Menginisiasi Krisis Energi (*Bagian 1)


532

Menginisiasi Krisis Energi (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

Saat ini, aktivitas keseharian sudah mulai berangsur normal. Sekolah sudah mulai beroperasi, kantor-kantor mulai beraktivitas dan kemacetan sudah menjadi santapan keseharian.

“Tanda-tanda ekonomi mulai pulih,” pikir banyak orang. (https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Pandemi-Mereda-dan-Ekonomi-Mulai-Pulih)

Pertanyaannya: apakah aktivitas normal tersebut bisa dijadikan indikator pemulihan ekonomi?

Disini polemik muncul. Sebagian orang mengamini hal tersebut, sementara lainnya justru menyangsikannya.

Yang benar yang mana?

Tentang ekonomi, saya sudah katakan sebelumnya bahwa demi terwujudnya The Great Reset, ekonomi global memang harus dihancurkan terlebih dahulu.

Jika tatanan dunia status quo masih bertengger di singgahsana-nya, bagaimana mungkin tatanan dunia baru bisa dimunculkan?

Lalu apa yang menjadi pilar tatanan dunia saat ini?

Petrodollar. Semua transaksi finansial, mengkiblat pada sistem petrodollar. (baca disini dan disini)

Dengan kata lain, demi terwujudnya tatanan ekonomi baru yang berkelanjutan, sistem petrodollar harus diluluh lantakkan terlebih dahulu.

Salah satu yang hendak disasar adalah petroleum alias minyak, sebagai bahan bakar perekonomian global saat ini. Rencana yang hendak dilakukan adalah menciptakan krisis energi.

Bagaimana skenario ini akan dieksekusi?

Saat plandemi Kopit digelar secara global di awal 2020, CEO BlackRock, Larry Fink menulis sebuah surat yang berjudul A Fundamental Reshaping of Finance, kepada rekan-rekan CEO yang bertengger di kartel Wall Street. (https://www.businessinsider.com/climate-change-focal-point-of-blackrock-strategy-larry-fink-letter-2020-1?op=1)

Memangnya apa isi surat Fink?

Secara singkat, Fink sebagai pengelola dana investasi jumbo di dunia, menyatakan perlunya peralihan investasi berbasis karbon saat ini ke investasi hijau. Dan ini akan berlangsung dengan sangat cepat.

“Dalam waktu dekat, lebih cepat dari yang bisa diantisipasi, akan ada realokasi modal yang sangat signifikan, dimana setiap pemerintah, perusahaan dan pemegang saham harus bersiap menghadapi risiko atas perubahan iklim,” begitu kurleb-nya.

Bukan itu saja. Larry Fink juga menulis surat kepada para investor BlackRock tentang niatannya untuk keluar dari investasi karbon (seperti minyak, gas dan batubara) dan beralih pada investasi hijau yang selaras dengan visi keberlanjutan PBB. (https://www.blackrock.com/corporate/investor-relations/2020-blackrock-client-letter)

“Bagi perusahaan dan pemerintah yang tidak mengindahkan pemangku kepentingan atas risiko keberlanjutan, akan bersiap menghadapi skeptisme dari pasar,” ungkap Fink.

Singkatnya, Fink mau menyampaikan kalo perubahan iklim adalah faktor penentu bagi prospek jangka panjang perusahaan, karena dunia berada dalam persimpangan jalan pembentukan kembali tata kelola keuangan global secara fundamental.

Apa yang bisa disimpulkan dari pernyataan Fink?

Bahwa dunia akan ditata ulang dari semula berbasis karbon menjadi carbon free. Sebagai konsekuensinya, dari perusahaan hingga pemerintah akan dibebankan kewajiban pada aturan main yang merujuk pada ESG, dimana investasi berbasis karbon secara drastis bakal ditinggalkan.

Gampangnya begini. Jika anda saat ini bekerja pada bisnis perminyakan, maka yakinlah bahwa dalam waktu yang sangat singkat perusahaan anda akan sepi investor. Kalo sudah begini, apa yang bisa diharapkan selain perusahaan anda gulung tikar?

Nggak aneh jika sekelas ExxonMobil dipaksa berkomitmen terhadap iklim investasi hijau yang telah dideklarasikan BlackRock alias berencana menutup usahanya.

Itu perusahaan besar. Bagaimana dengan perusahaan ecek-ecek yang masih sangat mengharapkan bantuan investor? (https://www.cnbc.com/2022/01/18/exxon-pledges-net-zero-carbon-emissions-from-operations-by-2050.html)

Bisa kita katakan jika surat Fink tersebut adalah pernyataan perang lembaga keuangan global terhadap industri energi saat ini.

Kalo kita ngomong soal BlackRock, kita nggak bisa menyepelekan pernyataan yang dikeluarkan sang CEO Larry Fink.

Sekedar info saja, bahwa BlackRock adalah pengusung Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD) dan juga deklarator Principles for Responsible Investing yang menelorkan skenario ESG (Environmental, Social and Governance) bagi iklim investasi hijau.

Dengan kata lain, BlackRock bukan lembaga kaleng-kaleng, karena masa depan iklim investasi hijau ada di tangan mereka sebagai penentunya. Jika BlackRock menyatakan suatu perusahaan terkena kartu merah bagi iklim investasi, maka yakinlah bahwa perusahaan tersebut nggak lama bakal bangkrut.

Padahal, bagaimana kita yakin kalo data ESG yang diungkapkan BlackRock bersifat valid alias nggak manipulatif? Siapa yang berhak mengaudit pemeringkatan yang dikeluarkan BlackRock?

Paham kan, maksud saya?

Lebih jauh lagi, BlackRock juga mendukung penuh deklarasi Vatikan di tahun 2019 silam tentang rencana penetapan harga karbon, utamanya bagi perusahaan-perusahaan perminyakan global. (https://totalenergies.com/news/vatican-dialogues-participant-statement-carbon-pricing)

Dan BlackRock juga mendukung penuh koalisi ratusan perusahaan investasi global yang mengelola dana sekitar USD 40 trilyun, yang belakangan dikenal sebagai Climate Action 100. Inilah yang kelak akan men-judge status perusahaan atas jejak karbon yang dihasilkannya. (https://www.theguardian.com/environment/2020/jan/09/blackrock-joins-pressure-group-taking-on-biggest-polluters)

Merujuk pada jejak yang dibuat BlackRock, nggak berlebihan kalo perusahaan inilah yang didaulat sebagai algojo investasi hijau.

Lantas, bagaimana skenario kelangkaan energi akan digulirkan oleh BlackRock?

Pada bagian kedua kita akan membahasnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah Analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!