Klaim Kosong Soal Kemanjuran (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
“Saya mah ogah pakai vaksin buatan China. Mending pakai vaksin buatan Barat aja. Lebih terjamin keamanan dan kemanjurannya serta sudah terbukti,” demikian ungkap seorang middle-class menanggapi beberapa vaksin yang dipakai di Wakanda.
Pertanyaannya: apa benar pernyataannya tersebut?
Kalo ngomong ngandelin jigong, begitu-lah jadinya. Nggak ada dasarnya. Asal comot dari media mainstream, maka semua sudah pasti benar. Padahal kita tahu, media mainstream itu adalah industri yang nggak bebas kepentingan. (baca disini dan disini)
Sekarang coba ditanyakan kepada middle-class tadi, “Memangnya tahu dari mana selain dari media, kalo vaksin buatan Barat lebih baik ketimbang vaksin buatan China?”
Saya jamin, dia nggak akan bisa kasih data yang mumpuni, karena memang data yang dia dapat hanya dari media saja. Dan menurutnya, kebenaran hanya didapat dari media dan bukan dari sumber yang lainnya. Titik.
Percuma kan, kalo kita ngeladenin golongan ongol-ongol kek gini dalam berdiskusi?
Sekarang kita coba bahas, dengan menyajikan data. Jadi, biarkan data yang bicara dan bukan jigong semata.
Tentang klaim efektivitas vaksin Big Pharma semisal buatan Pfizer & BioNTech, saya pernah ulas dengan detil pada Februari 2021 silam. (baca disini dan disini)
Saya coba ulas ulang, dengan kasih beberapa data tambahan terkini.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwa Big Pharma mati-matian klaim bahwa vaksin mereka efektif dalam melawan Kopit. Bahkan angkanya nyaris sempurna alias sudah mendekati 100%. (https://www.nytimes.com/2020/11/18/health/pfizer-covid-vaccine.html)
Untuk apa klaim tersebut diungkap?
Agar vaksinnya bisa lolos pada otorisasi penggunaan darurat (UEA), karena memang situasi dikatakan ‘mendesak’. Kalo tingkat efektivitasnya misalnya, hanya 60%, kira-kira apa publik mau terima? Kan nggak.
Makanya butuh angka yang ‘fastastik’ agar publik nggak punya keraguan atas vaksin tersebut. Bahasa sederhananya, harus lebay biar okay.
Berbekal angka fantastik tadi, FDA langsung kasih ijin penggunaan darurat bagi vaksin Big Pharma. (https://www.fda.gov/emergency-preparedness-and-response/coronavirus-disease-2019-covid-19/pfizer-biontech-covid-19-vaccine)
Bukan itu saja. Dana hibah segede gaban juga diberikan kepada Big Pharma yang dinilai telah sukses menciptakan vaksin ‘tahu bulat’ tersebut. Kurang enak apalagi, Choki? (https://www.pfizer.com/news/press-release/press-release-detail/pfizer-and-biontech-announce-agreement-us-government-600)
Terus, tahu darimana kalo Big Pharma keluarin data ‘bodong’?
Silakan anda baca buku: Smart Health Choices: Making Sense of Health Advice, yang isinya tentang panduan hidup sehat. Buku yang terbit pada 2008 silam ini banyak dijadikan rujukan bagi pegiat kesehatan yang ada di penjuru dunia. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK63630/)
Fokus kita bukan pada seluruh buku, namun pada bab ke delapan belas, yang bicara soal bagaimana kita dapat menilai tingkat efektivitas sebuah vaksin yang diproduksi sebuah perusahaan farmasi. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK63647/)
Disini, kita temukan ada 2 istilah utama.
Ada Absolute Risk Reduction (ARR) yang artinya perbedaan antara tingkat infeksi dengan atau tanpa intervensi medis. Ada juga Relative Risk Reduction (RRR) yang berarti seberapa besar suatu intervensi medis dapat mengurangi risiko terburuk.
Apa bedanya?
Jika ada sebuah studi acak yang dirancang dengan baik (tanpa ada pengganggu yang potensial), dan ditemukan bahwa (misalnya) 20% dari kelompok kontrol memiliki hasil yang buruk ketimbang 12% dari kelompok yang menerima perlakuan eksperimental, maka nilai ARR adalah selisih dari persentase tersebut.
Bisa dikatakan bahwa nilai ARR dari penelitian tersebut adalah 8%. Artinya 80 dari 1000 orang akan mendapatkan manfaat dari intervensi medis tersebut, sedangkan sisanya nggak.
Sedangkan untuk mengetahui berapa banyak angka yang dibutuhkan untuk mengobati (NNT) adalah 1000/80, alias sekitar 13.
Dengan kata lain, dari 13 subyek yang diberi perlakuan, maka hanya 1 subyek yang akan mendapatkan manfaat dari perlakuan tersebut, dan 12 sisanya nggak mendapat apa-apa.
Terus bagaimana dengan Relative Risk Reduction alias Pengurangan Risiko Relatif?
Dalam medis, RRR hanya mengukur seberapa besar intervensi dapat mengurangi risiko terhadap hasil yang buruk. Pada prinsipnya, ini mirip kek kupon diskon. Makin besar risiko anda terinfeksi sesuatu, maka makin banyak intervensi (diskon) diberikan agar anda nggak kena infeksi.
Jika demikian, maka yang perlu dilihat dari sebuah vaksin, nilai ARR atau RRR-nya?
Tentu nilai ARR, dan bukan malah RRR-nya, mengingat RRR nggak dapat melihat dengan jelas bagaimana suatu vaksin bisa bekerja secara efektif atau nggak.
Dr. Terry Shaneyfelt dari Universitas Alabama Birmingham menjelaskan bagaimana konsep RRR akan bisa menyesatkan publik jika dipakai sebagai rujukan. Sebaliknya, ARR-lah yang dijadikan ‘pegangan’. (https://www.youtube.com/watch?v=7K30MGvOs5s)
Sekarang coba dijawab. Dalam melaporkan tingkat efikasi suatu vaksin, produsen vaksin menampilkan data ARR atau RRR?
Tentu saja data RRR-nya dan (cenderung) menyembunyikan data ARR-nya. (https://blogs.bmj.com/bmj/2020/11/26/peter-doshi-pfizer-and-modernas-95-effective-vaccines-lets-be-cautious-and-first-see-the-full-data/)
Lantas, berapa nilai ARR dari vaksin Big Pharma yang disembunyikan tersebut?
Apa dampak dari pemberian data ‘bodong’ tersebut pada publik?
Pada bagian kedua, saya akan membahasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments