Mengekspor Revolusi Warna


518

Mengekspor Revolusi Warna

Oleh: Ndaru Anugerah

Di tahun 1983, strategi menggulingkan rejim pemerintah yang tidak sejalan dengan garis kebijakan Washington, dilahirkan. Tentu saja gerakannya tidak dengan vulgar mempromosikan penggulingan rejim, tapi pakai istilah yang lebih soft: “Mendirikan pemerintah yang demokratis.” (http://core.ac.uk/download/pdf/18614349.pdf)

Prof. Gene Sharp (seorang ilmuwan sosial) kemudian menyempurnakan strategi tersebut dalam laporannya ‘Making Europe Unconquerable’ yang dirilis pada tahun 1985. Inilah cikal bakal revolusi warna yang ada pada saat ini. (https://www.howtostartarevolution.org/single-post/GeneSharpObituary)

Filosofi dasar gerakan ini sangat sederhana: ‘Suatu pemerintah bisa ada karena orang setuju dan mematuhinya.’ Gerakan ini pada awalnya ditujukan untuk mendegradasi pengaruh Uni Soviet di era Perang Dingin pada wilayah dataran Eropa. (https://www.voltairenet.org/article175241.html)

Pada tataran teknis, diciptakan banyak yayasan dan LSM yang akan mempromosikan konsep demokrasi ke banyak negara. Ada Albert Einstein Institute (AEI), National Endowment for Democracy (NED), International Republican Institute (IRI), National Democracy Inctitute (NDI), Freedom House hingga International Center on Nonviolent Conflict (ICNC).

Mengapa harus menggunakan tangan yayasan/LSM?

“Demokrasi nggak mungkin muncul dari todongan senjata, bukan?”

Setelah banyak yayasan dan LSM terbentuk, maka dibutuhkan dana operasional untuk menjalankannya. Uangnya darimana?

USAID selaku cabang Deplu AS mempunyai peran penting dibelakang yayasan dan LSM yang terbentuk tadi, dalam menggelontorkan dana. Siapa pendananya? Banyak donatur tentunya, salah satu yang donatur jumbo adalah George Soros lewat yayasan Open Society yang dimilikinya. (https://www.attac.hu/2017/06/george-soros-open-society-foundations-and-their-role-in-color-revolutions/)

Bagaimana cara kerja revolusi warna?

Polanya selalu sama. Akan ada wajah segar yang biasanya diambil dari kalangan mahasiswa atau pemuda, sehingga dapat menarik orang lain untuk bergabung dalam gerakan ‘pembaharuan’ tersebut. Dalam setiap gerakannya, selalu ada logo, warna dan strategi pemasaran yang pada umumnya sama, alias tinggal copas.

Ingat fist clenched alias kepalan tangan, kan? Itulah logo yang selalu mereka usung. Tentang warna dan strategi pemasaran, ya disesuaikan dengan kondisi negara masing-masing. Waktu OTPOR menggulingkan Slobodan Milosevic di Serbia, kepalan tangannya hitam putih. Tapi di Ukraina, warnanya aja yang berubah jadi oranye, dan di Georgia mengambil warna merah bunga mawar.

Tapi nggak melulu kepalan tangan yang mereka pakai sebagai simbol gerakan. Di Venezuela misalnya, tangannya bukan dikepal, tapi dibuka dengan komposisi warna hitam dan putih. Ya, tangan-tangan juga sih, yang dipakai sebagai simbol gerakan mereka.

Secara mendasar, revolusi warna menyasar negara-negara dengan sumber daya strategis seperti kekayaan alam (gas, minyak, nikel, emas, uranium dan lainnya), dan geopolitik (bagi kepentingan AS untuk mendirikan pangkalan militernya). (https://mronline.org/2010/02/06/colored-revolutions-a-new-form-of-regime-change-made-in-usa/)

Namun sayangnya, negara dengan sumber daya strategis tadi dipimpin oleh figur yang biasanya sosialis dan anti imperalisme. Sudah tentu nggak mau didikte sama Mamarika.

