Selalu Ada Cuan


511

Selalu Ada Cuan

Oleh: Ndaru Anugerah

Mengapa gerakan LGBTQ makin marak akhir-akhir ini?

Jawaban atas pertanyaan ini saya pernah ulas sebelumnya. (baca disini dan disini)

Kali ini, saya mau bicara dalam kerangka bisnis dibalik gerakan ini. Hitung-hitung, agar anda dapat wawasan baru untuk berdiskusi dengan orang lain.

Tahukah anda, jika ada sisi bisnis super besar dibalik gerakan pelangi?

Ambil contoh tentang operasi penggantian kelamin seseorang. Di tahun 2022 saja, operasi ini melibatkan uang yang nggak sedikit, karena mencapai USD 623 juta.

Dan di tahun 2032, karena proyeksi orang yang akan berubah gender bakal meningkat, maka angka ini bakal meroket hingga mencapai USD 1,9 miliar. (https://www.gminsights.com/industry-analysis/sex-reassignment-surgery-market)

Kenapa bisa demikian banyak jumlah uangnya?

Karena biaya operasi alih kelamin bukan harga gorengan. Anda harus merogoh kocek dalam-dalam mengingat biaya bedah membutuhkan setidaknya USD 125 ribu – USD 140 ribu. (https://www.finder.com/pay-for-transgender-surgery-medical-expenses)

Angka tersebut bisa bertambah mengingat orang yang telah berganti kelamin membutuhkan obat pengganti hormon dan obat anti depresan seumur hidup untuk menghadapi krisis kesehatan mental karena proses mutilasi tubuh yang mereka hadapi. (https://www.bmj.com/content/359/bmj.j5027)

Padahal, untuk melakukan operasi penggantian jenis kelamin, selain memakan banyak biaya, terbilang nggak aman secara psikis.

Data membuktikan bahwa mereka yang telah melakukan operasi alih kelamin jauh rentan melakukan bunuh diri karena faktor stress, ketimbang orang yang normal. (https://www.heritage.org/gender/commentary/sex-reassignment-doesnt-work-here-the-evidence)

Kita lanjut yah…

Berapa banyak anak-anak atau remaja yang diidentifikasikan sebagai transgender?

Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Dr. Natalie Nokoff di tahun 2022 silam, ada sekitar 1,8% anak-anak dan 0,6% remaja di AS yang telah beralih kelamin sejak mereka dilahirkan. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK577212/)

Angka-angka tersebut tidak turun secara otomatis dari langit.

Ada upaya yang dilakukan secara sistematis yang menarget anak-anak dan juga remaja untuk bisa punya disorentasi seksual, dalam bentuk kampanye atau iklan. Dana yang digelontorkan bahkan mencapai lebih dari USD 12 miliar saban tahun-nya. Sangat banyak, tentunya. (https://www.apa.org/pubs/reports/advertising-children)

Wajar jika kemudian anak-anak digital native dan memiliki gadget-nya sendiri, dapat mengakses iklan yang mempromosikan gerakan transgender di kamarnya masing-masing, mengingat ada setidaknya 40 ribu iklan ‘gerakan pelangi’ di dunia maya tiap tahunnya.

Dan ini nggak perlu pengawasan orang tua mereka secara 24 jam.

Untuk mengamplifikasi iklan-iklan yang bertebaran, maka dipakailah influencer. Ini penting untuk dilakukan mengingat influencer memiliki kekuatan persuasif sehingga 61% remaja mempercayai rekomendasi yang mereka berikan. (https://www.ascd.org/el/articles/manipulated-kids-teens-tell-how-ads-influence-them)

Dengan gerakan terselubung namun masif ini, maka nggak berlebihan jika satu dari lima siswa remaja di AS bakal mengidentifikasikan dirinya sebagai kaum non-heteroseksual menurut survei yang dilakukan CDC. (https://www.bloomberg.com/news/articles/2022-03-31/over-22-of-us-high-schoolers-identify-as-not-heterosexual-cdc-study?leadSource=uverify%20wall)

Darimana semua siklus ini berasal?

Mungkin jawaban ini bisa didapat dari sosok Edward Bernays. Bernays yang merupakan keponakan Sigmund Freud adalah tokoh propaganda yang dituding banyak kalangan mengubah wajah AS seperti saat ini.

Menurutnya, seseorang akan bisa dimotivasi oleh keinginan tersembunyi yang dimilikinya. “Seseorang harus membeli barang tertentu bukan karena dia membutuhkannya, namun karena ada dorongan tersembunyi yang berasal dari dirinya,” begitu kurleb-nya. (https://www.youtube.com/watch?v=eJ3RzGoQC4s)

Teori ini secara nggak langsung memberikan ide kepada banyak perusahaan yang ada di AS untuk berlomba mengumbar hasrat pada masyarakat dalam bentuk iklan. “Hasrat nggak akan pernah terpuaskan oleh barang-barang yang sifatnya konsumtif,” begitu diktumnya.

Jadi, jika seseorang yang awalnya hidupnya normal kemudian berbalik menjadi seorang transgender karena tetiba ada dorongan ‘tersembunyi’ dari dalam dirinya, maka ini adalah proses yang wajar.

Teori yang diungkapkan Bernays adalah dasar pijakannya.

Sebenarnya, gerakan transgender (dan LGBTQ) bukanlah karya pertama dari Bernays.

Pernah dengar istilah “Torches of Freedom” alias Obor Kebebasan?

Secara umum, Obor Kebebasan adalah gerakan yang mempromosikan para wanita untuk dapat merokok secara masif di ruang publik di tahun 1929. (https://en.wikipedia.org/wiki/Torches_of_Freedom)

Gerakan ini setidaknya menabrak aturan yang berlaku secara umum kala itu, bahwa perokok bukan lagi hak monopoli kaum Adam. Dan kedua jika kaum Hawa merokok, artinya dia akan menjadi lebih berkuasa, lebih bebas dan mandiri karena bisa setara dengan pria.

Untuk mewujudkan ini, maka gerakan torches of freedom dibesut dengan harapan merokok dapat mendorong semangat kebebasan di kalangan wanita. Siapa yang nggak perlu ‘kebebasan’?

Apakah gerakan merokok di kalangan wanita gagal atau justru sebaliknya?

Sekarang coba tengok kiri-kanan anda, berapa banyak wanita yang merokok? Atau mungkin anda sendiri seorang wanita perokok?

Namun bukan itu akar masalahnya.

Jika gerakan merokok bagi kaum Hawa saja bisa dipromosikan dengan sangat baik, lantas apa susahnya melakukan endorsement pada  gerakan transgender (dan LGBTQ) di kalangan anak muda? Bukankah dengan modus cari cuan, anda bisa melakukan segalanya?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!