Ketika Big Tech Kalap (*Bagian 1)


527

Ketika Big Tech Kalap (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

Beberapa postingan anti mainstream di media sosial mulai mengalami represi. Pelakunya tentu saja pemilik media social tersebut. Konten yang disasar adalah yang berbau informasi seputar C19. Mau pendapat para ahli sekalipun, nggak ada ampun langsung di take-down kalo nggak sesuai dengan ‘kriteria’ mereka.

Apa apa sebenarnya? Saya coba mengulasnya, berdasarkan data tentunya.

Pernah dengar tentang fact checker, kan?

Secara prinsip, manakala hoax sudah beredar luas, maka akan ada klarifikasi berdasarkan paparan fakta yang ditemukan. Nah pihak yang melakukan validasi terhadap fakta (hoax) yang beredar, namanya fact checker.

Seorang fact checker akan memastikan data sebuah laporan/informasi yang beredar, apakah sudah sesuai dengan referensi yang valid atau justru sebaliknya. Karena yang namanya fakta pasti berkaitan dengan valid atau tidaknya. (baca disini)

Nah organisasi dunia yang memberikan sertifikasi fact checking-pun sudah ada, namanya IFCN alias International Fact Checking Network. Sebagai informasi, IFCN telah memberikan sertifikasi kepada 67 institusi dan media di seluruh dunia. Di Indonesia misalnya: Liputan6.com, Tirto.id dan Mafindo. (https://www.kompasiana.com/girilu/5c6e2df4c112fe18fe5775e2/mengenal-profesi-fact-checker)

IFCN diluncurkan pada September 2015 dan organisasi ini menyediakan pelatihan tatap muka maupun online untuk pemeriksa fakta, dana kemitraan, dan menerbitkan prinsip pengkodean untuk mengecek fakta.

Media mainstream dan juga organisasi besar mulai dari Associated Press hingga Washington Post, PolitiFact, Factcheck.org, Correctiv di Jerman, Aos Fatos di Brazil dan Afrika Check telah menandatangani prinsip-prinsip IFCN. (https://techcrunch.com/2017/10/26/google-expands-its-fact-checking-efforts-by-partnering-with-the-international-fact-checking-network/)

Secara prinsip, apa yang dilakukan fact checker sangat baik adanya.

Kenapa?

Karena para pembaca menjadi terbantu untuk mendapatkan bahan literasi yang bebas dari berita bohong atau hoax. Kebayang donk, di negeri berflower seperti Indonesia, gimana hoax mampu menyebar lebih cepat daripada kecepatan cahaya sekalipun.

Disini organisasi atau profesi fact checker menyediakan diri sebagai filter-nya.

Namun perlu diingat bahwa dalam melakukan pekerjaannya, fact checker harus independen alias bebas kepentingan. Ini penting menjadi tekanan, karena kalo sudah kenal uang, maka rusaklah independensi yang harus dijaganya sebagai bagian kode etik jurnalisme.

Karenanya transparansi diperlukan. Misal, dapat aliran dana dari mana?

Selain itu, apakah ada organisasi penyeimbang (fact checker tersebut) yang mampu memberikan upaya rechecking atas apa aktivitas fact checking yang telah dilakukannya.

Ini dipetlukan agar tidak ada upaya memonopoli ‘kebenaran’ yang sangat mungkin terjadi dalam praktiknya.

Masalahnya, apa IFCN atau organisasi dibawahnya, bebas kepentingan (independen)?

Dalam masa pandemi C19, para pemilik media sosial ramai-ramai menggandeng IFCN dalam upaya mencegah upaya disinformasi ditengah masyarakat, yang beredar lewat platform media sosial. Utamanya yang berkaitan dengan virus Corona.

Sebagai informasi, IFCN telah menciptakan basis data yang dapat ditelusuri yang mengumpulkan semua kepalsuan yang terdeteksi oleh aliansi dan juga jurnalis sehingga anggota masyarakat dapat mengurutkan, memfilter, dan mencari konten.