Jangan heran bila gerakan yang dipromosikan oleh proxy AS dengan agenda revolusi warna tadi, temanya seperti: anti komunis atau rejim otoriter. Dan demokrasi adalah jargon yang paling sesuai bagi gerakan ini, ditambah embel-embel ‘AKSI TANPA KEKERASAN’.

Protes dan tindakan destabilisasi selalu mengambil setting di sekitar kampanye atau proses PEMILU, dengan modus meningkatkan ketegangan dan menggaungkan potensi kecurangan pemilu. Terutama bila calon yang bakal disokong AS bakalan kalah dalam proses pemilu tersebut.

Lalu bagaimana dengan pelatihan dan pendanaan serta ‘pengarahan’ yang diberikan bagi proxy AS sebagai ujung tombak gerakan revolusi warna?

Semua bisa terlaksana karena ada peran serta USAID dan yayasan/LSM yang telah dibentuk tadi. Srdja Popovic selaku pendiri OTPOR mengungkapkan bagaimana mereka diajarkan untuk memilih orang dalam sistem yang bisa DIPENGARUHI bahwa mereka sama-sama korban dari rejim yang ada untuk sekedar mendukung gerakan revolusi warna. (https://www.mediaed.org/transcripts/How-to-Start-a-Revolution-Transcript.pdf)

Siapa orang-orang potensial yang bisa ‘direkrut’ dalam mendukung gerakan tersebut?

Macam-macam. Mulai dari pasukan bersenjata, pejabat publik hingga influencer yang dapat mempengaruhi banyak orang untuk bersimpati pada gerakan mereka.

Pada beberapa negara, gerakan revolusi negara meraih kesuksesan. Di banyak negara bekas pecahan Uni Soviet, adalah contohnya.

Namun pada beberapa negara, revolusi warna justru berakhir blangsak.

Pada kasus Venezuela (2003) misalnya, gerakan revolusi warna berakhir anti-klimaks.

Padahal Albert Einstein Institute lewat tangan Kol. Helvey sengaja diturunkan untuk memberikan pelatihan selama 9 hari secara intensif kepada partai-partai politik oposisi, LSM, aktivis mahasiswa dan serikat buruh tentang bagaimana ‘MENGGULINGKAN SEORANG DIKTATOR’. (https://www.alainet.org/en/active/36085)

Tentu saja figur yang hendak digulingkan adalah Presiden Hugo Chavez.

Chavez yang berhasil memenangkan pemilu dengan 60% suara, belakangan diganjar aksi-aksi jalanan yang sarat dengan kekerasan untuk mendestabilisasi kepemimpinannya. Semua dengan tuduhan: PEMILU CURANG, KAMI MINTA REFERENDUM.

Padahal, pengamat internasional termasuk Carter Center dan OAS, telah mengeluarkan laporannya bahwa proses pemilu di Venezuela telah berjalan transparan, sah dan bebas dari manipulasi suara. (https://www.telesurenglish.net/analysis/Consistent-Free-Fair-Venezuelas-Election-History-Analyzed-20180517-0026.html)

Kalo sudah tahu Chavez menang Pemilu dengan cara demokratis, lalu kenapa nekat digulingkan?

Ya karena Chavez nggak mau tunduk terhadap garis kebijakan Washington, selain Chavez dikenal sebagai sosok sosialis yang ada di backyard dari AS. “Bukankah BAHAYA MERAH sifatnya menular seperti virus?” begitu diktum kebijakan Washington berbunyi.

Dengan dana jutaan dollar yang telah digelontorkan AS, toh akhirnya nggak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Chavez tetap memimpin dan kini Nicolas Maduro melanjutkan era kepemimpinannya.

Adakah jejak revolusi warna di negeri ber-flower?

Kalo anda mempelajari gerakan-gerakan pro-demokrasi ‘tanpa kekerasan’ atau gerakan anti-komunis yang ada di negeri ber-flower, maka anda akan banyak menemukan jejak USAID plus dan Soros di dalamnya.

Masa saya perlu jelasin sih?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Akttivis 98 GEMA IPB)


3 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Ternyata selama ini si jubah dan jaket tolol mendukung org yg sama yg sdh memporakporandakan negeri ini sekitar th 97-98

error: Content is protected !!