Menyoal Pandemic Treaty


516

Menyoal Pandemic Treaty

 Oleh: Ndaru Anugerah

Apakah plandemi nggak akan dimunculkan kembali dalam waktu dekat, pasca skenario Kopit?

Jangan terlalu yakin.

Mengapa?

Karena saat ini, skenario plandemi susulan sedang dibicarakan secara ‘diam-diam’ oleh Ndoro besar beserta pasukan minion-nya.

Apakah anda pernah dengar WHO Pandemic Treaty? (baca disini)

Saya pernah ulas, bahwa plandemi Kopit bisa dikatakan tidak berjalan sesuai rencana. Banyak halangan teknis yang terjadi, utamanya saat program enjus massal global digelar. Ketidaktaatan pada pembuat kebijakan-lah yang dituding sebagai penyebab kegagalan. (baca disini)

Singkatnya, harus ada kesatuan komando saat plandemi berikutnya digelar, sehingga semua negara harus tunduk pada otoritas yang memberikan arahan tersebut. Jadi, kalo otoritas yang ditunjuk sudah memberi aba-aba, semua negara harus mematuhinya. Titik.

Pertanyaannya: bagaimana skenario bisa dieksekusi?

Adalah AS yang bertindak sebagai agen kick-off. Pada April 2022 silam, pemerintahan Biden mengusulkan beberapa amandemen terhadap peraturan kesehatan internasional yang ada, utamanya dalam mengevaluasi penanganan selama plandemi Kopit.

“Harusnya ada peringatan dini, penyediaan data urutan genetik bagi patogen yang dianggap sebagai penyebab plandemi, hingga teknis bagaimana dan kapan suatu negara bisa meminta dukungan kepada WHO,” begitu kurleb-nya. (https://apps.who.int/gb/ebwha/pdf_files/WHA75/A75_18-en.pdf)

Bahasa sederhananya, AS meminta WHO agar meratifikasi aturan main dalam penetapan status plandemi berikut penanganannya, agar kelak ada plandemi susulan, itu bisa ditangani dengan ‘lebih baik’ lagi.

Asal tahu saja jika merujuk pada aturan main yang ditetapkan WHO sejak 2005 silam bahwa Peraturan Kesehatan Internasional memberikan kerangka hukum menyeluruh yang mendefinisikan hak dan kewajiban negara dalam menangani kejadian kesehatan masyarakat dan juga keadaan darurat yang berpotensi melintasi batas suatu negara.

Jadi Peraturan Kesehatan Internasional ini bersifat mengikat kepada semua negara yang menjadi anggota WHO. (https://www.who.int/health-topics/international-health-regulations)

Kembali ke laptop.

Menangapi permintaan AS, maka rencananya pada 22 Mei mendatang, Majelis Kesehatan Dunia akan mengadakan pertemuan di Jenewa, Swiss. Agendanya adalah usulan perubahan aturan kesehatan internasional seperti yang diusulkan AS.

Secara teknis, aturan-aturan yang akan diratifikasi menetapkan standar bagi semua negara untuk memiliki kemampuan dalam mendeteksi, menilai, melaporkan dan menanggapi peristiwa kesehatan yang ada di masyarakat, yang pada akhirnya ‘laporan’ tersebut akan masuk ke WHO sebagai decision maker. (https://www.who.int/about/governance/world-health-assembly/seventy-fifth-world-health-assembly)

Aturan baru inilah yang banyak orang sebut sebagai perjanjian pandemi alias pandemic treaty. (https://www.gbnews.uk/gb-views/this-so-called-pandemic-treaty-is-the-single-greatest-global-power-grab-that-any-of-us-has-seen-in-our-lifetime-says-neil-oliver/294296)

Dan berita ‘baik’nya, aturan ini akan memberikan kedaulatan kesehatan penuh selain otoritas tak terbatas atas pemerintah kepada WHO, dalam ‘upaya’ menangani krisis kesehatan global.

Satu hal yang perlu anda tahu bahwa proses ratifikasi ini nggak perlu perdebatan antar anggota sebelum ditetapkan, alias tinggal ketok palu saja.

Apa saja pasal yang akan diamandemen?

Misalnya Pasal 9. Sebelumnya berbunyi, “Jika negara pihak tidak menerima tawaran kerjasama dalam waktu 48 jam, maka WHO akan….” Jadi ada kemungkinan jika suatu negara menampik tawaran kerjasama yang diberikan WHO.

Namun perubahan kata dari may (boleh) jadi shall (akan), anda tentu paham maksud dari kalimat yang disampaikan, bukan? (https://apps.who.int/gb/ebwha/pdf_files/WHA75/A75_18-en.pdf#page=4)

Berikutnya ada paparan yang menyatakan, “Tawaran kerjasama yang diberikan WHO, dengan mempertimbangkan ‘pandangan’ negara pihak yang bersangkutan…”

Yang namanya ‘pandangan’, mana bisa dijadikan alasan dalam ambil kebijakan? Dan WHO bisa menampik asumsi tersebut, dengan dalih adanya penilaian pakar yang mereka miliki dalam menetapkan status plandemi.

Selanjutnya di Pasal 12, tentang penentuan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional, dimana dalam bagian ini seorang Dirjen WHO sekalas Tedros, dapat memutuskan status keadaan darurat, tanpa persetujuan dari negara-negara anggota.

Yang Tedros lakukan hanyalah berkonsultasi dengan Komite Darurat yang dimiliki WHO, dan voila: status plandemi tetiba nongol di muka bumi.

Memangnya anggota komite dipilih atas dasar apa? Proses seleksinya bagaimana? Semuanya serba tertutup. Hanya Tuhan dan WHO saja yang tahu.

Ada banyak pasal lain yang sifatnya membuka jalan otoritatif bagi WHO dalam mengeksekusi status plandemi, tanpa perlu persetujuan siapapun. Bahkan sekelas Dr. Astrid Stuckelberger selaku mantan pejabat WHO mengamini hal tersebut. (https://www.bitchute.com/video/OVfkg9YBDQYE/)

Lantas, kemana semua ini akan bermuara?

Kalo status plandemi telah ditetapkan, maka standar yang baku adalah pemberian vaksin secara global. Melalui program enjus massal inilah, proyek ID 2020 bisa dilakukan secara bersamaan.

Simak apa yang dikatakan Bill Gates selaku ‘dalang’ dibalik otoritas kesehatan global, “Dunia perlu membentuk tim ahli terpadu permanen yang disebut GERM (Global Epidemic Response and Mobilization). Tim ini akan melakukan respons koordinatif terhadap wabah berbahaya, kapan-pun.”

Selanjutnya BG menambahkan, “Jadi tim ini memiliki kemampuan untuk menyatakan wabah dan bekerjasama dengan WHO, sehingga menjadi satu-satunya kelompok yang dapat memberikan kredibilitas global.” (https://www.gatesnotes.com/Health/Meet-the-GERM-team)

Jika kemudian WHO menggarap pandemic treaty dan BG merespons dengan mengajukan proposal pembentukkan GERM, apa itu hanya kebetulan?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!