Ketika Pendidikan Tak Lagi Sama (*Bagian 2)


536

Ketika Pendidikan Tak Lagi Sama (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama tulisan, mendapat tanggapan beragam dari pembaca saya, khususnya yang punya latar belakang sebagai pendidik, baik di sekolah maupun di kampus. (baca disini)

Mereka rata-rata baru ngeh tentang skenario elite global terhadap dunia pendidikan. “Saya pikir itu hanya berlaku di Amrik sana saja, dan nggak akan menyasar pendidikan di Indonesia,” begitu kurleb-nya.

Kalo tidak menyasar pendidikan di Indonesia, ngapain juga seorang mas menteri sempat keceplosan bicara tentang PJJ yang harus DIPERMANENKAN, meskipun belakangan ada revisi atas penyataannya tersebut? (https://www.republika.co.id/berita/qcwbbj409/fsgi-minta-nadiem-tak-sembarang-bicara-wacana-pjj-permanen)

“Yang saya maksudkan dengan PJJ permanen adalah trend dunia pendidikan yang mengadopsi sistem digitalisasi, karena pemanfaatan teknologi sudah merupakan trend global,” ungkap mas menteri. (https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/ObzMoO1N-nadiem-menilai-banyak-yang-salah-mengartikan-pjj-permanen#:~:text=Nadiem%20menjelaskan%2C%20yang%20dimaksud%20dengan,tren%20global%20dalam%20dunia%20pendidikan.)

Kenapa isi omongan mas menteri kurleb-nya mirip dengan yang diucapkan BG, ya? (http://blogs.edweek.org/edweek/DigitalEducation/2010/01/bill_gates_promotes_online_lea.html)

Kembali ke laptop…

Lalu bagimana skenario pembelajaran online akan dimainkan dimasa Kopit?

Begitu Kopit melanda, langsung semua sekolah ditutup dan pembelajaran berlangsung di rumah masing-masing dibantu dengan koneksi internet. Jadilah home learning.

Dalam pikiran elite global, inilah saat yang paling tepat dalam mengubah pembelajaran offline di sekolah menjadi pembelajaran online yang serba digital, SELAMANYA.

Banyak yang bisa didapatkan oleh elite global dalam menjalankan pembelajaran online.

Pertama, kontrol atas kurikulum dan kontrol atas manusia lebih mudah dikerjakan dengan pembelajaran bergaya online. Karena memang kontrol atas populasi inilah yang jadi target utama elite global sesungguhnya. (https://www.researchgate.net/publication/282847735_Times_of_the_Technoculture)

Kedua, bagi elite global, pembelajaran online akan lebih praktis karena tidak menggunakan gedung sekolah berukuran besar dan tidak butuh guru yang jumlahnya banyak, sehingga bisa memangkas biaya. Disisi siswa, pembelajaran online juga bisa memangkas biaya yang dikeluarkan. Cukup sedia gadget dan kuota.

Coba bayangkan kalo anda menempuh jalur sekolah offline, berapa biaya yang harus dikeluarkan perbulan mulai dari biaya transportasi, beli buku hingga pernak-pernik lainnya?

 “Pembelajaran online biayanya jauh lebih terjangkau,” begitu kilah mereka.

“Cukup kasih anak-anak Chromebook, maka masalah kelas yang penuh sesak atau kekurangan guru akan otomatis bisa teratasi. Anak-anak tinggal klik kurikulum yang sudah disediakan oleh para pengembang Edtech.” (https://edtechmagazine.com/k12/article/2019/07/3-ways-overcome-high-student-teacher-ratios-and-improve-personalized-learning)

Dengan kata lain, biarkan anak-anak belajar di rumah dengan menghadiri sekolah virtual yang bisa menyediakan pembelajaran tanpa kehadiran seorang guru karena semua sudah ada materi pembelajaran online-nya.

Apa benar pandangan elite global tersebut bahwa pembelajaran online menawarkan solusi praktis?

