Skandal Surgisphere


512

Skandal Surgisphere

Oleh: Ndaru Anugerah

“Apa obat alternatif yang potensial untuk pasien C19?” tanya seseorang kepadaku.

Hydroxychloroquine/chloroquine.

“Bagaimana bisa tahu itu obat efektifnya?” tanyanya kembali.

Setidaknya ada 3 alasan.

Pertama, pakar medis kelas dunia sudah mengungkapkannya dalam berbagai jurnal ilmiah. Salah satunya Prof. Raoult Didier yang namanya sudah terkenal di kolong jagat kesehatan dunia. Tentang ini saya pernah bahas berulang-ulang. (baca disini)

Kedua, laporan Dr. Martin J. Vincent dari CDC dalam The Virology Journal di tahun 2005, tentang temuan beberapa ilmuwan yang menggunakan chloroquine dalam pengobatan SARS, dengan judul: “Chloroquine adalah OBAT TERUJI sebagai penghambat kuat infeksi dan penyebaran virus Corona SARS.” (baca disini)

Dan terakhir, skandal Surgisphere. Pernah dengar?

Saya kasih informasinya, biar anda semua tahu kebenaran yang ada seputar obat penawar C19 yang bernama hydroxychloroquine/chloroquine.

Ceritanya, kabar tentang hydroxychloroquine sebagai penawar C19 sudah beredar kemana-mana. Nah kalo tentang hal ini sampai SEMUA ORANG DI DUNIA TAHU, jelas mendatangkan ancaman bagi proyek vaksinasi global yang diusung oleh BG lewat big pharma. Mana laku proyek jualan vaksin plus? Kan obatnya udah ditemuin?

Ini tambah diperparah, mana kala sejumlah negara mulai mengadakan uji coba klinis pemakaian hydroxychloroquine pada pasien C19.

“INI HARUS DIHENTIKAN,” begitu kurleb kegalauan BG. Singkat cerita disusunlah rencana yang bisa MENGGAGALKAN uji coba klinis hydroxychloroquine tersebut secara massal.

Eng ing eng… akhirnya muncullah hasil riset ABRAKADABRA yang disusun oleh tim yang dipimpin oleh Prof. Mandeep Mehra dari HARVARD MEDICAL SCHOOL. Jadi bukan kaleng-kaleng nipu-nya kali ini, gaes. (https://www.thelancet.com/lancet/article/s0140673620311806)

Penelitian yang dipublikasi oleh jurnal medis paling bergengsi di dunia – The Lancet (22/5) dengan berjudul: “Hydroxychloroquine or chloroquine with or without a macrolide for treatment of COVID-19: a multinational registry analysis” isinya kurleb mengatakan: “Hydroxychloroquine/chloroquine BUKANLAH obat alternatif C19, MALAH BISA MENDATANGKAN KEMATIAN.”

Berbekal penelitian abal-abal tersebut, WHO menetapkan bahwa hydroxychloroquine/chloroquine NGGAK BOLEH DIPAKAI sebagai obat alternatif C19, karena ALASAN KEAMANAN. Berbekal informasi tersebut, maka pengujian dibanyak negara-pun otomatis dihentikan. (https://www.theguardian.com/world/2020/may/25/who-world-health-organization-hydroxychloroquine-trial-trump-coronavirus-safety-fears)

Begitu hasil penelitian tersebut dirilis, SAYA TERMASUK YANG PALING DEPAN MENGANALISA bahwa hasil risetnya CACAT DAN PENUH MANIPULATIF. Banyak kejanggalan yang saya temukan disana. (baca disini)

Dan benar saja, investigasi yang dilakukan oleh The Guardian kemudian mengungkapkan bahwa penelitian yang dirilis oleh Prof. Mandeep Mehra dan tim-nya, nggak lain merupakan science fiction alias PENELITIAN ABAL-ABAL.

