Upaya Menggoyang Thailand


518

Upaya Menggoyang Thailand

Oleh: Ndaru Anugerah

Ratusan orang berdemonstrasi di dekat Monumen Demokrasi yang ada di Bangkok. Mereka menuntut pembubaran DPR hingga penulisan ulang konstitusi yang berlaku saat ini.

Nggak pakai lama, media mainstream pro Barat yang ada di Thailand (Bangkok Post) langsung menurunkan headline (18/7): “Ratusan orang sedang menyuarakan proses demokratisasi di Thailand.” (https://www.bangkokpost.com/thailand/politics/1953592/hundreds-rally-for-democracy)

Siapa yang menggalang aksi demonstrasi di tengah pandemi?

Sedikit informasi yang diketahui berdasarkan paparan media mainstream tersebut.

Data yang berhasil didapatkan (setelah anda membacanya) bahwa aksi demonstrasi itu dikoordinir oleh kelompok organisasi yang bernama Free Youth. Apa itu Free Youth, nggak ada keterangan tambahan. Terus darimana juga mereka mendapatkan dana untuk demonstrasi?

Ini perlu ditanyakan, mengingat mayoritas masyarakat Thailand tengah berjuang untuk bisa kembali berbisnis ditengah krisis ekonomi yang dipicu oleh si Kopit. “Orang waras mana yang mau demonstrasi dengan biaya sendiri?”

Memang ini sengaja dibuat demikian agar ‘udang dibalik bakwannya’ tidak tercium masyarakat awam. Kalo ketahuan siapa yang jadi bohir demonstrasi, apa nggak runyam skenarionya?

Untuk tahu tentang ‘udang dibalik bakwan tersebut’, makanya anda membaca ulasan saya, bukan?

Langsung kita turun ke TKP…

Pada saat demonstrasi, banyak daftar ‘orang-orang hilang’ yang sengaja dipajang dalam bentuk poster. Ada Somcai Neelapaijit, Cha Lee Rackhongcharoen hingga Surachai Saedan. Seolah, para demonstran mau ngomong: “Rezim saat ini nggak demokratis, karena aktivis yang hilang tidak dipedulikan oleh rezim militer.”

Tapi itu belum bisa mengungkap siapa pendana demonstrasi tersebut. Masa korban penculikan yang jadi bohir-nya? Kan jelas mengada-ada.

Jika anda jeli, pada salah satu poster yang diusung demonstran, ada tertulis nama TLHR alias Pengacara Thailand untuk HAM. Sekedar informasi, Anon Nampa selaku salah satu anggota TLHR, merupakan sosok yang memimpin demonstrasi tersebut.

Lalu makhluk apakah TLHR tersebut? Mengapa isu HAM yang kerap jadi barang dagangannya? Kalo anda rajin baca ulasan saya, pasti anda paham yang saya maksud. (baca disini dan disini)

Sudah sejak 2014 TLHR mendapatkan dana hibah dari NED alias National Endowment for Democracy sebagai kepanjangan tangan Deplu AS. “TLHR menerima dana dari donatur internasional, mulai dari Uni Eropa, Jerman dan organisasi HAM yang berbasis di AS…” (https://www.bangkokpost.com/thailand/general/1122465/the-lawyer-preparing-to-defend-herself)

Bahkan salah satu pendiri TLHR yang bernama Sirikan Charoensiri, sempat mendapat penghargaan International Women of Courage Award dari Deplu AS di tahun 2018. (https://th.usembassy.gov/2018-international-women-courage-award/)

Wah, mulai terbuka ya siapa aktor intelektualnya.

Selain TLHR, ada juga surat kabar indie Thailand yang bernama Prachatai, yang juga dapat suntikan dana dari AS dan juga George Soros selaku pemiliki yayasan Open Society yang sangat dermawan bagi para proxy pendukung color revolution di banyak negara. (https://www.washingtonpost.com/archive/business/2005/03/25/soross-conviction-upheld/94e419fd-33a0-4e4e-a475-596b3c1f431a/)

Walaupun Prachatai nggak pernah mengekspos siapa donatur bagi koran indie-nya tersebut, nyatanya 8 juta Baht telah meluncur ke rekening mereka langsung dari negeri Paman Sam. (http://altthainews.blogspot.com/2011/08/exposed-indy-funded-by-us-government.html)

