Mengapa Orang Percaya Propaganda? (*Bagian 2)


538

Mengapa Orang Percaya Propaganda? (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama saya sudah sedikit ulas tentang bagaimana definisi propaganda dan bagaimana propaganda tersebut bekerja. (baca disini)

Lantas siapa yang berkepentingan terhadap propaganda?

Tentu saja entitas yang punya kepentingan agar program besarnya bisa terlaksana. Dialah sang Ndoro. Coba cek dulu, bagaimana media mainstream bisa dikontrol dan siapa juga yang punya media mainstream. (baca disini dan disini)

Jadi jangan bingung apalagi heran tentang media mainstream yang punya tugas sebagai agen penyebar ‘ketakutan’ pada kita semua. Karena yang punya ya DLDL alias Dia Lagi Dia Lagi.

Kita lanjut ya.

Apa yang Edward Bernays katakan pada bukunya ‘Propaganda’?

Pada pembukaan buku tersebut Bernays menulis, “Manipulasi secara sadar dan cerdas atas kebiasaan dan opini massa yang terorganisir merupakan elemen penting yang harus dilakukan pada masyarakat demokratis.”

Bernays menambahkan, “Mereka yang telah memanipulasi mekanisme dalam masyarakat tersebut, merupakan pemerintah bayangan yang ‘tidak terlihat’ yang sesungguhnya berkuasa atas negara kita.” (http://whale.to/b/bernays.pdf)

Jadi kuncinya harus ada proses manipulasi yang dilakukan oleh pemerintah ‘bayangan’ atas suatu masyarakat dengan menggunakan media propaganda sebagai mesin-nya. Siapa pemerintah bayangan yang dimaksud Bernays? Ya nggak lain sang Ndoro sendiri.

Dengan manipulasi yang dilakukan secara berulang kek kaset kusut, maka diharapkan tumbuh rasa takut. Dan orang yang takut tentu nggak punya pilihan lain selain patuh bin taat.

Ini nggak sulit, karena kondisi sosial telah membentuk sistem kepatuhan sedari seseorang lahir. Coba deh, apa yang telah orang tua lakukan kepada anaknya sedari kecil selain menumbuhkan rasa patuh dan taat? Setidaknya kepada mereka sebagai orang tua. (https://feelingsfirstblog.wordpress.com/key-articles/comforting-baby-is-violent/)

Tetapi, seiring berjalannya waktu, maka sang anak yang tumbuh dewasa mulai berpikir dan bertindak secara berbeda dari apa yang telah diajarkan sejak kecil. Lihatlah perilaku remaja yang mulai berani menentang arus perilaku yang dibentuk oleh orang tuanya. Benar, bukan?

Dan saat ini terjadi, maka anak tersebut dengan cepat ditarik kembali ke jalur ‘kepatuhan’ dengan dua cara. Pertama bisa dengan bujukan dan kedua dengan memakai kekerasan. Inilah yang dinamakan sosialisasi. (https://feelingsfirstblog.wordpress.com/punishment/)

Begitulah sistem ‘kepatuhan’ dan ‘ketaatan’ dibentuk sejak dini. Jadi proses memanipulasi suatu masyarakat dengan propaganda, sudah ada ‘modalnya’. Tinggal poles sedikit, jadilah propaganda bekerja dengan apiknya.

Ini selaras dengan Jean Jacques Rousseau (1762) yang menyatakan bahwa ada ‘kontrak sosial’ dalam masyarakat yang tujuannya membatasi kebebasan seorang individu dengan individu lainnya. (https://www.earlymoderntexts.com/assets/pdfs/rousseau1762.pdf)

Dengan proses ini, maka seorang individu otomatis akan kehilangan kapasitas bawaannya seperti rasa keingintahuan, kehendak bebas, kemampuan untuk berpikir bagi dirinya sendiri serta hati nuraninya. (http://tinyurl.com/whyviolence)

Secara singkat, kapasitas bawaan yang dibawanya sejak lahir untuk memahami realitas di sekelilingnya, direpresi dengan kapasitas mental lainnya. Yang terjadi kemudian si anak pasrah terhadap kondisi yang ‘menekannya’.

Termasuk pasrah menerima informasi yang diterimanya saat belajar di sekolah. Yang mereka tahu, apa yang dikatakan sebagai ilmu pengetahuan, pasti semuanya benar. Dan nggak boleh ada kata ‘penolakan’ kalo dirinya nggak mau mengalami ‘represi’ lainnya.

Coba anda baca buku Paolo Freire tentang pendidikan kaum tertindas yang melakukan pembelajaran gaya bank. Disitu anda akan tahu titik temu pemikiran Edward Bernays dan Paolo Freire. (https://bpsdm.kemendagri.go.id/Assets/Uploads/laporan/0cabefd9bf7db259957c1d854603aa45.pdf)

Kelak gagasan patuh yang tabu untuk mempertanyakan narasi dominan di sekitar mereka, menjadikan mereka pribadi yang penurut. Akibatnya mereka kurang memiliki ‘kecerdasan’ dan juga nggak punya cukup keberanian untuk menentang arus.

Modal ketakutan ini yang memungkinkan banyak orang akhirnya percaya akan narasi propaganda yang disebar secara luas dan berulang-ulang. Karenanya mereka menjadi akrab dengan ‘semua kebohongan’ tersebut dan menjadi ‘nyaman’ dengannya.

Contoh yang paling gamblang saat narasi mainstream mengarahkan masyakat untuk melakukan prokes yang ketat. Padahal sudah jelas prokes seketat apapun nggak bisa menjamin Kopit untuk tidak menyebar. (baca disini)

Coba anda lawan narasi dominan tersebut, maka anda akan diberi label ‘teori konspirasi’. Masalahnya mental anda siap apa nggak? (https://theconversation.com/in-defence-of-conspiracy-theories-and-why-the-term-is-a-misnomer-101678)

Jadi bagaimana agar kita bisa melawan propaganda yang disebar secara luas dan berulang-ulang?

Kuasai rasa takut anda. Itu kunci utamanya. Karena kunci permainan propaganda adalah semakin anda takut, semakin ‘sukses’ propaganda bekerja. (https://feelingsfirstblog.wordpress.com/putting-feelings-first/)

Jangan menjadi entitas yang sangat bergantung pada media mainstream yang berfungsi sebagai corong propaganda. Kalo ini sudah anda lakukan, percayalah bahwa anda sudah bisa melangkah ke tahap berikutnya untuk menentang propaganda yang dijalankan.

Kalo anda menjadi paranoid terhadap virus yang memiliki tingkat kematian sangat kecil, lantas bagaimana anda bisa melawan propaganda? (baca disini)

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!