Kelompok Pendorong (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan kita sudah membahas tentang eksistensi Tavistock Institute of Human Relations (TIHR) yang didirikan pada 1946 silam sebagai kelompok pendorong rekayasa sosial yang akan diterapkan secara global oleh sang Ndoro besar.
Kita juga sudah membahas bagaimana peran zat-zat kimia yang kita gunakan sehari-hari, yang ternyata dapat memuluskan jalan agar semua populasi global dapat ‘patuh’ pada perintah yang diberikan pada mereka. Apapun itu, nggak peduli logis ataupun nggak logis sekalipun. (baca disini)
Mungkin yang paling sederhana adalah bagaimana program enjus massal global berlatar plandemi Kopit dapat digelar dengan sukses.
Artinya apa?
Jika lebih dari 70% populasi global telah dienjus massal, berarti mereka patuh pada perintah yang diberikan pada mereka, selain rasa takut yang mereka dapatkan yang disebar oleh media mainstream. Kalo nggak patuh plus nggak punya rasa takut, mana ada yang mau dienjus Kopit secara sukarela? (https://www.who.int/news/item/23-12-2021-achieving-70-covid-19-immunization-coverage-by-mid-2022)
Padahal kita tahu bahwa plandemi Kopit adalah rekayasa sosial yang dieksekusi secara global.
Dimulai saat Event 201 yang berlangsung di New York pada 18 Oktober 2019 silam. Simulasi plandemi ini tepat digelar beberapa bulan sebelum pemberlakuan lockdown secara serentak.
Siapa pihak yang terlibat pada event tersebut?
Banyak pihak. Ada WEF, Bill and Melinda Gates Foundation hingga Bloomberg’ Johns Hopkins yang belakangan didaulat sebagai lembaga yang melakukan rekapitulasi data kematian akibat Kopit secara harian dan dirilis secara global, guna menakut-nakuti orang sejagat. (baca disini)
Siapakah mereka sesungguhnya?
Ini pertanyaan retorik.
Lantas saat diterapkan status plandemi global oleh WHO, apakah ada yang mempertanyakan hal ini? Logikanya, bagaimana mungkin virus bisa menyerang komunitas global secara bersamaan waktunya? Itu jelas tidak masuk akal.
Namun, semua kepekaan dan akal sehat itu telah hilang akibat kelenjar pineal yang rusak oleh zat-zat kimia yang kita gunakan sehari-hari. Yang tersisa hanyalah rasa takut dan sikap patuh pada arahan yang diberikan oleh otoritas berwenang tanpa niatan mempertanyakan sedikitpun.
Stockholm syndrome akhirnya otomatis berlaku.
Dan nggak ada juga yang mempertanyakan bagaimana mungkin enjus eksperimental bisa dipakai pada manusia, walaupun kita tahu bahwa vaksin hanya bisa dipakai jika sudah melalui tahap uji klinis bertahap.
Yang ada kemudian prosedur uji klinis bertahap ini dilewatkan begitu saja, dan langsung disuntikkan pada manusia dengan alasan ‘kemanjuran’.
Dengan kata lain, manusia dijadikan kelinci percobaan atas enjusan ini. Tinggal nanti dilihat enjusan mana yang bisa mendatangkan kematian pada manusia dengan lebih cepat. Kelak enjusan itu yang akan dipakai terus karena agenda depopulasi bisa dijalankan dengan apik.
Kalo kita mau menggunakan akal sehat, maka kita akan bertanya: bagaimana mungkin enjusan yang masih dalam bentuk percobaan, bisa langsung dipakai pada manusia? Belum lagi jika kita telisik lebih dalam, apakah kematian akibat Kopit lebih banyak ketimbang kematian akibat enjusan Kopit? Mana yang lebih mematikan?
Dan data ini nggak akan mungkin dirilis oleh media mainstream yang kerap anda baca, yang merupakan bagian dari permainan ini.
Kembali ke laptop.
Apa lagi yang menjadi agenda TIHR?
