Antara Vaksin dan Obat (*Bagian 1)


527

Antara Vaksin dan Obat (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

Apa sih beda antara vaksin dan obat?

Secara mendasar, keduanya mempunyai fungsi yang sama, yaitu untuk proses pencegahan dan penyembuhan terhadap suatu penyakit pada manusia atau hewan.

Sedangkan bedanya: kalo vaksin dibuat menggunakan virus yang sudah mati atau masih hidup, yang pada akhirnya digunakan sebagai antigen. Antigen inilah yang akan merangsang respons imun untuk segera menghasilkan antibodi dalam tubuh.

“Antigen biasanya berwujud protein, tapi juga dapat berupa molekul lainnya,” demikian ungkap seorang teman dokter.

Lalu bagaimana dengan obat?

Di dalam obat, tidak terdapat mikroorganisme ataupun virus sebagai bahan pembuatnya. Obat hanya menggunakan produk farmasi yang terdiri atas bahan kimia dengan dosis tertentu.

Dibandingkan dengan obat, proses pembuatan vaksin lebih kompleks. Ini dikarenakan penggunaan mikro-organisme yang memikiki sifat biologis yang aktif. Jadi lebih kompleks.

Nggak heran kalo untuk memproduksi vaksin membutuhkan waktu yang lama, karena setiap tahapan berlaku uji validasi, kontrol yang ketat serta pengujian yang berulang-ulang.

Sedangkan obat, proses kontrolnya ditekankan pada bahan baku, konsistensi prosedur yang digunakan serta pengujian produk akhir untuk memastikan efek samping dan kadaluarsanya. Sebagai akibatnya, proses pembuatan obat tentu nggak seribet vaksin.

Sampai sini saya harap clear ya, tentang beda vaksin dan obat.

Dalam tulisan ini saya coba mengungkapkan studi kasus tentang vaksin dan obat, terutama yang berhubungan dengan COVID-19 diakhir cerita. Karena banyaknya informasi yang akan disampaikan, saya akan pecah tulisan ini kedalam dua bagian, tentang virus dan tentang obat.

Goyang mang…

Pada tahun 1976, di AS terjadi kasus flu babi. Bermula dari seorang tentara di Fort Dix, New Jersey AS yang mengaku dirinya kelelahan dan lemah tak berdaya secara tiba-tiba. Eh, besoknya serdadu tersebut langsung meninggal dunia.

Dokter Angkatan Darat AS kemudian memeriksa penyebab kematian. Penyebabnya diduga akibat serangan virus flu babi.

Flu babi disebabkan oleh sejenis virus influenza. Flu ini berperan sebagai penyebab pandemi di AS pada tahun 1918-1919 yang sukses menewaskan 450ribu orang kala itu.

Atas tekanan CDC, Presiden Gerald Ford akhirnya diminta untuk mengarahkan rakyatnya agar disuntik vaksin. “Agar kasusnya tidak meluas dan bisa menyebabkan 80% kematian penduduk AS,” demikian ungkap David Sencer selaku pejabat CDC saat itu.

Walhasil, sebanyak 25% populasi AS berhasil disuntik vaksin flu babi tersebut.

Proses berjalan lancar, hingga akhirnya dilaporkan banyak keluhan warga AS setelah mendapatkan vaksinasi tersebut, mulai dari kelumpuhan, gangguan pernafasan hingga kematian. Akhirnya karena banyak complain, program vaksinasi massal tersebut dihentikan.

Neal Halsey direktur Institut Kesehatan Vaksin Universitas John Hopkins menyatakan: “Banyak kematian terjadi pada anak-anak yang sehat dan normal, setelah diberikan vaksinasi tersebut.”

Belakangan ahli saraf berkebangsaan Inggris – Prof Elizabeth Miiller dari Memorial University of Newfoundland – menerbitkan laporan ilmiah pada 29 Juli 2009, bahwa vaksin flu babi tersebut ternyata memicu Sindrom Guillain-Barre yang berpotensi mematikan dan melumpuhkan saraf pada sistem saraf pusat seseorang.

Bisa disimpulkan, orang yang menerima vaksin tersebut akan mati secara perlahan karena otot-otot pernafasannya lumpuh. Ajigile…

Siapa penyedia vaksinnya kala itu?

Nggak lain adalah 4 perusahaan farmasi besar: Merck, Merrel, Wyeth dan Parke-Davis.

Kejadian lainnya adalah tentang maraknya penyakit kanker leher rahim (cervix) yang dipicu oleh Human Papilloma Virus (HPV). Penyakit ini menyasar kaum hawa dan menjadi penyebab kematian nomor 2 di dunia setelah kanker payudara.

Mengatasi masalah ini, Merck mengklaim telah berhasil merekayasa virus HPV, sehingga menciptakan vaksin yang bernama Gardasil. Vaksin ini dijual bebas dipasaran pada tahun 2006 setelah FDA mengeluarkan ijinnya. Iklan-pun secara masif digeber pada publik AS.

Merujuk pada anjurannya, Gardasil sangat direkomendasikan untuk diberikan kepada para pasien dengan 3 kali suntikan selama periode 6 bulan. “Ini perlu dilakukan untuk mendapatkan tingkat immunoglobulin yang cukup buat melawan sel kanker serviks,” demikian keterangan resminya.

Berapa biaya yang harus dikeluarkan seorang pasien? Sekitar USD 130-150 sekali suntik.

Belakangan diketahui bahwa Gardasil ternyata hanya efektif bagi 4 jenis virus HPV. Padahal ada ratusan jenis virus HPV. Alhasil tingkat efektivitas pemberian vaksin dipertanyakan dalam membentuk sistem imunitas bagi serviks.

“Udah bayar mahal-mahal, gak ada jaminan juga bakal nggak terkena kanker serviks,” demikian keluh para pasien.

Parahnya lagi, setelah 2 tahun diperkenalkan di AS, Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) melaporkan masalah terkait vaksin HPV tersebut. “Terdapat 32 kematian setelah inokulasi pertama, kedua atau ketiga,” demikian ungkapnya.

Kasus tambah meriah, saat di tahun 2008 dimana keluarga Tarsell menuntut perusahaan Merck di pengadilan, selaku produsen Gardasil. Ini disebabkan putri mereka yang berusia 21 tahun meninggal tak lama setelah menerima vaksin Gardasil.

Berdasarkan uji klinik, ternyata penyebab kematian adalah aritmia (detak nadi tak beraturan) yang disebabkan oleh tanggapan auto-imun terhadap vaksin Gardasil tersebut.

Setelah melalui proses pengadilan yang panjang, akhirnya hakim Mary Ellen mengajukan permohonan gugatan yang dilayangkan keluarga Tarsell pada Merck.

Berdasarkan kedua paparan studi kasus tersebut, tenyata ada kesamaannya. Keduanya melibatkan jaringan Big Pharma dalam menyediakan vaksinnya. Ada kecenderungan bahwa Big Pharma lebih mementingkan keuntungan ketimbang kesehatan manusia. Prinsipnya: yang penting untung.

Kalopun suatu vaksin belum siap untuk dipakai, kenapa juga harus dipaksakan?

Lantas, bagaimana dengan kemungkinan penggunaan obat untuk alternatif penanggulangan penyakit? Saya akan ulas pada tulisan kedua nanti.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!