Siapa yang Ngecek Fact-Checker? (*Bagian 1)


537

Siapa Yang Ngecek Fact-Checker? (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana caranya menggiring opini masyarakat middle-class agar percaya pada narasi plandemi ini?

Salah satu caranya adalah dengan memonopoli ‘kebenaran’ berita. Dengan melakukan hal itu, maka semua informasi yang nggak sejalan dengan narasi utama, akan mudah dipatahkan.

Cukup bilang: “Informasi yang dibagikan salah atau tidak kredibel atau hoax” maka kaum middle-class yang hobi telan informasi tanpa dikunyah, akan mengamini apa yang telah disampaikan.

Dan lembaga yang bertugas dalam menjalankan monopoli kebenaran berita adalah fact-checker.

Sekarang mari kita bedah, siapa yang ‘bermain’ pada lembaga fact-checker tersebut. Ini perlu anda ketahui, supaya anda bisa berpikir sebelum menelan informasi yang mereka rilis.

Pertanyaan mendasar, apakah mereka bebas kepentingan alias independen dalam menjalankan tugasnya? Kalo iya, harusnya ada juga lembaga independen yang mengaudit pekerjaan mereka. Apakah ini ada?

Mari kita jawab permasalahan tersebut, dengan data-data yang kredibel tentunya.

Ada pernah dengan tentang Poynter Institute?

Secara umum, Poynter Institute adalah lembaga induk dari Jaringan Pengecekan Fakta Internasional (IFCN) yang dibentuk pada tahun 2015 silam, yang punya tugas utama memeriksa fakta di seluruh dunia, khususnya secara online. (https://www.poynter.org/ifcn/)

Satu hal yang perlu anda tahu bahwa lembaga ini terbentuk bukan tanpa skenario.

Maksudnya?

Adalah seorang David Cameron selaku mantan PM Inggris yang pertama kali menyuarakan tentang ekstremisme yang kerap terjadi pada dunia maya. Seruan ini ditujukan pada Majelis Umum PBB yang bersidang di tahun 2014.

Singkatnya, Cameron menawarkan pentingnya regulasi internet secara global, guna mencegah bahaya ekstremisme yang dikemukannya tersebut. (https://www.ukcolumn.org/censored#timeline-item-1)

Gayung bersambut, beberapa negara akhirnya mendukung ide Cameron guna membentuk aliansi global dalam memerangi bahaya ekstremisme online tersebut. Dan setahun kemudian, Poynter Institute didirikan di Florida, AS, dengan agenda utama ‘memerangi’ ekstremisme secara online.

Dana awal untuk mendirikan Poynter Institute adalah sekitar USD 225 ribu yang diperoleh dari dana hibah alias sumbangan. (https://www.editorandpublisher.com/news/poynter-to-become-home-of-international-fact-checking-thanks-to-a-225-000-grant/)

Lalu, siapa yang mendonorkan uangnya untuk Poynter Institute?

Ada dua lembaga utama. Pertama ‘kekuatana lunak’ yang bernama National Endowment for Democracy (NED), dan yang kedua Omidyar Network, sebuah yayasan yang dijalankan oleh pendiri eBay, Pierre Omidyar.

Kalo anda penggila geopolitik, anda tentu nggak asing dengan NED, bukan? (baca disini, disini dan disini)

Tapi kalo Pierre Omidyar, siapa pula makhluk yang satu ini?

Kalo anda mencermati operasi perubahan rezim yang diberinama Color Revolution, maka anda akan kenal dengan sosok yang satu ini. Dengan kata lain, Omidyar adalah salah satu penyokong utama perubahan rezim di dunia yang nggak selaras dengan kartel Ndoro besar.

Mau tahu apa maha karya seorang Omidyar?

Di tahun 2014, terjadi revolusi warna di Ukraina, dimana Presiden Viktor Yanukovych yang pro-Kremlin akhirnya digulingkan. Dan publik tahu, ada peran Omidyar dalam aksi tersebut. (https://www.usatoday.com/story/money/columnist/rieder/2014/03/02/flap-over-omidyar-support-for-ukrainian-group/5948821/)

Tentang revolusi warna di Ukraina, saya pernah bahas pada tahun lalu. (baca disini)

Apa jejak Omidyar selanjutnya?

Anda pernah dengar tentang Hromadske TV yang berbasis di Kiev dan punya haluan menentang keras rezim Putin di Rusia? Omidyar adalah penyandang utama jaringan media tersebut. (https://www.forbes.com/sites/kenrapoza/2016/04/27/look-who-funds-ukraines-anti-putin-internet-tv/#76e1320e7b5d)

Dan laporan sejumlah jurnalis di tahun 2019 menyatakan bahwa Omidyar mendanai berbagai media melalui yayasan, LSM dan organisasi lainnya, yang punya agenda utama mempromosikan agenda-agenda liberalisasi. (https://www.rt.com/news/452209-omidyar-network-regime-change/)

Masih banyak jejak lainnya dari seorang Omidyar. Namun karena keterbatasan, saya hanya ulas sebagian.

Kembali ke laptop.

Apakah seorang Omidyar menjalankan aksinya sendirian?

Nggak juga. Yang namanya kartel, dia nggak sendirian alias ada komplotannya. Salah satunya adalah George Soros.

Nggak heran bila pada 2017 silam, bersama dengan Soros, Omidyar menggelontorkan dana sekitar USD 1,3 juta kepada IFCN guna pengembangan. (https://www.prnewswire.com/news-releases/13-million-in-grants-from-omidyar-network-open-society-foundations-will-expand-poynters-international-fact-checking-network-300481553.html)

Dengan kata lain, Poynter Institute selaku induk organisasi IFCN terkoneksi erat dengan kartel Ndoro besar, dari mulai Omidyar Network, Open Society Foundations dan juga NED, mengingat dari merekalah dana operasional organisasi pengecekan fakta tersebut berasal. (https://www.poynter.org/major-funders/)

Terus, apakah anda pikir dana hibah segede gaban diberikan secara cuma-cuma, gitu?

Anda perlu tahu, yang namanya politik, nggak ada makan siang yang gratis. Semua ada take & give-nya. Termasuk sumbangan jumbo kepada Poynter Institute.

Apa agenda utamanya?

Nggak lain agar semua informasi yang nggak selaras dengan narasi mainstream, bakal dikasih label hoax atau teori konspirasi. Dan kalo informasi ‘berbeda’ tersebut sudah di-labelling demikian, maka kaum middle-class akan otomatis mempercayainya dan nggak akan baca informasi yang coba disampaikan.

Dengan demikian pertanyaan yang menyangkut independensi lembaga fact-checker tersebut, otomatis gugur dengan sendirinya, karena nyatanya mereka nggak independen.

Lalu bagaimana dengan modus operandi yang biasa dijalankan?

Pada bagian kedua saya akan membahasnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!