Klaim Kosong Soal Kemanjuran (*Bagian 2)


533

Klaim Kosong Soal Kemanjuran (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama saya sudah mengulas tentang tingkat ‘kemanjuran’ spektakuler yang diklaim oleh Big Pharma dalam mempromosikan vaksin yang dibuatnya kepada publik. (baca disini)

Nyatanya, itu hanya angka RRR alias Relative Risk Reduction, yang nggak menggambarkan apa-apa dalam menjawab kemanjuran vaksin.

“Harusnya yang dilihat itu adalah nilai ARR (Absolute Risk Reduction)-nya dan bukan nilai RRR-nya,” ungkap Dr. Terry Shaneyfelt dari Universitas Alabama, Birmingham. (https://www.youtube.com/watch?v=7K30MGvOs5s)

Lantas berapa nilai ARR dari vaksin Big Pharma yang disembunyikan?

Untuk vaksin Pfizer, nilai ARR-nya hanya 0,84%.

Sedangkan nilai NNTV (NNV) alias the Number Needed to Vaccinate adalah 256.

Apa arti angka 256 tersebut?

Untuk mencegah hanya 1 kasus infeksi Kopit, maka sebanyak 256 orang harus divaksin. Setelah divaksin, hanya 1 yang beroleh manfaat dan 255 lainnya tidak mendapatkan manfaat apapun. Malahan mereka bisa terkena efek samping dari vaksin yang disuntikkan ke tubuh mereka. (https://archive.is/fbvhK)

Secara singkat, vaksin yang dipakai nggak akan efektif mengurangi penyebaran infeksi virus ataupun dapat menyelamatkan nyawa manusia karena nilainya yang hanya 0,84%.

Apakah anda tahu data ini? Kan nggak. Yang anda tahu hanyalah data kemanjuran dari vaksin yang mencapai 95%. Itupun anda dapat dari media mainstream dan bukan dari sumber primer. Tahunya itu data ‘bodong’. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7745181/)

Apa hanya satu penelitian yang menyatakan bahwa data yang dikeluarkan Big Pharma ternyata bodong?

Nggak juga.

Dr. Piero Olliaro dan tim-nya dari Universitas Oxford juga menerbitkan jurnal pada The Lancet, yang isinya kurleb sama, dengan cakupan data yang lebih luas. (https://www.thelancet.com/journals/lanmic/article/PIIS2666-5247(21)00069-0/fulltext#%20)

“Kemanjuran vaksin umumnya dilaporkan sebagai Relative Risk Reduction (RRR), yaitu rasio tingkat serangan infeksi virus dengan atau tanpa vaksin. Padahal penggunaan RRR harus melihat latar belakang risiko infeksi yang kemudian menjadi C-19 yang bervariasi antar populasi dan dari waktu ke waktu,” begitu ungkap Dr. Olliaro.

Selanjutnya Dr. Olliaro menambahkan, “Sebaliknya ARR yang seharusnya menjadi rujukan untuk mengetahui manfaat vaksin, karena nilainya dapat membedakan tingkat serangan infeksi dengan dan tanpa vaksin, dengan mempertimbangkan seluruh populasi.”

Ini selaras dengan penelitian yang dilakukan tim dari Universitas Waterloo di Kanada yang juga menyimpulkan hal yang kurleb sama.

“Pelaporan dengan merujuk pada Relative Risk Reduction, dapat mengarah pada bias pelaporan dan salah tafsir tentang kemanjuran suatu vaksin,” begitu ungkapnya. (https://www.mdpi.com/1648-9144/57/3/199)

Sampai disini semoga anda paham yang saya telah jelaskan.

Kembali ke laptop.

Sekarang, berapa nilai dari Absolute Risk Reduction (ARR) yang seharusnya dilaporkan oleh produsen vaksin?

Menurut laporan yang dirilis pada The Lancet tersebut, angkanya bervariatif. Pfizer 0,84%, AstraZeneca 1,2%, Moderna 1,2% dan J&J 0,93%.

Dengan nilai sekecil itu, bisa dikatakan bahwa vaksin yang telah dibuat nggak akan mendatangkan manfaat bagi yang menerimanya. Malahan, bahaya efek samping dari vaksin yang harusnya dijadikan concern.

Nggak heran kalo nilai ARR memang sengaja ‘disembunyikan’ oleh pihak produsen vaksin, karena nilainya nggak cukup ‘seksi’ untuk dipublikasi. “Data nggak layak pakai, sangat diharamkan untuk bisa tersebar, bukan?”

