Argumentum ad Verecundiam


518

Argumentum ad Verecundiam

Oleh: Ndaru Anugerah

“Selaku analis, apa yang Abang tidak sukai?” tanya seorang netizen.

Agak bingung juga menjawab pertanyaan ini, karena bagi saya kegiatan menganalisa adalah pekerjaan yang memang sangat melelahkan, namun saya sangat menikmatinya.

Ini akan mendatangkan sukacita di hati saya saat melihat orang lain mendapatkan manfaat atas apa yang telah saya tulis. Sudah banyak pembaca yang mengungkapkan rasa terima kasihnya atas informasi yang sudah saya berikan pada mereka secara gratis.

I am so thrilled having this kind of situation.

Jadi kalo ditanya apa yang tidak saya sukai, sepertinya nggak ada. Cuma memang saya ada 2 hal yang terkadang mengganjal di benak saya.

Apa itu?

Pertama soal etika dalam mengambil karya seseorang. Dalam kaji akademik, jika kita ingin mengambil karya orang, sudah jadi kewajiban kalo kita mencantumkan sumber dari mana karya tersebut diambil. Itu namanya citation. (https://en.wikipedia.org/wiki/Citation)

Saya nggak pernah melarang karya saya diambil (baik sebagian atau secara menyeluruh) untuk dijadikan rujukan ataupun disebar ke pihak lain, asal jangan lupa mencantumkan sumbernya. Dalam kaji akademik ini diperlukan agar ada ‘kejujuran intelektual’.

Mengutip apa yang dikatakan pakar etika Harvard University, Louis M. Guenin, “Kejujuran intelektual diperlukan sebagai karakter yang baik untuk menghindari penipuan.” (https://philpapers.org/rec/GUEIH-2)

Teknisnya begini, kalo anda mau ambil karya saya, jangan lupa sebutkan sumbernya. Jadi jangan asal comot karya orang, terus disebar kemana-mana. Terlebih jika kemudian anda mengklaim kalo karya itu hasil yang anda sendiri buat padahal ambil dari karya orang. Secara akademik itu nggak benar.

Yang kedua adalah orang yang kerap meneriakkan kesalahan logika berpikir. Yang saya maksud ‘argumentum ad verecundiam’.

Apa maksudnya?

Secara umum argumentum ad verecundiam atau argumen kekuasaan adalah pandangan yang menyatakan bahwa opini yang dikeluarkan oleh seorang pakar di bidangnya, yang dinyatakan paling benar. (https://writingcenter.unc.edu/tips-and-tools/fallacies/)

Jadi menurut orang yang punya pandangan ini, kalo anda nggak punya background dalam sejarah (misalnya), maka apapun yang anda keluarkan dalam kaji sejarah akan dianggap nggak kredibel karena anda bukan pakar di bidang itu.

“Kalo anda mau mengeluarkan analisa di bidang tertentu, maka anda harus kuliah dulu di bidang itu. Kalo nggak, jangan sekali-kali buat analisa,” kurleb-nya demikian.

Maksudnya: saat saya yang nggak kuliah di bidang politik terus mengriktik kebijakan politik yang salah semasa pak Harto berkuasa adalah hal yang salah, gitu?

Ini sungguh menggelikan, karena biasanya orang yang ngomong dengan mindset demikian, biasanya nggak pernah kuliah pasca sarjana. Ini logika fact-checker.

Kenapa?

Kalo anda pernah mengikuti perkuliahan pasca sarjana, ada yang namanya academic writing. (https://www.ed.ac.uk/files/atoms/files/aewpg_ismaterials.pdf)

Dalam academic writing tersebut, seorang mahasiswa program pasca sarjana diarahkan untuk dapat menulis sesuai kaji akademik.

Apa saja kaji akademik yang dimaksud?

Hasil karya tulisnya mencakup beberapa aspek, antara lain: (1) structured, (2) evidenced, (3) critical, (4) precise, (5) balanced, (6) objective and (7) formal. Semua elemen ini diramu dalam tiap paragraf yang seseorang hasilkan. (https://www.eapfoundation.com/writing/what/)

Jadi kalo seseorang ingin buat suatu analisa, academic writing-lah yang dijadikan rujukan, bukan argumentum ad verecundiam, mengingat apa yang anda analisa adalah opini anda yang butuh elemen-elemen tadi agar bisa dicerna publik.

Sekali lagi opini andalah yang akan anda kembangkan dalam kerangka akademis. Bicara soal opini, siapapun bisa beropini. Namun apakah itu bersifat akademik, ke tujuh elemen tadi-lah yang dijadikan rujukannya.

Sekarang kalo misalnya saya katakan bahwa Trump nggak akan terpilih menjadi presiden AS kembali di pilpres 2020 kemarin, karena ketidak-sukaan saya semata pada sosok Trump, itu bukan academic writing karena subyektif sifatnya.

Lain ceritanya kalo saya bilang sosok Trump nggak akan terpilih karena beberapa fakta yang saya sajikan secara kritis dan berimbang, dan kemudian analisa yang saya sajikan belakangan hari terbukti benar, itu academic writing. (baca disini)

Begitupun dengan analisa-analisa saya lainnya, yang kemudian menemukan pembenarannya. Meskipun gaya yang saya pakai dalam menulis nggak formal, bukan berarti ini tidak akademis. Ini saya lakukan agar anda mudah mencerna informasi yang saya sajikan dengan gaya informal.

Satu hal lagi bahwa saya bukan dukun yang bisa meramal tanpa data. Saya hanya bisa memprediksi, dan memprediksi butuh data.

Apa yang memungkinkan saya agar bisa melakukan prediksi?

Saya butuh referensi. Pendapat para pakar di ‘bidangnya’ yang SELALU saya pakai sebagai rujukan. Jadi semua ada rujukannya dan bukan semata-mata opini saya semata.

Semoga anda mengerti atas uneg-uneg yang saya sampaikan kali ini.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!