Antara Vaksin dan Pembekuan Darah
“Bang, banyak kasus pembekuan darah terutama di Eropa sana saat mereka memakai vaksin Big Pharma. Bisa cerita lebih detail tentang hal ini? Apa ada kaitan antara vaksin dan pembekuan darah?” begitu saya dapat pertanyaan dari seorang netizen.
Sebenarnya, tentang vaksin dan implikasinya, saya sudah pernah bahas berulang-ulang. Jadi kalo anda rajin baca ulasan saya, pasti mengerti duduk masalahnya. (baca disini, disini, disini dan disini)
Tapi kalo saya nggak jawab pertanyaan tersebut, kurang bijak juga menurut saya.
Tentang vaksin Big Pharma dan pembekuan darah, bukanlah cerita dongeng yang mengada-ada. Ini masalah serius yang dikemukakan para ilmuwan, namun disepelekan oleh media mainstream. (https://www.webmd.com/vaccines/covid-19-vaccine/news/20210422/scientists-find-how-astrazeneca-vaccine-causes-clots)
Masalah serius ini bermula saat jurnal pre-print muncul yang menyatakan bahwa vaksin Kopit mengembangkan kejadian trombotik yang tidak wajar serta trombositopenia. Dan keduanya bersifat mematikan bagi orang yang menerima vaksin si Kopit, secara khusus AstraZeneca. (https://www.researchsquare.com/article/rs-362354/v1)
Namun itu makalah pre-print yang belum bisa dijadikan pegangan.
Masalahnya, adakah penelitian yang sudah dirilis melalui proses peer-review, yang berkaitan dengan vaksin dan pembekuan darah?
Tentu ada.
Pada 2007 silam, sebuah penelitian melaporkan bahwa pemberian vektor transfer gen adenoviral, telah menyebabkan peningkatan proses trombositopenia. “Ini terjadi 5-24 jam setelah penyuntikan vaksin adenovirus pada tikus,” demikian ungkapnya. (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17148587/)
Itu pada tahun 2007. Bagaimana dengan saat ini?
Pada September 2020, penelitian lain mengungkapkan bahwa SARS-C0V-2 mengikat ACE2 sehingga terjadi meningkatkan trombosis pada C-19.
“SARS-CoV-2 melalui pengikatan spike (lonjakannya) ke ACE2, mengaktivasi trombosit dan dapat menyebabkan pembentukan thrombus dan respons inflamasi pada pasien C-19,” begitu paparnya. (https://jhoonline.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13045-020-00954-7)
Dengan kata lain mereka bilang kalo SARS-CoV-2 dan protein lonjakannya secara langsung merangsang trombosit untuk memfasilitasi pelepasan faktor koagulasi, sekresi faktor peradangan dan pembentukan agregat leukosit-trombosit.
Jelas, bahwa pokok masalahnya ada di protein lonjakan yang ada pada virus, sebagai faktor penyebab pembekuan (koagulasi). Dan parahnya, vaksin Big Pharma malah ‘menginstruksikan’ tubuh manusia untuk menghasilkan protein lonjakan sebanyak-banyaknya dalam tubuh manusia setelah vaksinasi.
Makalah kedua datang pada Oktober 2020 silam. Dr. Cynthia Magro dan rekan-rekannya membuktikan bahwa protein lonjakan dalam pembuluh darah dapat menyebabkan pembekuan. Dan protein lonjakan tersebut dapat menempel pada berbagai jaringan dalam tubuh manusia. (https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S109291342030191X)
Dan parahnya, tanpa virus RNA tempatnya berasal, protein lonjakan tetap dapat menyebabkan pembekuan pada tubuh manusia, melalui kerusakan endotel yang disebabkannya.
Pada Desember 2020, Dr. Gerard Nuovo dan rekan-rekannya juga menyatakan hal yang kurleb sama. “Kerusakan sel endotel pada bagian otak dari tikus percobaan, terjadi setelah diinduksi dengan protein lonjakan dari C-19.” (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7758180/pdf/main.pdf)
Sampai disini kita paham duduk masalah dari vaksin Big Pharma tersebut.
Lalu, bagaimana proses gumpalan yang diakibatkan protein lonjakan tersebut? Apakah gumpalannya bersifat biasa saja atau malah menakutkan?
Beberapa penelitian justru mengisyaratkan pilihan kedua, dimana protein lonjakan justru berkontribusi terhadap pembekuan (gumpalan) yang resisten untuk dipecah oleh tubuh.
Ini jadi masuk akal jika kemudian banyak pasien yang disuntik vaksin Big Pharma justru mengalami masalah neurologis termasuk pembekuan darah, karena sel endotel pada otaknya telah dirusak oleh protein lonjakan tersebut. (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33053430/)
Penelitian yang dibuat oleh Dr. Solotov juga menyatakan hal yang mirip, bahwa protein lonjakan justru dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru manusia.
“Percobaan pada tikus menyatakan bahwa satu segmen protein lonjakan dapat mengakibatkan kerusakan organ paru-paru, meskipun tanpa virus yang utuh,” demikian ungkapnya. (https://medicalxpress.com/news/2021-04-sars-cov-spike-protein-lung.html)
Pertanyaannya: Big Pharma tahu nggak dengan fakta ini?
Mereka tahu, namun mengabaikannya.
Sebaliknya mereka berkilah bahwa vaksin mereka manjur dalam melawan si Kopit dengan istilah tingkat efikasi yang tinggi. Nyatakanya itu hanya angka Relative Risk Reduction sehingga nggak menggambarkan tingkat kemanjuran vaksin jika dipakai oleh seseorang. (baca disini dan disini)
Dengan kata lain, kalo anda mendapatkan suntikan vaksin Big Pharma, maka risiko pembekuan darah serta kerusakan organ tubuh lainnya jauh lebih besar ketimbang manfaat yang akan anda dapat dalam melawan si Kopit.
Lha wong virus si Kopit nggak mematikan dan setara dengan virus flu biasa, ngapain juga perlu divaksin dengan teknologi abrakadabra? (baca disini)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Ijin bertanya, pak Ndaru
Apakah vaksin Cina dan Rusia relatif lebih aman dan tidak menyebabkan tubuh membuat protein lonjakan yg merusak? Bagaimana dengan Nusantara?
saya coba jawab ya pak..
untuk vaksin China dan Rusia, itu yang ‘relatif’ aman karena nggak memodifikasi adenovirus yang dipakai. dan ini berbeda dengaan vaksin Big Pharma. saya pernah bahas soal itu.
silakan baca:
https://ndaruanugerah.com/ini-bedanya/
https://ndaruanugerah.com/vaksin-ajaib-dari-moscow/
https://ndaruanugerah.com/rusia-kegalauan-elite-global/
https://ndaruanugerah.com/saat-penyelamat-datang/
kalo saya boleh pilih, mending saya pakai vaksinnya pak Terawan alias vaknus.
selaku analis geopolitik, saya tahu track record seorang Terawan.
semoga membantu