Ketika Pendidikan Tak Lagi Sama (*Bagian 1)


536

Ketika Pendidikan Tak Lagi Sama (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

“Mending anak-anak belajar di rumah aja, pakai internet yang terhubung dengan pihak sekolah. Biar kita aman dari infeksi Kopit,” demikian ungkap seorang ibu menanggapi PJJ alias Pembelajaran Jarak Jauh. “Toh pandemi nggak akan lama. Paling akhir tahun juga sudah normal lagi,” demikian kilahnya.

Yang guru juga pendapat yang kurleb sama. “Walaupun gaji dipotong, saya nggak keberatan untuk mengajar dari rumah. Lebih aman dari si Kopit. Paling lama juga sampai akhir tahun 2020 ini, dan kondisi akan kembali normal,” ungkap seorang guru yang berstatus Oemar Bakri.

Benarkah pendapat mereka?

Kalo benar adanya anggapan mereka (bahwa pandemi akan segera berlalu), lalu apa gunanya webinar-webinar yang sekarang banyak digelar dimana-mana, khususnya pada bidang pendidikan? Apa itu hanya bersifat temporal atau justru malah sebaliknya (untuk membuat pembelajaran online menjadi permanen)?

Anda tahu Edtech (aplikasi pendidikan online)? Investasi pada sektor pendidikan online tersebut, jelas bukan kaleng-kaleng, karena mencapai USD 18,66 milyar secara global. Dan investornya termasuk kelas kakap, dari Facebook, BMGF, GGV Capital hingga Matrix Partners.

Pertanyaannya: apa mungkin investasi demikian besar, hanya untuk sesuatu yang sifatnya short-term atau temporal? Lalu, siapa juga yang untung besar saat pandemi berlangsung, selain Edtech dengan konsep belajar online-nya?

Berbekal informasi ini, orang bodoh mana yang mau melepas keuntungan milyaran dollar dari bisnis pembelajaran online tersebut? (https://markets.businessinsider.com/news/stocks/2019-global-edtech-investments-reach-a-staggering-18-66-billion-1028800669)

Lalu, kenapa juga lembaga pendidikan kelas dunia sekelas Universitas Harvard, sampai memberi pengumuman untuk MENUNDA TANPA BATAS YANG TIDAK DITENTUKAN, menyangkut acara perkuliahan di kampus tersebut (20/3)? Apakah Harvard demikian bodohnya hingga tidak bisa memprediksi kapan pandemi akan berakhir? (https://news.harvard.edu/gazette/story/2020/03/harvard-postpones-its-commencement/)

Saya akan coba sajikan analisanya. Namun mengingat banyaknya informasi yang akan saya sampaikan, terpaksa tulisan ini saya akan pisah menjadi dua bagian.

Pada bagian pertama, saya akan ulas rencana elite global terhadap pendidikan kedepannya terutama pasca Kopit. Dan pada bagian kedua nanti, saya akan ulas bagaimana rencana tersebut direalisasikan.

Rencana pendidikan online sebenarnya bukan barang baru bagi elite global. Setidaknya Bill & Melinda Gates Foundation telah sejak lama mendisain hal tersebut. Apa tujuannya? Mengendalikan kurikulum sekolah dalam satu ukuran yang sama bagi seluruh dunia, lewat pendidikan online. Kurleb begitu strateginya. (https://www.insidehighered.com/blogs/just-visiting/bill-gates-please-stay-away-higher-education)

Tercatat, antara 2007 – 2010, BMGF telah memberikan dana kepada Federasi Guru Amerika dan Asosiasi Pendidikan Nasional, lebih dari USD 6 juta. “Ini bertujuan untuk memajukan dunia pendidikan di AS,” ungkap BMGF. (http://www.nytimes.com/interactive/2011/05/22/education/20110522_GATES_DOCUMENT.html?ref=gatesbillandmelindafoundation)

Pendidikan yang seperti apa yang hendak dimajukan BMGF? Tentu saja pendidikan yang selaras dengan kepentingan elite global.

