Menyoal AI


506

Menyoal AI

Oleh: Ndaru Anugerah

Menyambut program besar bernama Revolusi Industri 4.0 (4IR), semua pihak mulai menanggapinya. Inti yang hendak dicapai adalah penggunaan teknologi digital pada setiap sendi kehidupan masyarakat dikeseharian.

Kalo dulu orang membayar barang yang hendak dibelinya di kasir dengan menggunakan uang cash yang ada di dompetnya, sekarang peran uang kartal sudah tergantikan dengan saldo yang ada dalam dompet digital.

Malah sekarang ada anggapan jika kita bayar pakai uang cash, kita bakal dicap sebagai kaum jadul yang outdated. Pembayaran digital adalah solusi jaman now. Terlebih lagi itu bisa dilakukan secara mandiri, dengan hadirnya mesin self-checkout. (https://www.forbes.com/sites/forbesbusinessdevelopmentcouncil/2023/04/11/the-rise-of-self-checkout-navigating-the-current-evolution-in-retail/)

Point pentingnya: sekarang semua harus serba digital dan kalo perlu mandiri.

Masalahnya, pembayaran digital plus mandiri nggak terlalu nyaman dan efektif baik bagi pihak toko maupun pelanggan.

Maksudnya?

Alasan utama orang memilih pembayaran mandiri (self-checkout) adalah karena orang malas ngantri berlama-lama dengan sistem kasir. “Para kasir hanya akan menciptakan antrian,” begitu kurleb-nya.

Nyatanya, pembayaran dimana anda harus scan barang dan bayar sendiri melalui satu mesin, menyusahkan bagi orang biasa yang bukan kasir sebagai profesinya.

Alih-alih menghindari antrian, orang malah menciptakan antrian baru karena nggak terbiasa menggunakan mesin self-checkout. Bahkan pada beberapa kasus, barang yang dibeli nggak bisa di scan karena barecode-nya error atau mesinnya yang bermasalah.

“Nggak ada orang yang suka pembayaran digital dengan menggunakan mesin mandiri,” begitu kata pembeli yang ada di New York sana. (https://edition.cnn.com/2022/07/09/business/self-checkout-retail/index.html)

Mau protes bagaimana?

Faktanya otomatisasi dibalik program Revolusi Industri ke-4 yang trending dengan istilah ekonomi digital, tetap berjalan sesuai rencana. Walaupun orang lebih suka pembelian dengan sistem kasir, nyatanya mesin self-checkout mulai diperkenalkan dan dipakai dimana-mana. (https://www.wsj.com/articles/more-self-checkout-is-coming-no-matter-how-much-you-hate-it-11663112381)

“Yah jelas saja perusahaan lebih memilih mesin ketimbang manusia, karena dapat menghemat uang (karena nggak perlu sewa oran buat jadi pegawai),” begitu ungkap seseorang.

Benarkah asumsi tersebut?

Alih-alih menghemat, perusahaan malah harus extra fee untuk perawatan mesin. Sewa orang untuk jadi kasir tidak, tapi sewa teknisi untuk maintenance dengan biaya lebih mahal sesuai dengan skill yang mereka miliki. Sama aja bohong, kan?

Selain itu, mesin pasti butuh program ini-itu untuk updating, dan itu nggak murah.

Kemana muara anggaran lebih, yang harus digelontorkan perusahaan kalo bukan ujung-ujungnya dibebankan ke konsumen? Walhasil, harga barang jadi lebih mahal karena ada biaya ini-itu yang harus anda tanggung.

Jadi, pemangkasan biaya operasional dengan menggunakan teknologi digital, hanyalah asumsi yang nggak jelas juntrungannya. Bahkan perusahaan malah mengalami kerugian sekitar 77% lebih banyak ketimbang perusahaan yang menggunakan sistem kasir.

Sudah tahu rugi kok otomatisasi malah tetap dipakai?

Jawabannya: karena sebagian besar perusahaan juga telah melakukannya, jadi mereka harus melakukannya juga alias membebek. Alasan yang konyol, bukan? (https://www.theguardian.com/business/2022/dec/16/self-checkout-us-retail-walmart)

Ini sama saja dengan chatbot berbasis AI yang kini makin digandrungi orang.

Apa alasan orang menyukai chatbot berbasis AI?

Karena alasan praktis. Tinggal ketik sesuai yang kita inginkan, maka semua informasi keluar dalam sekejap. Bahkan dalam hitungan detik. (https://www.forbes.com/sites/christopherelliott/2018/08/27/chatbots-are-killing-customer-service-heres-why/)

Padahal orang nggak sadar.

Semakin banyak bot digunakan, maka bot tersebut dapat dengan mudah merekam, menghapal dan mengakses semua informasi yang anda miliki. Karena memang begitulah cara kerja Artificial Intelligence. (baca disini)

Apa yang bisa disimpulkan?

Ada grand design dari sang Ndoro besar untuk membuat semuanya seolah-olah jadi lebih mudah dengan sentuhan teknologi digital. Dari hari ke hari, orang akan bergantung dengan teknologi digital, utamanya yang berbasis AI.

Tanpa bisa protes, AI adalah alat untuk mengumpulkan banyak informasi dalam waktu singkat. Big Data yang sebenarnya jadi tujuan utamanya.

Dengan AI, Big Data bisa dengan mudah dijalankan, dengan ongkos yang murah.

Jika sang Ndoro besar mau tahu informasi pribadi anda (kapan anda pulker, berapa banyak jumlah tabungan anda hingga penyakit kronis apa yang anda punya), maka itu akan mudah dilakukan dengan Big Data yang telah mereka miliki.

Singkatnya, yang namanya kecerdasan buatan sebenarnya bukanlah kecerdasan dalam arti secara harafiah, melainkan kecerdasan dalam mengumpulkan data dengan cara merekam, mengingat dan mengakses semua jenis informasi milik semua orang.

Memangnya, kasus penculikan anak berbekal suara cloning yang terjadi di Phoenix, AS baru-baru ini, apa penyebabnya selain teknologi bernama AI? (https://edition.cnn.com/2023/04/29/us/ai-scam-calls-kidnapping-cec/index.html)

Jika anda berpikiran ini sangat mengerikan, anda harus terkejut jika saya katakan bahwa Big Tech kini tengah mempersiapkan metode pembayaran checkout dengan sistem pindai wajah alias face recognition. (https://theconversation.com/pay-with-a-smile-or-a-wave-why-mastercards-new-face-recognition-payment-system-raises-concerns-183447)

Maka makin cepat lagi akses informasi yang akan dilakukan AI. Iya kalo untuk kebaikan. Kalo untuk diselewengkan seperti penculikan di Phoenix, siapa mau tanggungjawab?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!