Salah satunya budaya WOKE yang sudah didengungkan sejak 2010 silam dengan mengusung semangat kesetaraan dan keadilan sosial. Dari sini muncul istilah SJW alias Social Justice Warrior yang sebenarnya telah ada sejak 1970-an silam. (https://www.vice.com/en/article/kz445w/how-woke-culture-took-over-the-2010s)
Di satu sisi, spirit kesetaraan baik adanya. Kita nggak bisa sangkal itu.
Namun bukan konsep kesetaraan model begitu yang sesungguhnya diusung oleh budaya WOKE.
Bukan semangat emansipasi, bukan juga semangat egalitarian dan anti diskriminasi. Budaya WOKE hadir dalam rangka mewujudkan target besar sang Ndoro di tahun 2030 mendatang, Sustainable Development Goals.
Coba anda lihat baik-baik, adakah spirit anti-kesetaraan pada 17 target SDG 2030 yang sudah ditetapkan oleh sang Ndoro besar? Nggak ada bukan. (https://sdgs.un.org/goals)
Itu yang pertama.
Selanjutnya, semangat kesetaraan ini mulai bablas ke berbagai bidang. Salah satunya kesetaraan gender. Konsepnya harus ada kesetaraan gender, bukan saja bagi pria dan wanita, tapi juga kaum transgender, lesbian, gay dan sebagainya, yang tergabung dalam kelompok LGBTQ.
Pada tataran teknis, maka semua pihak yang mencoba mendiskreditkan para kaum LGBTQ pada masyarakat, akan dicap sebagai orang yang anti budaya WOKE, yang tidak mengusung spirit kesetaraan termasuk tidak menghormati hak setiap orang, termasuk kaum LGBTQ.
Apakah TIHR secara random menggarap gerakan ini?
Tentu tidak.
Ingat bahwa sang Ndoro besar punya tujuan utama dan terutama, yaitu: depopulasi.
Sekarang saya tanya kepada anda: adakah populasi global bisa bertambah dari gerakan LGBTQ? (baca disini dan disini)
Parahnya lagi, anak-anak kini mulai diracun dengan propaganda bahwa mereka mungkin memiliki orientasi seksual yang berbeda dari yang mereka miliki sejak lahir.
Untuk alasan itu mereka boleh melakukan operasi penggantian jenis kelamin tanpa perlu persetujuan orang tuanya. Ajigile! (https://mynorthwest.com/3296653/rantz-washington-laws-permit-teen-gender-reassignment-surgery-parental-consent/)
Dan yang terakhir, proyek besar TIHR adalah perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan global. Ini adalah proyek rekayasa sosial terbesar sepanjang sejarah, selain plandemi Kopit. Untuk tujuan ini lembaga think tank sekelas Club of Rome didirikan di tahun 1971 silam. (baca disini dan disini)
Apa yang direncanakan?
Kalo anda baca Limits of Growth (1972), maka anda akan paham kemana arahnya. Dimana manusia adalah sumber masalah atas rusaknya bumi yang kini didengungkan kian hari kian memanas. (baca disini dan disini)
Solusinya?
Sekali lagi ‘pengaturan’ jumlah penduduk bumi alias depopulasi.
Makanya saat kampanye hijau yang sangat anti bahan bakar karbon aktif disuarakan berbagai kalangan, itu dibuat bukan untuk mengurangi polusi bahan bakar fosil di bumi yang diklaim sebagai biang kerok pemanasan global. Bukan, bukan itu.
Lantas apa?
Akses manusia ke sumber energi. Dapatkah anda hidup tanpa akses energi? (baca disini, disini dan disini)
Dan kelompok pendorong sekelas TIHR sudah mendesain sejak awal skema ini.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Menurut bapak, apa yang menjadi penyebab sesungguhnya polusi di daerah jakarta yang saat ini lagi ramai dibahas dan berdampak dipadamkannya PLTU Suralaya?
silakan dibaca:
https://ndaruanugerah.com/polusi-udara-di-planet-namek-bagian-1/