Rontoknya Lehman Brothers


518

Rontoknya Lehman Brothers

Oleh: Ndaru Anugerah

Apakah kekuatan yang sering diklaim para penganut bumi datar sebagai penggerak New World Order, akan selamanya nggak terkalahkan?

Sambil tersenyum, saya jadi teringat pada Lehman Brothers.

Di Wallstreet sana, ada perusahaan raksasa yang bernama Lehman Brothers (LB). Karyawannya tersebar di seluruh dunia, dengan jumlah mencapai 25 ribu orang. Big company yang didirikan oleh Lehman Brothers (Henry, Mayer dan Emanuel) tersebut akhirnya dinyatakan bangkrut pada September 2008.

Awalnya, LB dipimpin oleh keluarga Lehman secara turun temurun. Robert Lehman adalah generasi terakhir yang berhasil memimpin perusahaan selama 44 tahun dari tahun 1925 hingga tahun 1969. Secara mendasar, usaha LB seputar pembiayaan kredit yang sifatnya konsumtif.

Core bisnis yang digeluti Robert, awalnya adalah pembiayaan pada sektor transportasi, khususnya pada maskapai penerbangan. Lalu, karena adanya respon pasar yang baik, bisnis melebar ke sektor ritel yang berkaitan dengan dunia hiburan.

Kreditornya nggak main-main, dari mulai Paramount Pictures hingga 20th Century Fox.

Seiring dengan usia di tahun 1969, Robert yang kala itu sudah berusia uzur (77 tahun) akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Singkat kata, terjadilah kekosongan kepemimpinan di perusahaan. Di tengah persaingan yang demikian ketat, orang bertanya-tanya, siapa suksesornya?

Kemudian, masuklah Richard Severin Fuld pada LB. Setelah malang melintang pada perusahaan tersebut selama kurleb 25 tahun, Fuld berhasil menggapai puncak jabatan di perusahaan tersebut sebagai Chief Executive Officer di tahun 1994.

Dibawah kepemimpinannnya, LB pernah berhasil meraup untung hingga USD 1 milyar, selama dua tahun berturut-turut (2000-2002). Setidaknya pada lantai bursa New York Stock Exchange.

Namun itu tidak berlangsung lama.

Di tahun 2001, The Fed dipaksa menurunkan suku bunga menjadi hanya 1%, dengan tujuan untuk stimulus perekonomian agar bisa lebih bergairah kala itu. Akibatnya suku bunga kredit perbankan juga turun, agar kredit usaha maupun kredit konsumsi bisa makin berjalan.

Disinilah awal bencana bagi LB.

Dibawah kepemimpinan Fuld, alih-alih ingin meraih untung besar dengan memanfaatkan suku bungan rendah, LB mulai merambah investasi di pasar real estate. Dan benar saja, kredit mulai mengalir deras ke bisnis ritel tersebut. Terjadilah ledakan besar pada bisnis perumahan.

Langkah ini praktis menempatkan LB sebagai perusahaan inverstasi terbesar ke-4 di AS pada sektor real estate.

Namun semua itu belum cukup. Didasari motif serakah, LB justru ingin meraih keuntungan berlipat. Caranya? Dengan menyalurkan kredit KPR kepada masyarakat berpenghasilan lemah alias golekmah.

Inilah yang kemudia memicu skandal besar berjudul Subprime Mortgage yang membawa bukan saja rontoknya LB, tapi juga sukses mendorong dunia ke jurang depresi berkepanjangan.

Apa itu subprime mortgage?

Tak lain adalah masyarakat berpenghasilan cekak ataupun tidak tetap secara ekonomi. Kelompok ini sangat rawan jika diberi kucuran kredit, karena dapat memicu kredit macet. “Lha wong buat makan aja sulit, apalagi buat mikirin cicilan.”

Tapi Fuld, justru punya pola pikir yang berbeda. Kredit real estate malah disalurkan kepada kelompok ini.

Alasannya?

Pertama, jika konsumen gagal bayar cicilan, maka bunga kredit yang dibebankan kepadanya toh masih tetap di atas rata-rata. Kan prinsipnya, bunga berbunga. Bagi Fuld, yang penting ada peluang untung.

Kedua, jika para kreditor gagal bayar hipotek, maka huniannya bisa disita dan akan menjadi aset perusahaan. Setelah itu rumahnya bisa dijual kembali dengan harga yang kompetitif. Demikian pikirnya.

Singkatnya, nggak kenal kata rugi.

Apesnya, harapan ternyata tak sesuai dengan realitanya.

Di tahun 2004, The Fed mulai menaikkan suku bunga acuannya guna mengendalikan tingkat inflasi. Skema ini otomatis mempengaruhi naiknya bunga dan cicilan KPR. Dan benar saja, kelompok subprime mortgage tersebut adalah kelompok pertama yang gagal bayar cicilan KPR.

Ini memicu pada menurunnya permintaan akan perumahan, karena bunga KPR nggak lagi murah. Padahal para pengembang telah bangun real estate banyak-banyak, tapi pembelinya malah nggak ada, karena harganya jadi mahal.

Situasi ini akhirnya menciptakan kondisi dimana properti baru yang belum terjual plus rumah hasil sitaan bank karena nggak mampu bayar cicilan, jadi makin banyak.

Otomatis pasar properti menggelembung karena banyaknya stok. Hal ini berakibat turunnya harga rumah, karena sesuai hukum pasar. “Daripada nggak laku, mending diobral.”

Efeknya sungguh dahsyat. Warga AS yang masih terikat KPR, dipaksa memiliki beban cicilan yang semakin besar kepada bank, karena naiknya suku bunga. Namun dilain sisi, nilai rumahnya makin mlorot akibat banyaknya stok perumahan kala itu.

Aliasnya, nilai utang KPR di bank, jauh lebih tinggi dari harga rumah sesungguhnya. Ibaratnya, cicilan KPR kalo dihitung sebagai investasi, nilainya 1 milyar, tapi harga jual rumah dipasaran cuma 500 juta. “Ngapain repot-repot bayar cicilan, kalo gitu?”

Respon pasar bisa ditebak. KPR nggak jalan, dan makin banyak kredit macet plus rumah yang tak kunjung laku dipasaran.

Inilah yang membuat LB bangkrut.

Sebagai perusahaan besar, dampak bangkrutnya LB merembet kemana-mana, hingga akhirnya memicu krisis keuangan global di tahun 2008 selama bertahun-tahun.

Banyak orang bunuh diri dimana-mana, karena usahanya bangkrut atau sekedar tidak mampu bayar cicilan sana-sini. Sampai kemudian muncul istilah “Guncangan seismik abad 21” sebagai julukan atas dampak bangkrutnya LB.

Dan kita tahu, bahwa LB merupakan jaringan klan Rothschild, yang diklaim tak terkalahkan oleh para pemuja bumi datar.

Lantas, apakah kita masih sepakat bahwa golongan ‘undefeatable’ tersebut tetap tak terkalahkan?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!