Nggak aneh jika untuk mewujudkan mimpinya, BMGF menggandeng Salman Khan dengan membentuk Khan Academy sebuah lembaga amal yang bergerak di bidang pendidikan secara online. “Anak-anak di seluruh dunia telah melakukan hampir setengah milyar pelatihan melalui perangkat lunak,” begitu ungkap Khan dalam bukunya, The One World Schoolhouse: Education Re-imagined.

Artinya apa?

BMGF sangat menghendaki pembelajaran online. Alasannya sederhana: pertama pengawasan dan kontrol kurikulum terhadap pendidikan yang mau mereka ciptakan, bisa dengan mudah dilakukan. Kedua, mereka bisa banyak dapat untung lewat pengurangan penggunaan sekolah dan tenaga pendidikan.

Itulah tujuan utama mereka. Jadi mereka ingin membentuk pribadi individualistik yang punya mentalitas budak, DAN BUKAN MANUSIA YANG BISA BERPIKIR DAN BERTINDAK SOSIAL.

Jadi nggak ada tuh yang namanya pendidikan karakter lewat pembelajaran online, karena pendidikan karakter hanya bisa didapat melalui pembelajaran off-line di sekolah lewat sentuhan para guru dan kurikulum. Dan elite global sangat tidak mengharapkan hal tersebut terjadi.

Disini kita bicara tentang Tatanan Dunia Baru, yang sengaja diciptakan lewat aplikasi teknologi digital, untuk mencetak manusia bermental budak, yang hanya bisa patuh tanpa bisa berpikir kritis.

Individu yang dikondisikan dalam pendidikan online tersebut diharapkan akan membentuk ‘masyarakat disiplin’ yang relatif lebih gampang untuk diatur dan dikontrol, tanpa bisa bertanya kepada hal-hal yang bersifat kritis. Kenapa? Karena kurikulum pembelajaran terpadu yang telah dipakai, terima atau tidak merupakan sarana indoktrinasi pikiran pada diri siswa. (https://www.researchgate.net/publication/282847735_Times_of_the_Technoculture)

Dengan kata lain, rencana elite global (lewat peran BMGF) dalam menginternasionalisasi, mengawasi dan mengendalikan proses pendidikan, diharapkan bisa terlaksana melalui pendidikan online yang telah dirintis oleh Khan Academy.

Nggak percaya?

Coba tilik apa yang dikatakan oleh BG tentang pembelajaran online (E-learning) di tahun 2010: “Sejauh ini teknologi tidak mengubah pendidikan formal sama sekali. Karenanya penggunaan internet dalam pendidikan bisa dikombinasikan dengan pembelajaran offline.” (http://blogs.edweek.org/edweek/DigitalEducation/2010/01/bill_gates_promotes_online_lea.html)

Artinya apa?

Pertama bahwa teknologi internet nggak mengubah esensi pendidikan formal (menurut BG). Dan kedua, wajar-wajar saja bila pendidikan formal perlu mengaplikasikan teknologi digital tersebut.

Ya jelas aja BG bisa berkata demikian.

Coba bayangkan, apa bisa ujug-ujug internet langsung dipakai dan menggantikan pembelajaran offline? Kan nggak bisa.

Jadi BG cuma mau ngomong satu hal, “Internet harus diperkenalkan dalam pendidikan formal sebelum menggantikannya kelak. Jadi biar nggak kaget.”

Setelah bisa berkolaborasi dengan pendidikan formal, barulah dicari waktu yang pas untuk dapat menggantikan peran pendidikan formal tersebut dengan pendidikan berbasis internet, SECARA PERMANEN.

Dan nggak butuh seorang Einstein dalam menjawab pertanyaan tersebut, bukan?

Pada bagian kedua nanti saya akan jelaskan dengan lebih detail.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!