Siapa yang Ngecek Fact-Checker? (*Bagian 2)


536

Siapa Yang Ngecek Fact-Checker? (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama tulisan, saya sudah mengulas tentang Poynter Institute sebagai kiblat dari organisasi pengecekan fakta yang ada di seluruh dunia, lewat peran IFCN.

Disana kita bisa melihat bahwa lembaga tersebut nyatanya nggak independen sesuai janjinya, karena dibelakangnya ada kartel Ndoro besar yang menyokongnya. (baca disini)

Terus kalo nggak independen, bisakah kita mempercayai lembaga tersebut?

Dan yang terpenting, nggak ada lembaga lain yang mengaudit baik finansial dan juga kredibilitas Poynter Institute sebagai badan yang bisa diandalkan.

Dengan kata lain, kalo kita kasih informasi dan informasi yang kita bagikan ke publik tersebut kemudian diverifikasi oleh IFCN dan anasirnya, lalu siapa yang memverifikasi bahwa pernyataan yang mereka berikan benar-benar sahih? Kan nggak ada.

Ini sama saja dengan double standard. Mau ngecek karya orang lain, tapi nggak mau karyanya diaudit sama orang lain. Orang waras mana yang bisa mempercayai hal yang demikian adanya? Bukankah ini hanya akal-akalan semata?

Sekarang kita lanjut pada pembahasan selanjutnya.

Bagaimana jaringan pengecekan fakta ini beroperasi di seluruh dunia?

Pada tataran teknis, IFCN selaku bagian dari Poynter Institute akan menerbitkan sertifikat kepada semua lembaga di dunia, yang sudah memenuhi standar yang mereka tetapkan.

Jadi ada semacam monopoli terhadap sertifikat yang mereka terbitkan, karena selain mereka nggak ada lembaga lain di kolong jagat yang bisa menerbitkan sertifkat sejenis.

Dan satu yang perlu anda tahu, bahwa media mainstream sekelas Associated Press (AP) dan juga Agency France Press (AFP) telah mendapatkan sertifikat pengecekan fakta. Masih banyak media mainstream lainnya yang sudah diverifikasi oleh IFCN dan dijadikan mitra.

Dengan mengantongi sertifikat tersebut, maka bisa diklaim bahwa berita yang mereka buat sudah pasti ‘paling benar sedunia’. (https://ifcncodeofprinciples.poynter.org/signatories)

Selain menjalin kemitraan dengan media mainstream di seluruh dunia, Poynter Institute juga menggalang koalisi dengan Big Tech.

Ambil contoh Google, yang telah bermitra dengan IFCN sejak 2017 silam. Implikasinya adalah kalo kita cari berita alternatif melalui search engine tersebut, bukan nggak mungkin beritanya ‘tidak ditemukan’ karena sudah disensor duluan. (https://www.blog.google/topics/journalism-news/building-trust-online-partnering-international-fact-checking-network/)

“Dengan banyaknya informasi yang tersedia sepanjang waktu dan di seluruh perangkat, perlu kiranya kita membedakan mana yang benar dan yang salah secara online,” demikian ungkap pihak Google. (https://www.poynter.org/news/google-news-lab-partners-poynters-international-fact-checking-network)

Selain itu, Google News Lab akan melabeli artikel berita yang sudah diverifikasi oleh pemeriksaan fakta, agar pembacanya tahu bahwa beritanya ‘kredibel’ atau justru nggak. (https://www.blog.google/topics/journalism-news/labeling-fact-check-articles-google-news/)

Jaringan Big Tech kedua yang menjalin kemitraan dengan IFCN adalah Facebook di tahun 2019 silam. Ini dilakukan dengan alasan yang sama: untuk memerangi berita palsu alias hoax. (https://www.bbc.com/news/technology-50152062)

Makin digdayalah pasukan pengecekan fakta tersebut, karena telah merambah pada jaringan Big Tech yang juga dikelola oleh kartel Ndoro besar. (baca disini dan disini)

Pertanyaannya: apakah dalam menjalankan aksinya, jaringan pengecekan fakta berjalan sendirian, atau justru melibatkan pihak ketiga?