Bahkan NED sendiri, mengakui telah mendanai Prachatai sebanyak 1,5 juta Baht, dengan nama samaran “Yayasan Media Pendidikan Masyarakat”. (https://www.ned.org/region/asia/thailand-2019/)

Dan yang paling gamblang, Direktur Eksekutif Prachatai – Chiranuch Premchaiporn – masih terdaftar sebagai Fellow dari NED. (https://www.ned.org/fellows/ms-chiranuch-premchaiporn/)

Jadi fungsi dari Prachatai nggak lain adalah penghubung Thailand ke Washington, sebagai corong propaganda AS sekaligus wadah pemberi pelatihan bagi para demonstran. (https://www.ned.org/fellowships/reagan-fascell-democracy-fellows-program/)

Pertanyaannya: kenapa AS berniat menggoyang negeri Gajah tersebut?

Jawabannya, karena ‘cemburu’ melihat hubungan mesra yang terjalin antara China dan Thailand. Ini bukan tanpa sebab, mengingat kedekatan antara keduanya, makin erat dari hari ke hari.

Tank militer buatan AS yang sudah usang, mulai digantikan oleh tank pabrikan China VT4 oleh pemerintah Thailand. (https://www.armyrecognition.com/january_2018_global_defense_security_army_news_industry/royal_thai_army_tests_chinese-built_vt4_main_battle_tank.html)

Bahkan kendaraan tempur, kapal angkatan laut (seperti kapal selam) hingga peluncur rudal DTI-1, juga mulai pakai buatan Tiongkok. (https://www.armyrecognition.com/april_2017_global_defense_security_news_industry/thailand_has_signed_a_contract_to_purchase_34_zbl09_8x8_infantry_fighting_vehicles_from_china_10804171.html)

Dan yang buat Washington meradang adalah saat Thailand dan China mulai mengadakan latihan militer gabungan sejak 2016 silam. (https://www.reuters.com/article/us-china-thailand/china-thailand-set-to-hold-joint-military-exercises-idUSKCN0Y417U)

Lalu kenapa China menempel erat Thailand?

China jelas punya kepentingan. Pada mega proyek BRI-nya, Thailand berada di jalur perlintasan Kereta Berkecepatan Tinggi yang menghubungkan China, Laos, Thailand dan Malaysia sebagai koridor ekonomi China. (https://www.bangkokpost.com/thailand/general/1383314/construction-of-thai-chinese-railway-begins)

Dan bagi Thailand, China merupakan rekanan bisnis dalam bidang ekspor impor yang mulai menggantikan peran Amrik. “FDI China di Thailand jauh lebih tinggi ketimbang FDI AS.” (https://www.scmp.com/week-asia/economics/article/3047489/china-becomes-thailands-top-source-foreign-investment-first)

Aliasnya, dua-duanya sama-sama saling untung. Gimana AS nggak ketar-ketir?

Sialnya, boneka AS di Thailand – Thaksin – telah digulingkan pada 2006 silam. Penggantinya sebagai proxy AS, Thanathorn Juangroongruangkit, juga gagal pada pemilu 2019 silam dan dipaksa jadi oposisi setelah kalah sekitar 2 juta suara.

“Kalo saya terpilih, saya akan meninggalkan proyek kereta cepat China dan akan memangkas biaya militer yang membeli persenjataan asal Tiongkok,” demikian ungkap Thanathorn saat kampanye. (https://journal-neo.org/2019/11/10/exposed-us-lobbyists-behind-thai-opposition/)

Bahkan secara vulgar Thanathorn mengungkapkan bahwa dirinya mendukung upaya AS terhadap demonstrasi di Hong Kong, dan BERENCANA menggunakan taktik serupa di Thailand. (http://altthainews.blogspot.com/2019/10/us-agitators-in-asia-united-over-hong.html)

Dengan kata lain, AS berencana menggulingkan rezim di Thailand saat ini lewat revolusi warna ala mereka. Kenapa? Karena Thailand mulai menjauh dari Washington.

Akankah berhasil?

Kalo pihak militer yang pegang kendali, apa semudah membalikkan telapak tangan?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!