“Penelitian tersebut kini tengah diaudit. Termasuk satu klaim yang dilakukan oleh pakar yang punya reputasi ilmiah dan juga integritas tentang konten gambar yang tampaknya telah dimanipulasi secara digital,” ungkap The Guardian. (https://www.theguardian.com/world/2020/jun/03/covid-19-surgisphere-who-world-health-organization-hydroxychloroquine)

The Lancet-pun yang merasa malu karena ‘TELAH KECOLONGAN’ langsung menarik hasil publikasi penelitian abal-abal tersebut dari forum ilmiahnya. “Beberapa masalah muncul sehubungan dengan kebenaran data dan analisis yang dilakukan dalam publikasi kami,” ungkap The Lancet. (https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)31324-6/fulltext)

Lalu siapa pihak yang bertanggungjawab terhadap manipulasi data dalam riset abal-abal tersebut?

Menurut The Guardian, yang bertanggungjawab adalah perusahaan AS yang bernama Surgisphere Corporation. (https://www.theguardian.com/world/surgisphere)

Namun anehnya, CEO Surgisphere – Dr. Sapan Desai malah menolak bertanggungjawab. “Yang nulis jurnal itu Prof. Mandeep Mehra dari Fakultas Kedokteran, Harvard dan bukan saya,” kilah Dr. Desai. (https://www.chinadaily.com.cn/a/202006/08/WS5edda46aa310834817251720.html)

Pertanyaannya: apakah seorang Prof. Mehra punya cukup uang untuk melakukan penelitian abal-abal sekalipun, tanpa ada yang kasih perintah? Lha apa kepentingan Prof. Mehra sehingga harus mengarang penelitian ngawur tersebut.

Jelas nggak masuk akal. Yang paling masuk akal, ADA YANG MEMERINTAHKAN PROF. MEHRA untuk buat penelitian abal-abal tersebut dan bukan inisiatif pribadi.

Berdasarkan pengakuan The Lancet, penelitian tersebut mendapatkan suntikkan dana dari Brigham Health lewat tangan Prof. Mehra. Dan berdasarkan data, Brigham Health telah menandatangani kontrak besar dengan GILEAD Sciences Inc., dalam mengembangkan obat C19 yang bernama Remdesivir, sejak Maret 2020 lalu. (https://www.brighamhealthonamission.org/2020/03/26/two-remdesivir-clinical-trials-underway-at-brigham-and-womens-hospital/)

Dan kita tahu bahwa Gilead merupakan jaringan big pharma dengan BG sebagai konduktor-nya. Dan kita tahu juga, kalo untuk menggiring opini publik internasional, butuh peran media mainstream.

Nggak aneh kalo misalnya CNN, adalah pihak yang paling terdepan untuk mempublikasikan hasil penelitian abal-abal Prof. Mehra dari Harvard. “Data menunjukkan hydroxychloroquine bukan obat yang efektif bagi C19,” begitu kurleb isi beritanya. (https://www.cnn.com/2020/05/22/health/hydroxychloroquine-coronavirus-lancet-study/index.html)

Nggak aneh juga kalo misalnya Dr. Anthony Fauci selaku penasihat kesehatan Trump mati-matian mengatakan, “Tidak ada obat untuk C19, karena satu-satunya SOLUSI ADALAH VAKSIN.” (https://www.cnn.com/2020/05/27/politics/anthony-fauci-hydroxychloroquine-trump-cnntv/index.html)

Kenapa? Karena mereka satu komplotan, Malih.

Merujuk pada ulasan yang diterbitkan Spectator, “Kampanye untuk menghancurkan hydroxychloroquine telah dilakukan tanpa henti, baik oleh perusahaan farmasi pesaing dan mereka yang ingin menghancurkan ekonomi AS untuk memajukan agenda politik mereka.” (https://www.spectator.com.au/2020/06/lancet-gate/)

Siapakah yang dimaksud dengan MEREKA? Ya komplotan elite global tadi.

Kesimpulannya, ngapain juga kalo hydroxychloroquine bukan obat potensial bagi C19 harus DIBUNUH LEWAT KAMPANYE MASIF MEDIA MAINSTREAM?

Nggak butuh seorang Einstein untuk menarik benang merahnya, kan?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!