Fakta bahwa mereka dalam menjalankan aksinya, justru melibatkan pihak ketiga. Beberapa organisasi ‘orong-orong’ tercatat sebagai pemasok ‘kebenaran utama’ sebagai mitra Big Tech. Jadi kalo Facebook mau tahu berita ini hoax atau nggak, pihak ketiga itulah yang jadi andalannya.

Lantas siapa yang jadi pemasok dana pada organisasi ‘orong-orong’ tersebut?

Nggak lain adalah Soros dan juga Omidyar, serta ada juga beberapa pemerintahan Barat lainnya.

Anda pernah dengar Full Fact yang berkantor di Inggris? Lembaga ‘mitra’ Facebook tersebut mendapatkan kucuran dana jumbo dari Omidyar Network dan juga Open Society Foundation milik Soros. (https://fullfact.org/about/funding/)

Lain di Inggris, lain lagi di Filipina. Disana ada lembaga pengecekan fakta yang bernama Rappler. Asal tahu saja, bahwa Rappler terkenal paling vocal dalam menentang Presiden Rodrigo Duterte yang anti AS. Dan Rappler mendapatkan kucuran dana dari Omidyar Network. (https://www.crunchbase.com/organization/rappler#section-funding-rounds)

Hal yang sama juga terjadi di Afrika Selatan, dimana Omidyar dan juga Open Society Foundation terlibat dalam mendanai lembaga pemeriksa fakta yang bernama Africa Check, sejak 2018 silam. (https://africacheck.org/about-us/how-we-are-funded/)

Di Kolombia, lembaga pemeriksaan fakta sejenis yang bernama La Silla Vacia Kolombia juga mendapatkan kucuran fulus dari Soros, NED dan juga kedutaan Inggris. (https://lasillavacia.com/content/financiacion-63024)

Bahkan di Turki, European Endowment for Democracy juga mendanai lembaga pemeriksa fakta yang bernama Teyit, dimana dananya diberikan melalui kedutaan Inggris yang ada di Ankara. (https://www.euneighbours.eu/sites/default/files/publications/2019-03/eu-turn-2019eedannualreport2018.pdf)

Bisa disimpulkan, bahwa Poynter Institute melalui IFCN dan lembaga ‘orong-orong’ yang jadi kepanjangan tangan mereka, punya donatur yang sama. DLDL alias kartel sang Ndoro besar.

Dengan dana jumbo, nggak heran kalo lembaga pengecekan fakta makin ‘garang’ dalam menyensor berita yang nggak sesuai dengan narasi yang dibuat oleh Ndoro besar melalui kanal media mainstream-nya dan juga jaringan Big Tech. Money talks.

Setelah membaca analisa yang saya berikan, masihkah anda percaya pada lembaga pengecekan fakta yang merupakan kepanjangan tangan sang Ndoro besar?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


5 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Mas Ndaru, kalau media2 arus utama di wakanda yg bukan anak perusahaan the big six (such as komporan, litupan9, takatada, dll, bagaimana mereka terkoneksi dengan jaringan fuck-ceker ini? Apakah mrk check chik choeq stempal stempel hoax krn kantongi sertifikat IFCN, atau mrk just berhubungan dalam hal dikucuri dana saja, atau 22nya.

      1. Minta maaf mas kalau mau search artikel yang berhubungan , kami ngga tahu dengan kata kunci apa. Karena setiap tebak2 kata kunci pun hasil searh bisa lebih dari 4 halaman. itupun kalau kata uncinya tepat, kalau ngga akurat kita ngga bisa temukan apa yang kita cari, Ngapunten mas,,,

error: Content is protected !!