Efek Domino Dari China? (*Bagian 2)


528

Efek Domino Dari China? (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama tulisan, saya sudah mengulas tentang depresi besar yang terjadi di tahun 1930-an, dipicu oleh gagalnya sistem perbankan yang ada di Austria. (baca disini)

Lalu apa kaitannya peristiwa tersebut dengan yang menimpa China saat ini?

Menurut Engdahl, penyebab depresi terletak pada sistem kredit perbankan yang dikembangkan oleh House of Morgan dan kartel keuangan WallStreet. Dengan berhutang, masyarakat dipicu untuk konsumtif dan ini menciptakan ilusi kemakmuran.

Nyatanya itu hanya gelembung hutang yang setiap saat bisa pecah jika penanganannya salah.

Dan itu terbukti pada depresi besar dan juga krisis global yang terjadi pasca ambruknya Lehman Brothers di tahun 2008. (baca disini)

Saat ini China mengalami pertumbuhan ekonomi secara pesat, terutama sejak krisis global di tahun 2008. Otoritas Beijing mencatat bahwa hutang rumah tangga pribadi di negara tersebut kini mencapat USD 504 milyar. Dan hutang sebanyak ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Untuk apa hutang sebanyak itu?

Kebanyakan untuk membeli rumah. Jadi keluarga berpenghasilan menengah bersedia meminjam di bank untuk mendapatkan rumah. Dan pemerintah Tiongkok membuka kran hutang tersebut bagi rakyatnya.

Apakah pemerintah Tiongkok nggak mengetahui gelembung hutang tersebut?

Nggak juga. Pada tahun 2016-2017, otoritas Beijing paham betul bahwa gelembung hutang spekulatif tersebut yang kemudian memicu naiknya harga rumah, dapat mengancam ekonomi nasional setiap saat.

Bahkan Bank Rakyat China dan regulator lainnya secara terbuka memperingatkan gelembung hutang tersebut, mengingat rakyat mulai berani berspekulasi untuk membeli rumah kedua guna mendapatkan keuntungan yang menggiurkan. (https://m.economictimes.com/news/international/business/china-central-bank-says-to-cap-property-loans-by-banks/articleshow/80046059.cms)

Ini nggak berlebihan, mengingat total utang termasuk hipotek dan pinjaman konsumen pada tahun 2020, telah mencapai 62% dari PDB.

Ini selaras dengan prediksi yang dikeluarkan Institute of International Finance (IIF) bahwa total utang dalam negeri China naik menjadi 335% dari PDB di tahun 2020. Luar biasa! (https://www.iif.com/Portals/0/Files/content/Research/Global%20Debt%20Monitor_July2020.pdf)

Kok hutangnya menjadi demikian besarnya? Gimana ceritanya?

Kisah dimulai saat pemerintah Beijing mengijinkan warganya untuk memiliki rumah sendiri, di tahun 1998. Dengan banyak dibangunnya apartemen dimana-mana, maka peluang untuk memiliki hunian langsung diambil oleh warga China tanpa basa-basi.

Hunian dipandang sebagai satu-satunya investasi yang aman karena kalo saham dan obligasi sifatnya lebih fluktuatif. Dan ini terbukti, karena sejak itu harga hunian di China terus meningkat secara signifikan.

Ini makin memicu persepsi masyarakat China bahwa harga hunian akan terus naik tanpa bisa berhenti.

Menurut keterangan resmi pemerintah China, harga rumah naik 16,8% dari tahun ke tahun. Biro Statistik Nasional China menyatakan bahwa nilai pasar real-estate China saat ini mencapai sekitar USD 65 trilyun, padahal PDB China hanya USD 14 trilyun di tahun 2019.

Dengan data ini berarti nilai harga hunian di China rata-rata 9,3 kali lipat pendapatan tahunan dan ini inflasi yang ngeri-ngeri sedap. (https://www.wsj.com/articles/china-property-real-estate-boom-covid-pandemic-bubble-11594908517)

Beijing kemudian mengeluarkan kebijakan ketat yang memaksa pemerintah untuk tidak memberi ‘makan’ gelembung real-estate. Selain itu, pemerintah juga meminta 1,4 milyar warganya untuk mengkonsumsi lebih banyak produk dalam negeri ketimbang produk ekspor guna mengantisipasi ledakan gelembung yang sewaktu-waktu bisa terjadi. (https://www.ft.com/content/4c866dc3-e3c4-41f8-99a8-d256e7923bd1)

“Jadi dibanding beli hunian, ada baiknya digunakan untuk konsumsi produk lain buatan dalam negeri,” demikian kurleb pesan yang disampaikan oleh pemerintah Tiongkok.

