Memanipulasi Pikiran


513

Memanipulasi Pikiran

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana praktik demokrasi dijalankan di seluruh dunia? Siapa yang berkepentingan?

Menarik apa yang dikemukakan J. Edgar Hoover selaku penulis karya terkenal Master of Deceit, “Cara menaklukkan demokrasi adalah dengan agitasi massa melalui eksploitasi prasangka hingga ketakutan kepada semua kelompok, selain menjalankan teknik pecah belah untuk menjinakkan kelompok massa.” (https://archive.org/details/MastersOfDeceit)

Dengan kata lain, kalo kita mau ngomong soal demokrasi, maka ada pihak yang berkepentingan untuk mengontrolnya. Jadi demokrasi bukan berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang bebas kepentingan. Itu hanyalah ‘dogma’ yang anda dapat di bangku sekolah.

Dan cara yang dapat ditempuh adalah melalui agitasi massa selain menjalankan strategi adu domba antar kelompok. Tujuannya satu: demokrasi dapat dimanipulasi dan dikontrol.

Lalu siapa yang berkepentingan akan hal ini?

Tentu saja pemerintah.

Apakah pemerintah an sich?

Kalo kita bicara soal pemerintah, maka anda perlu tahu yang namanya deep state. Inilah yang merupakan pemerintah yang ‘sesungguhnya’ (dan bukan pemerintah boneka yang kita lihat di permukaan) yang berkepentingan terhadap jalannya ‘demokrasi’. (baca disini dan disini)

Misalnya kejadian baru-baru ini, dimana Pentagon dipaksa meninjau ulang semua operasi psikologis yang mereka jalankan melalui platform media sosial dan menyasar segenap warga AS.

Dalam menyukseskan operasi ini, Pentagon menggandeng raksasa Big Tech sekelas Twitter dan Meta sebagai alat menjalankan operasi rahasia tersebut. (https://www.theverge.com/2022/9/19/23360688/pentagon-review-military-influence-operations-social-media)

Singkatnya, militer AS kedapatan telah menggunakan Big Tech untuk memanipulasi psikologi massa untuk dapat dikendalikan pada tujuan tertentu. (https://www.washingtonpost.com/national-security/2022/09/19/pentagon-psychological-operations-facebook-twitter/)

Memangnya apa tujuannya?

Mengubah perilaku seseorang dengan menyebar propaganda melalui jejaring media sosial. Setelah orang berhasil dipengaruhi psikologinya, maka akan dengan mudah diubah perilakunya atau dikendalikan. (https://www.armytimes.com/news/your-army/2022/05/17/foreboding-army-psyops-recruitment-video-shows-whos-pulling-the-strings/)

Sebenarnya ini bukanlah hal yang baru.

Di tahun 1950an, CIA di saat kepemimpinan Allen Dulles pernah menjalankan operasi pengendalian pikiran yang belakangan diberi nama MK-Ultra. Pada tataran teknis, orang yang disasar kemudian diberi LSD (lysergic acid diethylamide) yang membuat dirinya berhalusinasi dan sulit membedakan kenyataan dan impian. (http://healthland.time.com/2012/03/23/the-legacy-of-the-cias-secret-lsd-experiments-on-america/)

Dengan kombinasi terapi kejut, hipnosis hingga berbagai obat-obatan dan bahan kimia, maka perilaku orang yang menjadi sasaran operasi psikologis yang dijalankan oleh CIA tersebut, akan mudah diubah perilakunya. (https://www.history.com/mkultra-operation-midnight-climax-cia-lsd-experiments)

Jika sudah begini, orang tersebut akan mudah diarahkan untuk sekedar hilang ingatan hingga hasrat untuk membunuh, sekalipun.

Nggak heran kalo CIA mau menghabiskan dana sekitar puluhan juta dollar untuk melakukan eksperimen ini. Bukankah ini membuka peluang untuk eksperimen yang lebih luas lagi, ke depannya? (http://survivingintheusa.com/cia-mk-ultra/)

Walaupun MK-Ultra kini sudah ditutup, namun praktik manipulasi pikiran nggak otomatis berakhir.

“Proyek ini akan terus ada dalam garis kebijakan Washington,” demikian ungkap jurnalis kondang Lorraine Boissoneault. (https://www.smithsonianmag.com/history/true-story-brainwashing-and-how-it-shaped-america-180963400/)

Malah, seiring berkembangnya teknologi informasi, teknik cuci otak makin canggih. Jika dulu targetnya adalah individu per individu, sekarang targetnya adalah banyak orang alias secara massal. (https://www.politico.com/story/2015/09/obama-executive-order-213662)

Contoh yang paling gamblang adalah saat plandemi Kopit melanda dunia.

Memang anda pikir plandemi Kopit bukanlah operasi perubahan perilaku? (baca disini dan disini)

Dengan kata lain, plandemi Kopit adalah operasi psikologis yang disamarkan dengan dalih hadirnya virus abrakadabra.

Point-nya ya sama saja, dimana orang sengaja dibuat ketakutan setengah mati akan bahaya virus yang nggak pernah ditemukan wujud isolasinya, melalui corong media massa. Sekali lagi ini bukan hal yang baru dalam upaya pengendalian pikiran massa. (baca disini dan disini)

Apa targetnya?

Dengan menciptakan ketakutan, mereka akan mudah mengendalikan perilaku orang. Ini bisa terjadi karena orang yang ketakutan nggak akan bisa berpikir normal. Jadi kalo ada solusi atas ketakutan yang anda alami, apapun itu akan langsung diterima tanpa pikir panjang.

Bisa dikatakan, kata kunci dari permainan pengendalian pikiran ini adalah bagaimana ketakutan dengan sukses menghantui pikiran anda. Makin anda takut, makin anda mudah dimanipulasi untuk berperilaku sesuai yang diharapkan mereka.

Dan ketika anda dikuasai oleh rasa takut tersebut, maka otomatis anda nggak akan mampu berpikir secara logis. (https://reason.com/archives/2011/04/12/fear-itself)

Masalah nggak berhenti sampai disini, karena ketakutan ini juga merupakan alat yang efektif dalam mengadu domba kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.

Dengan adanya ketakutan yang diciptakan, maka bakal ada kelompok masyarakat yang mendukung dan menolaknya. Ujung-ujungnya, kedua kubu akan saling bertikai untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing.

Walhasil kedua pihak kena prank. Padahal ini hanyalah permainan cuci otak dengan menghadirkan suatu isu, yang memang sengaja muncul untuk mengadu domba kita-kita semua. (https://archive.org/details/BernaysPropaganda)

Masalahnya: berapa banyak yang sadar akan program manipulasi ini?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!