Emangnya Berani?


509

Emangnya Berani?

Oleh: Ndaru Anugerah

Kasus Kopit di Indonesia demikian menguatirkan beberapa hari belakangan ini. Itu kata media mainstream, bukan kata saya.

Karena nggak mau kecolongan, banyak pihak mendorong diberlakukannya lockdown.

Kenapa?

‘Katanya’, lockdown dapat mengatasi masalah infeksi Kopit.

Sekali lagi ‘katanya’.

Padahal sekelas WHO sendiri yang selama ini jadi rujukan para scaremonger, sudah bilang bahwa lockdown nggak bisa menghentikan pandemi Kopit. (https://www.lifegate.com/david-nabarro-who-youth-4-climate-covid-19)

Entah darimana ide untuk me-lockdown itu datangnya?

Sampai-sampai Sultan Jogja juga melontarkan ide untuk me-lockdown kota Gudeg tersebut.

Hal ini dipicu oleh banyaknya kasus infeksi belakangan ini dan juga angka BOR (Bed Occupancy Rate) yang sudah mencapai 75%.

“Karena PPKM dinilai nggak efektif, maka nggak ada cara lain yang bisa dilakukan selain lockdown,” demikian ungkapnya pada pada warga Jogja. (https://www.merdeka.com/jateng/sultan-jogja-pertimbangkan-lockdown-begini-kondisi-terbaru-kasus-covid-19-di-jogja.html)

Namun itu hanyalah angan-angan semata sang Sultan. Nyatanya pemerintah pusat memilih menerapkan PPKM ketimbang lockdown. (https://kabar24.bisnis.com/read/20210623/15/1409149/terungkap-alasan-jokowi-pilih-ppkm-mikro-dibandingkan-lockdown)

Apakah seorang kepala daerah nggak boleh ambil langkah yang berbeda dengan pemerintahan pusat, terutama yang berkaitan dengan penanganan pandemi Kopit?

Jelas nggak bisa. Ada payung hukum untuk mengatur SOP berkaitan dengan kebijakan di lapangan, yaitu PP No.21/2020 tentang PSBB dalam rangka percepatan penanganan C-19. (https://covid19.go.id/p/regulasi/pp-no-21-tahun-2020-tentang-psbb-dalam-rangka-penanganan-covid-19)

Secara praktis, payung hukum tersebut bilang nggak boleh ada kebijakan seenak jidat yang diambil oleh seorang kepala daerah dalam menangani Kopit, tanpa ada koordinasi terlebih dahulu dengan pemerintah pusat.

Makanya Jokowi bisa bilang, “Jangan coba buat acara sendiri-sendiri yang tidak berada dalam satu visi yang sama dengan pemerintah pusat.”

Kalo nekat? ‘Penalti’ sudah menanti.

Entah kenapa sang Sultan berani buat skenario berani, yang berbeda dengan visi Jokowi?

Mungkin terinspirasi dengan Prabowo saat debat capres 2019, yang menganggap dirinya lebih TNI dari TNI. Sekali lagi, mungkin.

Dan sekarang, sang Sultan dipaksa menjilat ludah yang sudah dikeluarkannya. Lockdown wurung diberlakukan, karena risikonya pidana. (https://nasional.tempo.co/read/1475025/batalkan-lockdown-sultan-hb-x-bukan-karena-tekanan-pemerintah-pusat)

“Syukur lockdown nggak diberlakukan. Saya jadi bisa liburan ke Jogja, Bang,” demikian ungkap seorang netizen dengan nada gembira.

Selamat liburan lha, kalo gitu.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!