Apakah efektif?

September 2020 lalu, Evergrande Group sebagai perusahaan real-estate paling bergengsi di China sudah mengalami krisis uang tunai dikarenakan beban utangnya yang berlebihan dan juga ekonomi global yang melambat akibat Kopit.

Guna mengatasi masalah ini, perusahaan banting setir dengan melakukan diversifikasi usaha dari mulai panel surya hingga susu formula.

Krisis Evergrande memang bisa terkendali saat ini, mengingat perusahaan menjual milyaran asetnya untuk mengurangi utang. (https://rhg.com/research/evergrande/)

Tapi ini tetap nggak bisa menanggulangi hutang real-estate yang harus ditanggung negara. Dan data ini disembunyikan oleh otoritas Tiongkok.

Memang berapa hutang yang harus ditanggung akibat mandeknya sektor real-estate?

Menurut Lembaga Keuangan dan Pembangunan Nasional China, angkanya sekitar USD 2,3 trilyun. Namun kalo merujuk Standard & Poor’s, angkanya mencapai USD 4,2 – 6,1 trilyun. (https://www.scmp.com/economy/china-economy/article/3084979/china-debt-how-big-it-who-owns-it-and-what-next)

Pernyataan yang dikeluarkan Liu Guiping selaku wakil gubernur Bank Rakyat China (16/3) seakan menegaskan hal itu, “Kita harus menghindari risiko keuangan yang bersifat sistemik.” (https://finance.yahoo.com/news/china-crusade-against-risk-tormenting-200000105.html)

Artinya bahaya itu sungguh nyata, dan bukan kaleng-kaleng.

Hutang domestik China yang mencapai 20% tiap tahunnya sejak 2008, jauh lebih cepat ketimbang PDB-nya. Jadi kalo mau dikonversi, maka hutang real-estate di tahun 2020 mencapai USD 9,7 trilyun yang setara dengan 62% dari PDB China. (https:/www.scmp.com/economy/china-economy/article/3125516/chinas-property-market-abuzz-authorities-walk-tightrope)

Belum lagi kalo melihat angka obligasi yang jatuh tempo pada 2021 ini, yang mencapai USD 1,1 trilyun. Dan ini memberatkan bank-bank besar yang ada di negara tersebut dalam menutup kekurangan itu.

Jika ini tidak diatasi, maka akan mendorong suku bunga obligasi yang jauh lebih tinggi. Bukan nggak mungkin memicu gelombang kebangkrutan lokal terutama pada sektor real-estate.

Untuk mengatasi ini, maka Bank Rakyat China dipaksa untuk memompa likuiditasnya guna menyelamatkan bank-bank besar di negara tersebut. Namun masalahnya, hutangnya demikian besar. Jadi yang paling logis untuk dilakukan adalah menjual aset dollar China di luar negeri, termasuk USD 1,04 trilyun utang Treasury AS serta obligasi Euro.

Kartel WallStreet memang telah berjanji untuk membantu pemulihan ekonomi di China. Namun masalahnya, pasar obligasi di AS juga tengah diujung tanduk saat ini. Belum lagi tambahan utang stimulus Biden yang mencapai USD 1,9 trilyun. Apakah relevan janjinya? (https://www.globaltimes.cn/page/202102/1215320.shtml)

Kondisi diperburuk dengan hutang global yang makin nggak terkendali. Di Januari 2021 saja, utang global telah mencapai USD 281 trilyun dipicu karena lockdown dan kebijakan turunannya. Dan ini masih akan terus berlanjut. (https://www.reuters.com/article/us-global-debt-iif-idUSKBN2AH285)

Dengan kata lain, hanya butuh pemicu kecil di China sana, guna mengulangi depresi besar secara global seperti yang terjadi di tahun 1931.

Dan kalo ini terjadi, sang Ndoro besar tinggal bilang, “Tuh kan, China yang membuat semua depresi besar terjadi lagi.”

Ajaibnya ini selaras dengan rencana The Great Reset. (baca disini, disini dan disini)

Apa hanya kebetulan?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


4 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. apakah depresi besar ini jika terulang akan berdampak juga di negeri wakanda ini min? dalam waktu dekat kah? trus apa yg harus kita persiapkan untuk menghadapi ini min kedepannya. trims

    1. Peran ini pemerintah wakanda yg hrsnya ambil peran dan bukan warga. Kemungkinan terjadi sangat2 besar.

      Di 2008 jg dunia resesi global, tp kan kita ga terlalu terkena dampak langsung krn semua kran ekonomi di buka. Ada UMKM dan pariwisata yg menunjang shg ekonomi msh bs jalan.

      Nah skrg?

error: Content is protected !!