Saat Tekanan Ditingkatkan


518

Saat Tekanan Ditingkatkan

Oleh: Ndaru Anugerah

Begitu hydroxychloroquine dinyatakan oleh banyak ilmuwan dunia sebagai potent inhibitor alias obat yang mujarab bagi si Kopit, saat itu juga banyak serangan secara masif dialamatkan kepada hydroxychloroquine.

Apalagi tujuannya kalo nggak untuk ‘membunuh’ eksistensi obat yang terbilang murah dan efektif tersebut.

Gak percaya?

Pada 22 Mei silam, evaluasi untuk menggunakan hydroxychloroquine dirilis oleh The Lancet sebagai jurnal ilmiah yang punya reputasi internasional.

“Berdasarkan data, ada 96.032 pasien yang dirawat di 671 rumah sakit karena menderita C19, yang tersebar di seluruh dunia. Dan treatment menggunakan hydroxychloroquine diakui mendorong tingkat kematian pasien,” demikian kurleb pernyataan Prof. Mandeep Mehra sebagai kepala tim penelitian tersebut.

Belakangan, hasil risetnya nyatanya hanya abal-abal dan terpaksa DITARIK DARI PEREDARAN. Padahal Prof. Mandeep Mehra merupakan pakar kesehatan dari HARVARD Medical School. Kok bisa ngarang penelitian rekayasa tersebut?

Ini yang kemudian memicu skandal penelitian ilmiah yang dikenal dengan Surgisphere Scandal.

Tentang ini saya pernah bahas dengan lengkap. (baca disini)

Siapa pihak dibelakang layar terhadap penelitian rekayasa tersebut?

Nggak lain adalah Big Pharma dengan pion utamanya, Dr. Anthony Fauci.

Lalu, selepas skandal Surgisphere tersebut, apakah tekanan terhadap hydroxychloroquine menjadi kendor? Boro-boro. Yang ada makin di gas pol.

Maksudnya?

Di Amrik sana, para dokter telah diancam oleh Dewan Perizinan Medis Negara (State Medical Licensing Boards), UNTUK TIDAK MERESEPKAN HCQ sebagai obat yang efektif untuk C19.

Pada wawancara yang dilakukan oleh Fox News, Prof Harvey Risch dari Yale University selaku pakar Epidemiologi menyatakan, “75.000 hingga 100.000 jiwa bisa diselamatkan, jika larangan untuk meresepkan HCQ (hydroxychloroquine) oleh negara dicabut.” (https://youtu.be/wr8CpMudkrE)

Prof. Risch selaku pakar yang bukan kaleng-kaleng merasa bingung, kenapa ada obat potensial untuk mengatasi wabah si Kopit, kok justru negara melarangnya. “Bukankah negara harusnya senang, kalo rakyatnya jadi sedikit yang mati gegera si Kopit?” demikian kurleb pemikiran sang profesor.

Dan tebak siapa yang bertanggungjawab terhadap pelarangan pemberian resep hydroxychloroquine pada pasien C19? Dr. Anthony Fauci selaku penasihat kesehatan Gedung Putih.

“Tidak ada obat yang terbukti mujarab bagi C19. Penggunaan hydroxychloroquine tidak bisa diterapkan karena dampaknya tidak cukup diketahui (5/4),” begitu kilahnya. (https://www.theguardian.com/world/2020/apr/05/coronavirus-fauci-trump-anti-malaria-drug)

Nyatanya, pernyataan Dr. Fauci bukan saja salah, tapi juga ngawur.

Pada tahun 2002, CDC telah menggunakan chloroquine terhadap infeksi virus Corona SARS-1, setelah melakukan uji klinis sebelumnya. Hasil penelitian yang dilakukan CDC tersebut lalu dipublikasikan pada Jurnal Virologi di tahun 2005.

“Kami berkesimpulan, bahwa chloroquine adalah inhibitor kuat terhadap infeksi dan penyebaran virus Corona SARS,” begitu isi kesimpulan penelitian CDC. (baca disini)

Lantas apa motivasi utama dibalik pelarangan memberikan resep HCQ bagi pasien C19 oleh para dokter di Amrik?

Untuk mempromosikan Remdesivir sebagai obat yang ditawarkan oleh Big Pharma, terhadap pasien C19.

Sebagai informasi, pemerintahan Trump telah menjalin kontrak dengan Gilead Sciences Inc selaku perusahaan farmasi yang memproduksi obat Remdesivir. Kontraknya nggak tanggung-tanggung, senilai USD 1,6 milyar.

Dan selaku kepala NIAID, Dr. Fauci telah memberikan greenlight untuk memakai Remdesivir secara nasional. “Laporan awal terhadap penelitian yang dilakukan NIH-NIAID menemukan bahwa Remdesivir telah berhasil mengobati pasien C19,” begitu isi laporannya. (https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa2007764?query=recirc_mostViewed_railB_article)

Apakah mujarab seperti klaim Dr. Fauci?

Saya pernah mengulasnya dengan lengkap. (baca disini)

Bagi analis seperti saya, pelarangan ini makin meyakinkan saya bahwa memang HCQ (hydroxychloroquine) adalah OBAT POTENSIAL UNTUK SI KOPIT. Kalo nggak, ngapain juga ditekan sedemikian hebatnya?

Jadi kalo pakde masih bingung cari solusi terhadap pandemi si Kopit, ini sudah saya kasih solusinya, lho ya…

Sebagai analis, saya wajib kasih solusi, bukan cuma bisa koar-koar di medsos tanpa juntrungan yang jelas. Inilah solusi yang saya tawarkan, karena ada banyak ilmuwan dunia yang sudah MELAKUKANNYA DAN BERHASIL. (baca disini)

Mau dipakai monggo. Nggak dipakaipun tidak masalah.

Andalah pengambil kebijakan. Keputusan ada ditangan anda.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!