COVID-19, nggak ada motif terselubungnya?

Yang Bokir…

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!