Nggak Punya Apa-Apa dan Bahagia? (*Bagian 1)


537

Nggak Punya Apa-Apa dan Bahagia? (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, bisa ulas tentang proposal WEF di tahun 2030 mendatang, terutama dengan rencana Own Nothing and Be Happy?” tanya seorang netizen.

Pertanyaan yang baik, menurut saya.

Mengapa?

Karena jika anda tahu skenario masa depan, pastinya anda akan bisa antisipasi duluan, bukan?

Namun karena banyaknya informasi yang akan saya sajikan, tulisan ini akan saya pisah menjadi dua bagian. Pada bagian pertama, kita akan bahas apa agenda 2030 milik sang Ndoro besar pada umat manusia di kolong jagat.

Menarik apa yang diungkapkan Prof. Klaus Schwab di tahun 2021 silam, pada The Great Narrative Meeting yang berlangsung di Dubai.

“Untuk membentuk masa depan, pertama-tama anda harus membayangkannya, dan kemudian anda harus merancangnya sebelum anda mengeksekusinya,” begitu kurleb-nya. (https://www.weforum.org/events/the-great-narrative-2021/about)

Singkatnya, Schwab mau ngomong kalo masa depan ‘yang baru’, hanya bisa dieksekusi jika dan hanya jika ada rancangan sebelumnya. Tanpa rancangan yang baik, mustahil new future bisa diraih.

Memangnya sang Ndoro sudah punya rancangan dunia yang baru, ke depannya?

Tentunya itu retorik untuk ditanyakan, mengingat saya jauh-jauh hari pernah mengulasnya. (baca disini, disini, disini, disini dan disini)

Karena sudah punya cetak biru masa depan, maka skenario itu diluncurkan ke publik. Tujuannya agar publik tahu akan rancangan sang Ndoro. Jadi nggak kaget kalo kemudian rencana dieksekusi suatu saat nanti.

Siapa yang melakukan aksi peluncuran ke publik tentang rencana sang Ndoro besar.

Setidaknya ada 2 pihak. Pertama WEF sendiri selaku organisasi payung sang Ndoro, dan kedua kader sekolah Davos yang bernama Ida Auken.

WEF sendiri telah secara resmi merilis rencana mereka tentang tatanan dunia baru pada 2030 nanti, yang selaras dengan Agenda SDG 2030 milik PBB.

Kok bisa selaras?

Karena isinya dua lembaga tersebut, ya DLDL alias sang Ndoro sendiri beserta para jongosnya.

Dikatakan dalam suatu tayangan di platform media, akan ada 8 skenario yang akan terjadi di tahun 2030 mendatang. Dan ‘prediksi’ pertama menyangkut status kepemilikan yang akan lenyap di masa mendatang.

“Semua produk akan menjadi layanan,” demikian ungkap WEF, dengan tayangan sebuah drone yang mengantar barang ke rumah seseorang. (https://odysee.com/@QuantumRhino:9/WEF-Agenda-2030–by-2030-You%E2%80%99ll-own-nothing-And-you%E2%80%99ll-be-happy:7)

Prediksi kedua, juga diluncurkan oleh kader sekolah Davos, yang bernama Ida Auken di tahun 2016 silam. “Selamat datang di 2030: Saya tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki privasi dan nggak ada kehidupan yang lebih baik ketimbang saat itu,” ungkap Auken. (https://www.forbes.com/sites/worldeconomicforum/2016/11/10/shopping-i-cant-really-remember-what-that-is-or-how-differently-well-live-in-2030/?sh=31cbdd071735)

Lebih lanjut Auken menambahkan pada artikel futuristiknya, “Saya nggak punya apa-apa, baik mobil, rumah, peralatan rumah tangga, ataupun pakaian. Ini bisa terjadi karena segala sesuatu yang anda anggap produk, kini telah menjadi layanan.”

Dan bagi anda para emak-emak yang hobby shopping, bersiaplah, karena di 2030 nanti, semua aktivitas belanja yang kini anda gemari, bakal lenyap selamanya dari muka bumi. “The Death of Shopping”, istilah yang dipakai Auken untuk menggambarkannya.

Jadi kedua sumber, menyuarakan hal yang sama, yang akan terjadi di 2030 nanti.

Pertama soal kepemilikan yang akan musnah dari kolong bumi, dan kedua akan bisa bahagia meskipun anda nggak lagi punya apa-apa. Ini bisa terjadi karena semua produk akan bertransformasi menjadi layanan.

Pertanyaannya, bagaimana transformasi ini bisa dilakukan?

Jawabannya ada pada 2 kata: Ekonomi Sirkular.

Anda pernah dengar soal ini? Kalo belum, saya coba jelaskan secara sederhana.

Adalah Schwab yang menyuarakan soal istilah tersebut. “Ekonomi sirkular adalah salah satu pendekatan yang memungkinkan kita mengikuti inovasi teknologi, mendukung ekosistem yang terintegrasi dan berkelanjutan, sehingga mampu menggerakkan kita menuju masa depan yang lebih baik.” (https://www.weforum.org/agenda/2022/01/5-circular-economy-business-models-competitive-advantage/)

Bahasanya surgawi sekali, bukan?

Secara singkat, istilah ekonomi sirkular merupakan solusi dari kegagalan sistem kapitalisme yang selama ini dijalankan di dunia. Saya pernah ulas tentang hal ini jauh sebelumnya. (baca disini dan disini)

Dengan kata lain, ekonomi sirkular dipakai untuk menjalankan sistem ekonomi yang baru, yaitu kapitalisme pemangku kepentingan (stake holder capitalism). Jadi, dalam sistem baru, semuanya akan melingkar alias sirkular.

Pada tataran teknis, produsen bukan menjual, tapi meminjamkan barang yang mereka hasilkan. Kelak masa sewanya habis, maka barang ‘pinjaman’ tersebut akan mereka tarik untuk bisa mereka perbaiki guna disewakan kepada penyewa lainnya.

Nggak aneh jika pada tahap ini, semua produk akan menjadi layanan, karena nggak ada lagi sistem jual beli seperti saat ini.

Apakah ini konsep baru?

Sama sekali bukan. Kalo anda pernah dengan istilah ‘Software as a Service’, maka sistem rental gaya sang Ndoro sudah ada sejak lama. Hanya saja, sekarang dikemas dengan bungkus baru. (https://en.wikipedia.org/wiki/Software_as_a_service)

Jadi kalo perangkat lunak seperti Microsoft, sistem yang mereka berlakukan hanya rental-an, maka ke depan anda hanya berstatus penyewa alias bukan pemilik. Dan anda harus membayar sewa untuk produk yang anda pakai selama periode waktu tertentu. Dan saat waktu sewanya habis, maka barang tersebut akan kembali kepada pemiliknya.

Lantas bagaimana lebih jauh tentang ekonomi sirkular? Sudahkah sang Ndoro mempersiapkan secara matang atas rencananya tersebut?

Pada bagian kedua kita akan mengulasnya.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


3 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!