Begitu sekolah ditutup, itu saja sudah membuat masalah. Orang tua harus berjuang bagaimana cara mendidik anaknya di rumah yang seharusnya diambil perannya oleh guru saat bersekolah. (https://www.insidehighered.com/digital-learning/article/2020/03/18/most-teaching-going-remote-will-help-or-hurt-online-learning)

Bagi anak juga nggak kalah serunya. Mereka dibuat kesal, bosan dan merasa kesepian, dengan hilangnya struktur dan komunitas secara tiba-tiba seiring ditutupnya sekolah. Biasanya bisa bersosialisasi dengan teman, kini hanya bisa di rumah tanpa kehadiran teman sebaya, dan hanya menatap layar komputer selama berjam-jam. (https://www.businessinsider.com/coronavirus-school-closures-have-left-kids-feeling-scared-confused-2020-3)

Walaupun bagi elite global saat pandemi adalah momen yang tepat dalam meraup untung, namun pembelajaran online yang ditawarkan menjadikan siswa TIDAK DEMOKRATIS dan LEBIH INDIVIDUALITIK. (https://www.educationnext.org/disrupting-the-education-monopoly-reed-hastings-interview/)

Lalu apa masalah sesungguhnya dengan pembelajaran online?

Menarik apa yang diungkapkan oleh Audrey Watters selaku pengamat pendidikan yang punya concern terhadap penggunaan teknologi dalam pendidikan. Edtech menawarkan siswa pembelajaran digital yang mereka sukai, tanpa mempertanyakan tentang aksesibilitas, privasi maupun keamanan selama menggunakan modul digital tersebut.” (https://hewn.substack.com/p/hewn-no-344?token=eyJ1c2VyX2lkIjoxMjg3OTQ0LCJwb3N0X2lkIjozMDU1NTUsIl8iOiJTZ0M3byIsImlhdCI6MTU4MzY5NTg0MywiZXhwIjoxNTgzNjk5NDQzLCJpc3MiOiJwdWItMjQ5NiIsInN1YiI6InBvc3QtcmVhY3Rpb24ifQ.Guqb6nKkjlZssQOWFZkdpHSFymB3HdFcbXQPM7LPYs8)

Watters menambahkan, “Edtech tidak mengajar siswa terampil dan bersifat satu arah. Padahal pendidikan bukan hanya bicara tentang penyampaian instruksi atau penguasaan keterampilan tertentu. Disitu ada nilai sosial yang dikembangkan lewat interaksi dengan manusia, yang tentu saja tidak didapatkan lewat pembelajaran online.”

Dan yang terpenting, upaya untuk mengganti peran guru dalam pembelajaran dengan komputer, adalah hal yang paling perlu mendapat sorotan. Belajar tanpa guru, apa yang dapat dihasilkan?

Padahal, pendidikan itu bukan bicara produk tapi bicara proses, dan siswa bukanlah pelanggan yang harus dipuaskan lewat modul pembelajaran yang ditawarkan. Tidak sesederhana itu.

Sebaliknya guru itu bukan alat (tool) yang bisa digantikan perannya oleh komputer yang canggih sekalipun, karena peran sekolah (lewat guru) adalah MEMBENTUK MANUSIA DAN BUKAN PABRIK yang hanya memproduksi barang.

Saat pandemi, jutaan anak tidak punya akses pendidikan. Bahkan, 9,7 juta anak tidak akan punya akses ke pendidikan SECARA PERMANEN, pasca Corona berlalu menurut laporan Save the Children. (https://english.alaraby.co.uk/english/news/2020/7/12/in-crisis-hit-lebanon-will-french-language-schools-survive)

Dan kalo ini dibiarkan apalagi dengan pembelajaran online, angka ini akan bertambah. Bukankah pembelajaran online hanya bisa menyasar siswa yang berpunya? Apa bisa siswa yang misqueen mendapatkan akses tersebut? Jangankan untuk beli kuota, makan saja sudah sulit.

Dan yang terpenting, pertanyaan ini layak dijadikan perenungan oleh para guru. Apakah anda bersedia peran anda akan digantikan oleh komputer ke depannya?

Jadi kalo anda sampai saat ini masih berpikir bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) hanya bersifat temporal, saran saya baiknya anda kubur dalam-dalam pemikiran itu. Karena memang bukan seperti itu skenario yang akan dijalankan. Percayalah…

Pilihan ada ditangan anda.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!