Ancaman Eksponensial Chatbot


522

Ancaman Eksponensial Chatbot

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, bisa bahas soal ChatGPT? Mengapa beberapa kampus melarang mahasiswanya untuk mengakses portal ini untuk pengerjaan tugas dan saat ujian?” tanya seorang netizen.

Ini pertanyaan sudah lama diajukan. Hanya saja saya belum punya cukup waktu untuk merespon-nya.

Nah, sekarang mumpung ada kesempatan, saya akan coba menjawabnya, meskipun sudah agak telat untuk dibahas.

Seperti yang kita ketahui, bahwa portal ChatGPT (Generative Pre-trained Transformer) dikembangkan oleh OpenAI, sebuah perusahaan yang berpusat di Ohio, AS.

OpenAI Inc sendiri sebagai holding company, didirikan oleh Elon Musk dan Sam Altman di tahun 2015 silam. (https://www.wired.com/2016/04/openai-elon-musk-sam-altman-plan-to-set-artificial-intelligence-free/)

Tapi, di tahun 2018 Musk hengkang dari perusahaan yang dirintisnya, dan untuk alasan pengembangan setahun kemudian perusahaan ini mendapatkan suntikan dana sebesar USD 1 miliar dari Microsoft. (https://www.reuters.com/article/us-microsoft-openai-idUSKCN1UH1H9)

Jadi anda sudah tahu dong, siapa yang bermain dibelakang OpenAI? Tentu saja Big Tech. Dan mereka nggak bersaing satu sama lain, karena investornya juga sama saja. (baca disini dan disini)

Jika sekelas Elon Musk mengatakan bahwa niatannya mendirikan OpenAI adalah  untuk melindungi umat manusia dari ancaman yang bisa ditimbulkan dari kecerdasan buatan (AI), apakah alasan itu bisa anda diterima?

Bahkan belakangan, Microsoft sendiri merilis Microsoft Bing AI selaku chatbot miliknya, yang banyak pakar menilai sebagai ancaman terhadap umat manusia lewat mekanisme kebocoran data pribadi yang mereka sajikan. (https://www.zerohedge.com/technology/microsofts-bing-ai-chatbot-starts-threatening-people)

“OpenAI yang seolah-olah diciptakan untuk menetralisir ancaman intelijen jahat bagi manusia, (pada gilirannya) malah justru melakukan tindakan yang melahirkan ancaman jahat itu sendiri,” ungkap seorang pakar dari Universitas Oxford. (https://www.wired.com/2016/04/openai-elon-musk-sam-altman-plan-to-set-artificial-intelligence-free/)

Kok bisa? Bagaimana prosesnya?

Tentu saja dengan kebocoran data yang ditimbulkan saat kita mendaftar sebagai pengguna.

Bukankah anda harus punya akun terlebih dahulu untuk bisa menggunakannya? Bukankah chatbot sendiri dikenal sebagai mesin pengumpul data, termasuk data para penggunanya? (https://www.howtogeek.com/871065/chatgpt-how-to-use-the-ai-chatbot-for-free/)

Saat ini, penggunaan chatbot yang mengedepankan AI, mulai marak dilakukan di dunia pendidikan. Bahkan banyak pakar menilai hadirnya chatbot sebagai ancaman yang nyata bagi dunia pendidikan. (https://www.forbes.com/sites/rashishrivastava/2022/12/12/teachers-fear-chatgpt-will-make-cheating-easier-than-ever/?sh=26e36eaf1eef)

Bagaimana nggak?

