Big Pharma Mulai Kalap


515

Big Pharma Mulai Kalap

Oleh: Ndaru Anugerah

Dalam tulisan saya yang terakhir tentang penggunaan chloroquine sebagai obat alternatif penanganan pandemi C19, saya sempat menulis bahwa akan ada uji klinis tandingan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk menegasikan fungsi dari chloroquine. (baca disini)

Dan sekarang, prediksi saya terbukti.

Sebuah penelitian yang dipublikasi Lancet (22/5) yang berjudul: “Hydroxychloroquine or chloroquine with or without a macrolide for treatment of COVID-19: a multinational registry analysis” diklaim ‘berhasil’ mendepak supremasi chloroquine sebagai obat alternatif C19.

Penelitian ini dilakukan oleh Prof Mandeep R Mehra, Prof Frank Ruschitzka serta dua orang dokter lainnya pada ratusan RS yang merawat pasien C19. (https://www.thelancet.com/lancet/article/s0140673620311806)

Apa hasilnya?

“Kami tidak dapat menemukan manfaat dari hydroxychloroquine atau chloroquine ketika digunakan dengan atau tanpa makrolida di rumah sakit untuk pasien C19.” Dengan kata lain, manfaat hydroxychloroquine atau chloroquine bagi pasien C19 tidak ada malah justru mendatangkan risiko buruk.

Benarkah klaim yang diajukan oleh kedua profesor tersebut?

Sebelum jurnal ilmiah tersebut sampai ke tangan Prof. Didier Raoult di Perancis untuk di cross check, Leo Goldstein selaku President of Science for Humans and Freedom Institute keburu membongkar borok jurnal penelitian tersebut.

Berdasarkan temuan Goldstein, klaim penelitian yang menyatakan “kami memasukkan semua pasien yang dirawat di 671 RS antara 20 Desember 2019 hingga 14 April 2020 sebanyak 96.000 pasien” jelas mengada-ada.

“Siapa yang memiliki database dengan informasi terperinci tentang 96.000 pasien?” pungkasnya. Lalu Goldstein menambahkan, “Apa di AS nggak ada UU privasi sehingga orang bebas mengakses data pasien? Let’s say datanya bisa diakses, lalu apa ada jaminan keamanan jaringan dan kompatibilitas data?”

Masih banyak kejanggalan hasil penelitian tersebut, menurut Goldstein. Misalnya data yang dipakai sangat homogen. (https://defyccc.com/anti-hcq-paper-in-the-lancet-uses-fabricated-data/)

Bantahan yang dikeluarkan Goldstein mendapat sokongan dari akun twitter seseorang di Australia. (https://twitter.com/Arkancideisreal/status/1264032084944814082)

“Penelitian mengatakan bahwa mereka menerima data dari sekitar 600 RS hingga pertengahan April, lalu diterbitkan pada akhir Mei. Itu jelas nggak mungkin. Jika anda pernah mengumpulkan data penelitian klinis (sebanyak itu), jelas tidak mungkin dalam waktu yang sangat singkat.”

“Selain itu anda perlu persetujuan etis, pengaturan server web yang sesuai, pengaturan akses bagi setiap RS sehingga terkoneksi satu sama lain. Untuk mendapatkan persetujuan etis sebanyak itu akan butuh waktu berbulan-bulan mengingat tiap RS punya protokol yang berbeda-beda karena menyangkut data pasien.”

Singkatnya, “Klaim penelitian yang menyatakan punya akses terhadap 671 RS untuk sistem catatan klinis serta akses ke semua penyedia patologi yang terhubung dengan RS tersebut, jelas mengada-ada. Ini akan memicu skandal privasi besar-besaran yang berdampak finansial serta potensi kejahatan yang serius.”

Dengan kata lain, data penelitiannya besar kemungkinan palsu.

Lalu, apakah sebagai ilmuwan, kedua profesor tersebut bebas kepentingan politik? Disinilah masalah lain muncul.

Prof. Mandeep R. Mehra ternyata pernah berkolaborasi dalam sesi pelatihan pandemi C19 yang didanai oleh Gilead, dimana BG sebagai pendonor bagi calon vaksin Corona pada perusahaan farmasi tersebut. (https://asscat-hepatitis.org/ca/coronavirus-gilead-i- seimc-formen-a-mes-de-8-000-profesional /)

Selain itu, Prof Mehra yang bekerja di Brigham and Women’s Hospital, terlibat juga dalam uji klinis untuk Remdesivir bagi pasien C19 yang dibesut oleh Gilead. (https://archive.is/ATkFJ) (https://defyccc.com/covid-19-panel-gilead-ties/)

Lalu bagaimana dengan Prof. Frank Ruschitzka?

11-12. Prof. Ruschitzka adalah kawan baik bagi Big Pharma, karena sering menerima bantuan dana dari Servis, Zoll, AstraZeneca, Sanofi, Cardiorentis, Novartis, Amgen, Bristol-Myers Squibb, Pfizer, Fresenius, Vifor, Roche, Bayer dan Abbott dalam berbagai penelitian yang dilakukannya. (https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S073510971937932X) (https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0735109718303164)

“Tak ada makan siang yang gratis, kan?”

Dan apa kaitan dengan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh The Lancet?

Lancet merupakan anak perusahaan Elsevier (RELX Group) yang berpusat di Belanda, dengan spesialisasi perusahaan penerbitan dengan konten ilmiah, teknis dan medis. (https://en.wikipedia.org/wiki/Elsevier)

Nah, Elsevier sendiri telah menandatangani perjanjian kerjasama dengan Bill and Melinda Gates Foundation agar tiap penulis jurnal yang diterbitkan oleh Elsevier tersebut harus mematuhi kebijakan akses terbuka dari Gates Foundation tersebut, sejak 2015.

Sebagai imbalannya, Elsevier mendapatkan kompensasi yang nggak sedikit, tentunya. (https://www.elsevier.com/about/open-science/open-access/agreements/bill-and-melinda-gates-foundation)

Dengan memperhatikan kemana uang mengalir, maka bisa dikatakan upaya penerbitan jurnal penelitian yang berencana menghantam peran chloroquine sebagai obat alternatif C19 tersebut, sungguh layak dipertanyakan.

“Mungkin nggak sih, ada independensi hasil penelitian dari orang yang nggak independen alias nggak bebas kepentingan?”

Justru kita yang waras akan berpikir: kenapa peran chloroquine mendapatkan perlakukan represi yang demikian kuatnya dari Big Pharma? Ada apa kok demikian kalapnya sampai buat penelitian abrakadabra?

Yang paling masuk akal, chloroquine memang punya kemampuan untuk mengobati penderita C19. Makanya kalo tidak direpresi sedari awal, orang-orang akan tahu manfaatnya dan berbondong-bondong beli tuh obat, dan proyek jualan vaksin oleh BG nggak akan sukses diakhir cerita.

Setidaknya, penelitian teranyar (27/5) yang dilakukan oleh Prof. Harvey A Risch dari Sekolah Kesehatan Masyarakat di Universitas Yale yang diterbitkan dalam American Journal of Epidemiology, menegaskan bahwa hydroxychloroquine dan azithromycin harus tersedia secara luas sehingga bisa diresepkan oleh dokter, karena dapat mengobati pasien C19 dan mengakhiri status lockdown. (https://doi.org/10.1093/aje/kwaa093)

Jadi paham kan, Rudolfo Guiterez?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Apalagi kalau rempah rempah herbal asli indonesia yang punya fungsi menghambat inflamasi paru2 sama seperti herbal dari cina bisa dipatenkan, tambah ngga laku itu vaksin

error: Content is protected !!