Perang Cuaca? (*Bagian 3)


520

Perang Cuaca? (*Bagian 3)

 Oleh: Ndaru Anugerah

Setelah membaca bagian pertama dan kedua tulisan tentang pembentukkan opini publik akan bahaya kekeringan oleh media mainstream, mungkin anda bertanya-tanya: ada sih grand scenario sesungguhnya? (baca disini dan disini)

Untuk jawab teka-teki ini, kita harus flashback ke beberapa tahun silam, dimana climatologist kondang Prof. Timothy Ball menyatakan prediksinya tentang kelangkaan air yang bakal terjadi secara global.

“Kekurangan air secara global hanya akan mendorong agenda 21 milik PBB untuk semakin menjadi kenyataan,” demikian ungkap Prof. Ball. (https://www.podcast.de/episode/396883611/tmr-060-dr-tim-ball-from-co2-to-h2o-peak-water-as-the-next-un-eco-scare)

Jadi masalahnya ada di air, yang akan menjadi barang langka pada tahun-tahun mendatang. Itulah agenda sesungguhnya dibalik narasi kekurangan air yang terjadi saat ini.

Air menjadi barang langka?

Tepat sekali.

Asal anda tahu bahwa penggunaan air sebagai instrumen perang asimetrik dalam dunia geopolitik, bukanlah hal yang baru. Banyak sudah analis yang menyatakan hal tersebut.

Salah satunya Colin Mason, yang meramalkan adanya 6 faktor utama yang dapat digunakan dalam mendorong perubahan global, salah satunya adalah krisis air. (https://archive.org/details/shorthistoryoffu0000maso)

Itu di tataran konsep.

Pada tataran praktis, kekurangan air bisa juga digunakan sebagai penyulut perubahan politik. Salah satu contoh yang paling gamblang adalah Perang Suriah. (https://www.smithsonianmag.com/innovation/is-a-lack-of-water-to-blame-for-the-conflict-in-syria-72513729/)

Awal mulanya perang bisa terjadi, pertama-tama dipicu oleh adanya krisis air.

“Kekeringan akut yang terjadi di tahun 2006 di Suriah, memaksa banyak petani meninggalkan ladangnya dan berpindah ke pusat kota. Migrasi inilah yang kelak menyulut perang saudara akibat banyaknya pengangguran di kota hingga menewaskan puluhan ribu korban jiwa,” begitu kurleb-nya.

Nggak hanya itu, sebab Pusat Penelitian Gabungan Komisi Eropa juga menerbitkan laporan bernada sama, yang intinya di tahun 2050 mendatang, pendorong utama konflik geopolitik adalah krisis air. (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30679888/)

Dengan kata lain, penyebab terjadinya perang di masa depan, salah satunya adalah krisis air, dan bukan krisis bahan bakar. (https://nypost.com/2018/10/19/the-wars-of-the-future-will-be-fought-over-water-not-oil/)

Kalo memang skenario utamanya adalah terciptanya krisis air, pertanyaannya: apa nggak mungkin kekeringan yang terjadi saat ini secara bersamaan di banyak negara, adalah hasil dari environmental modification alias perang cuaca?

Mungkin anda mempertanyakan analisa ini. Bagaimana mungkin?

Kalo memang krisis air bukanlah agenda utama-nya, untuk apa juga narasi kekeringan digembar-gemborkan secara masif oleh media mainstream?

Bahkan pemerintah Inggris menegaskan bahwa krisis air yang terjadi saat ini, harus diperlakukan sebagai ancaman bagi keamanan nasional. (https://www.telegraph.co.uk/business/2022/08/09/britains-water-crisis-should-treated-national-security-threat/)

Kenapa dianggap sebagai ancaman bagi keamanan nasional?

Sebab kekeringan yang ada saat ini, muaranya bakal ke sana. Kelangkaan air.

Dan orang nggak akan bisa hidup lama tanpa air.

Bahkan saking pentingnya air, sekelas WEF menyarankan kepada kita semua untuk menghemat air sebisa mungkin, Salah satunya dengan menyuci pakaian sejarang mungkin, di masa depan. (https://www.weforum.org/videos/23880-scientists-are-urging-us-to-wash-our-clothes-less-to-help-the-planet)

Mengapa aktivitas sekelas menyuci pakaian harus dibatasi? (baca disini)

Karena cadangan air bersih di bumi mulai menipis. Apalagi kalo bukan dipicu oleh pemanasan global menurut versi sang Ndoro besar.

Lantas apa solusinya?

Jika nggak diatur secara internasional, maka krisis air akan mendorong ketidakstabilan geopolitik. Karenanya harus ada pengaturan yang dijalan secara serempak di semua negara di dunia. Salah satu implikasinya adalah water rationing alias penjatahan air.

Dengan penjatahan air, maka akses manusia akan air bersih bakal dibatasi.

Klop sudah. Energi bakal dibatasi dengan hadirnya Net Zero Carbon 2050, dan akses pada air bersih-pun juga bakal mengalami nasib serupa.

Kira-kira berapa lama manusia bisa bertahan hidup tanpa energi dan air?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!