Seorang mahasiswa di Inggris, misalnya, berhasil menyusun esai 2000 kata yang berkaitan dengan kebijakan sosial hanya dalam waktu 20 menit dengan bantuan chatbot. Padahal, untuk membuat esai tersebut, biasanya dibutuhkan waktu cukup lama untuk penyelesaiannya. (https://www.manchestereveningnews.co.uk/news/uk-news/i-used-chatgpt-write-university-26187113)

Dengan temuan ini, menjadi wajar jika banyak institusi pendidikan melarang peserta didiknya menggunakan chatbot, utamanya dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. (https://www.forbes.com/sites/ariannajohnson/2023/01/18/chatgpt-in-schools-heres-where-its-banned-and-how-it-could-potentially-help-students/)

Padahal chatbot sendiri adalah mesin impian bagi para pelajar di kolong jagat, utamanya yang maunya belajar sedikit tapi ingin mendapat nilai yang maksimal dari penugasan dan juga hasil test.

Baiknya lagi, semua pekerjaan dari mulai menulis esai, membuat makalah hingga menulis naskah pidato, tinggal minta kepada mesin chatbot yang ada di depan mata.

Kurang apalagi, Bambang?

Sebenarnya, chatbot bukan yang pertama dalam hal mendatangkan disrupsi pada dunia pendidikan. Saat plandemi Kopit, situs seperti Chegg juga telah menawarkan solusi bagi pengerjaan PR, hingga persiapan ujian bagi para pelajar. (https://www.counterpunch.org/2022/08/09/chegg-cheating-and-australian-universities/)

Ada juga aplikasi Photomath, yang bisa dipakai dalam mengerjakan soal-soal matematika yang sulit sekalipun, lengkap dengan cara pengerjaannya. Nggak aneh jika aplikasi ini telah diserbu sekitar 300 juta pengguna setianya di seluruh dunia. (https://www.forbes.com/sites/jasonwingard/2023/01/10/chatgpt-a-threat-to-higher-education/?sh=2aac49fa1e76)

Jadi ChatGPT berbasis AI, bukanlah pelopor startup di bidang pendidikan karena faktanya banyak yang sudah mengembangkan aplikasi sejenis, jauh sebelumnya.

“Nggak ada yang (teknologi) baru di ChatGPT, hanya saja mereka mengemasnya dengan apik,” ungkap seorang ilmuwan senior di Meta. (https://www.zdnet.com/article/chatgpt-is-not-particularly-innovative-and-nothing-revolutionary-says-metas-chief-ai-scientist/)

Lantas kenapa ChatGPT bisa booming?

Mungkin karena status gratis yang ditawarkan. Sudah sangat membantu, gratis pulak. Siapa yang nggak kesengsem?

Tapi percayalah, bahwa status gratis tersebut nggak akan bertahan lama. Karena pada prinsipnya, makin banyak pengguna, maka makin tinggi beban dan traffic-nya.

Dan saat itu terjadi, maka status berbayar bagi pengguna, mutlak diperlukan agar anda nggak kena status loading yang tak berujung.

Sebenarnya, apa yang jadi target dari hadirnya chatbot berteknologi AI tersebut?

Tentu saja institusi pendidikan formal yang selama ini beroperasi secara konvensional. Dengan hadirnya chatbot tersebut, mereka otomatis keteter. Selama ini buat karya tulis memakan waktu mingguan bahkan bulanan, eh sekarang hanya hitungan menit sudah rampung.

Untuk mengatasi disrupsi yang ditimbulkan chatbot, mau nggak mau otoritas pendidikan formal harus mengubah sistem jadul yang mereka punya. Itu syarat mutlak yang harus diambil.

Masalahnya, sudah rahasia umum kalo pendidik sudah berada dalam zona nyaman mereka, sehingga enggan untuk berinovasi. Nah kalo sudah begini, bagaimana mungkin eksistensi pendidik bisa mengalahkan eksistensi chatbot?

Saya pernah ulas beberapa tahun yang lalu, tentang bagaimana lanskap pendidikan global yang akan diubah dan ini selaras dengan hadirnya Revolusi Industri ke-4. (baca disini dan disini)

Otomatis, cepat atau lambat, semua posisi pendidik akan tergantikan oleh teknologi digital yang kini secara perlahan mulai menggantikan fungsi mereka.

Percayalah!

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!