Menyoal Statistika Teror


517

Menyoal Statistika Teror

Oleh: Ndaru Anugerah

“Abang pernah bilang sama kita untuk tidak melihat media mainstream selama pandemi Kopit. Apa alasannya?” tanya seorang junior.

Tentu saja ini pertanyaan retorik yang tidak perlu dijawab. Kenapa? Karena media mainstream bertujuan untuk menakut-nakuti anda sekalian lewat penyajian statistika. Yang ada anda makin paranoid setelah anda melihat atau membaca laporan seputar Kopit day by day.

Saya tanya, darimana anda makin paranoid dari si Kopit? Bukankah setelah anda membaca laporan orang terinfeksi dan meninggal akibat si Kopit yang terus bertambah dari hari ke hari? Iya bukan?

Masalahnya dimana?

Statistika yang disajikan, tidak standar alias tidak mengikuti kaidah keilmuan.

Memang yang standar bagaimana?

Merujuk pada buku besar epidemiology, maka besarnya angka kematian dihitung berdasarkan per 1000 orang, dan bukan satuan seperti yang kita lihat di media mainstream saat pandemi si Kopit saat ini. (https://www.open.edu/openlearn/health-sports-psychology/health/epidemiology-introduction/content-section-2.1.1)

Maksudnya bagaimana?

Saya ambil contoh. Menurut data World Bank, pada tahun 2018 angka kematian di Indonesia adalah 6 per 1000 penduduk. (https://data.worldbank.org/indicator/SP.DYN.CDRT.IN?locations=ID&most_recent_year_desc=true)

Artinya apa? Dari 1000 penduduk, maka angka kematiannya ada sekitar 6 orang.

Lantas, berapa jumlah angka kematian di tahun 2018?

Kita harus tahu berapa jumlah penduduk Indonesia di tahun 2018. Berdasarkan data, jumlah penduduk Indonesia di tahun 2018 adalah kurleb 264 juta jiwa. Kita bulatkan menjadi 265 juta jiwa. (https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/08/060000069/jumlah-penduduk-indonesia-2020?page=all#:~:text=Jumlah%20penduduk%202018%20secara%20data,mencapai%20264%2C2%20juta%20jiwa.)

Maka jumlah kematian total didapat dengan cara membagi angka kematiannya dengan 1000, lalu mengkalikannya dengan jumlah penduduk saat itu. Artinya jumlah kematian total di tahun 2018 adalah 6 dibagi 1000 lalu dikalikan 265.000.000 = 1.590.000 kematian.

Artinya, dalam setahun ada 1.590.000 kematian dan sebulan akan ada 132.500 angka kematian.

Dalam sehari akan ada 4.356 angka kematian.

Dan dalam 7 bulan akan ada 927.500 angka kematian.

Tapi dalam statistika kematian, nggak ada angka-angka kematian disajikan secara letterlijk alias per satuan, melainkan per 1000 jumlah penduduk. Coba lihat link yang satu ini Itu baru standar. (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/01/17/kematian-bayi-laki-laki-di-jakarta-selalu-lebih-tinggi-dari-perempuan)

Sekarang lihatlah statistika yang disajikan saat pandemi si Kopit berlangsung. Angka yang dimunculkan tidak standar, karena menampilkan data per satuan.

Saya coba jelaskan.

Merujuk pada data kasus si Kopit hari ini (25/10) di Indonesia, tercatat angka kasus positif 389.712, angka kematian 13.299. (https://covid19.go.id/)

Penyajian ini jelas nggak baku. Kalo baku, maka angkanya dihitung berdasarkan per 1000 penduduk Indonesia yang saat ini berjumlah 268.583.016 jiwa. (https://nasional.kompas.com/read/2020/08/12/15261351/data-kependudukan-2020-penduduk-indonesia-268583016-jiwa?page=all#:~:text=JAKARTA%2C%20KOMPAS.com%20%2D%20Kementerian,Juni%20sebanyak%20268.583.016%20jiwa.)

Jika itu dilakukan, maka angka kematian di Indonesia akibat si Kopit saat ini adalah 13.299 dibagi 268.583.016 lalu dikalikan 1000. Angka yang didapat adalah 0,05 per 1000 penduduk. Nggak nyampe angka satu, bahkan alias nol koma nol lima.

Aliasnya apa? Anggapan bahwa kematian akibat si Kopit lumayan besar, jelas lebay. Kenapa? Karena nggak nyampe 1 orang per 1000 penduduk, atau lebih tepatnya 5 orang per 100.000 penduduk. Jadi dalam 100.000 penduduk, akan ada 1 orang yang mati ‘akibat’ si Kopit.

Mulai ngerti ya masalahnya?

Lalu kenapa badan dunia sekelas WHO dan John Hopkins melakukan penyajian statistika yang tidak standar seperti saat ini?

Coba pikir deh, apalagi motifnya kalo nggak buat orang awam seperti anda untuk jadi paranoid terhadap si Kopit?

Padahal dalam tujuh bulan di tahun 2018 saja, angka kematian di Indonesia mencapai 927.500 jiwa. Sedangkan si Kopit yang sudaj 7 bulan berjalan, angka kematiannya hanya 13.299 jiwa.

Apakah di tahun 2018 media mainstream memberitakan angka kematian di Indonesia secara lebay seperti saat ini? Kan nggak. Kenapa sekarang kok diubah?

Karena dengan menyajikan angka kematian dengan standar yang baku, orang seperti anda nggak akan takut terhadap si Kopit.

Makanya saya bilang, kalo anda nggak tahu skenario-nya, mendingan anda diam saja. Itu lebih bagus, ketimbang anda jadi agen-agen kepanikan dari elite global. Ngert, Njul?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!