Kalo begitu, adakah alternatif yang ditawarkan sebagai pengganti vaksin dalam menanggulangi Kopit?

Tentu ada.

Pertama anda bisa meningkatkan sistem imun anda dengan mengkonsumsi multivitamin, secara khusus CD Zinc alias vitamin C, D dan juga Zinc. Ini pernah saya ulas pada awal-awal pandemi. (baca disini dan disini)

Yang kedua anda bisa mengkonsumsi obat yang relatif aman dalam menanggulangi Kopit sebagai upaya profilaksis (pencegahan), semisal Hydroxychloroquine dan Povidone-Iodine.

Untuk hydroxychlroquine, saya pernah ulas dengan sangat detil. (baca disini, disini dan disini)

“Memangnya obat-obat tersebut aman untuk dikonsumsi? Kalo beneran aman, berapa nilai Absolute Risk Reduction-nya dalam menanggulangi Kopit?”

Untuk hydroxychloroquine nilainya 21%, sedangkan untuk Povidone-Iodine niilainya 24%. (https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1201971221003453)

Berbekal data yang ada, masih bisakah kaum middle-class tadi mengklaim kemanjuran vaksin seenak jidatnya?

Krik, krik, kriikk…

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


4 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. bang,teman kantor saya kemarin di vaksin pake astrazeneca,sampe skr msh demam.sy kirim tulisa abang yg bagian pertama setelah selesai di vaksin,jawabanx : “yg penting usahakan kondisi tubuh tetap fit, yg lainnya’ diserahkan kepada yg punya kehidupan ?”

    1. bro banyu, maaf baru membalas karena saya baru pulang dari bepergian ke luar kota.
      tentang vaksinasi Big Pharma, saya selaku analis hanya menyajikan data yang ajeg. dan saya nggak pernah memaksakan bahwa apa yang sudah saya tulis harus dipakai. bukan begitu mekanisme.

      saya hanya memberikan analisa pembanding agar pembaca bisa paham duduk masalahnya dengan clear. jadi nggak hanya berpatokan pada data yang disajikan media mainstream yang sudah jelas nggak bebas kepentingan.

      jadi, mau percaya syukur, nggak pun nggak masalah buat saya. termasuk soal vaksin Big Pharma.

      mau dipakai silakan, tapi kalo dikemudian hari ‘terjadi’ apa-apa, saya sudah mengingatkan diawal, bukan?

      semoga membantu.

  2. Halo Mas Ndaru,
    Saya rajin baca artikel Mas Ndaru sejak pemilu Ahok yang lalu. Terima kasih tulisan2nya karena membuka wawasan dan ngasih perbandingan rasional, sehingga tidak terlalu worry termakan bulat2 berita satu arah dari media mainstream.
    Menyoal pervaksinan, menurut Mas Ndaru, adakah kemungkinan bepergian (terutama ke luar negeri) itu wajib vaksin dulu kedepannya? Lalu apa kabar vaksin dr.Terawan yang tidak lulus2 BPOM? Bisakah akhirnya vaksin nusantara bisa dipakai rakyat nantinya?

    Terima kasih kalau Mas Ndaru mau bahas penasarannya saya 🙂
    *dari yang worry kena masuk vaksin big pharma

    1. maaf baru sempat membalasa pertanyaannya karena saya baru dari bepergian ke luar kota.
      senang rasanya kalo analisa yang saya buat dapat bermanfaat bagi orang lain, karena memang salah satu motivasi saya adalah memberikan informasi pembanding ditengah gempuran propaganda media mainstream, agar mereka yang sudah membaca punya referensi yang bukan ‘katanya’ mlulu.

      tentang bepergian ke LN apakah wajib vaksinasi, saya sudah membahasnya beberapa bulan lalu. bisa dibaca disini:
      https://ndaruanugerah.com/vaksin-dulu-baru-terbang/

      tentang kasus vaknus terawan, saya pernah juga bahas. silakan baca disini:
      https://ndaruanugerah.com/menilik-vaksin-terawan/
      https://ndaruanugerah.com/kode-keras-keoknya-terawan/

      tapi ada sasus saya dengar dari aktivis 98, kalo vaknus bakal dirilis pertanggal 17 agustus mendatang. sekali lagi ini hanya sasus yang nggak bisa dijadikan pegangan.

      saran saya: hindari main suntik. kalopun terpaksa, pakai vaksin yang ‘relatif’ aman, yaitu: sinovac atau sinopharm.

      semoga membantu

error: Content is protected !!