Selain itu, basis datanya juga terus diperbarui secara berkala untuk memasukkan publikasi baru oleh pemeriksa fakta.

Facebook misalnya memakai jasa IFCN dengan meluncurkan program Coronavirus Fact Checking Grants. Dan ini nggak gratis alias ada dana jumbo yang diterima IFCN. Total dana yang diberikan sebagai kompensasi senilai USD 1 juta. (https://thehill.com/policy/technology/488065-facebook-donating-1-million-to-local-newsrooms-covering-coronavirus-and)

Dalam tataran teknis, IFCN menggandeng beberapa lembaga/media yang telah disertifikasi, salah satunya Liputan6.com yang telah ngatongin dana hibah sebesar USD 300 ribu. (https://www.liputan6.com/global/read/4243344/liputan6com-raih-coronavirus-fact-checking-grant-dari-ifcn-dan-facebook#)

Sebagai imbal balik, IFCN menyatukan lebih dari 100 fact checker di seluruh dunia dalam menerbitkan, berbagi dan menerjemahkan fakta seputar virus Corona.

“Ini akan membantu dalam memerangi informasi yang salah dan berita palsu yang beredar luas di berbagai platform media sosial seputar C19.” (https://www.societyofeditors.org/soe_news/fact-checkers-unite-to-form-coronavirusfacts-alliance-to-tackle-misinformation/)

Facebook nggak sendirian. Whatsapp sebagai perusahaan subordinat-nya juga nggak kalah set, dengan menggandeng badan dunia PBB, WHO dan UNICEF meluncurkan global hub information seputar C19. (https://economictimes.indiatimes.com/tech/internet/international-fact-check-network-launches-a-whatsapp-bot-to-fight-covid-19-misinformation/articleshow/75537601.cms?utm_source=contentofinterest&utm_medium=medium text & utm_campaign = cppst)

Dan sekali lagi, IFCN yang telah menyediakan jasa pengecekan dalam bentuk chatbot, mendapatkan kucuran dana senilai USD 1 juta. (https://www.undp.org/content/undp/en/home/news-centre/news/2020/COVID-19_WHO_UNICEF_UNDP_Partner_with_WhatsApp_to_Get_Real_Time_Health_Information_to_Billions_around_the_World.html)

Berikutnya, Poynter Institute merupakan anak organisasi IFCN, juga sudah mendapatkan dana hibah dari Omidyar Network dan Open Society Foundation senilai USD 1,3 juta dalam rangka menjaga akuntabilitas berita di tahun 2017 silam. (https://www.prnewswire.com/news-releases/13-million-in-grants-from-omidyar-network-open-society-foundations-will-expand-poynters-international-fact-checking-network-300481553.html)

YouTube juga mengambil langkah serupa dengan menggelontorkan dana USD 1 juta kepada IFCN untuk melakukan upaya pengecekan fakta dan juga verifikasi secara global. (https://www.spglobal.com/marketintelligence/en/news-insights/latest-news-headlines/youtube-expands-fact-checking-to-us-pledges-1m-for-ifcn-58345936)

Itu baru beberapa fakta donatur jumbo terhadap organisasi IFCN yang menyediakan jasa fact checking di media sosial. Tentu masih banyak yang lainnya.

Satu yang mau saya sampaikan adalah kita layak bertanya-tanya: apakah IFCN bisa menjaga kredilitas pekerjaannya secara independen, mengingat telah mendapatkan kucuran dana jumbo?

Lalu adakah organisasi penyeimbang yang dapat dijadikan referensi tandingan sebagai upaya news balancing terhadap apa yang telah dilakukan IFCN?

Pertanyaan selanjutnya, apakah kepentingan media mainstream memakai jasa fact checker terutama saat pandemi C19?

Saya akan ulas semua pertanyaan tersebut pada bagian selanjutnya.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!