Gerakan Iklim (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan telah kita bahas tentang apa itu gerakan iklim, siapa di belakangnya dan apa tujuan yang hendak diraih. (baca disini)
Sekarang kita mau lihat, apakah pernyataan yang dilontarkan Dr. Gray tentang gerakan iklim yang telah dimanipulasi dan diintimidasi benar adanya? Dan lebih jauh lagi kita mau tahu, apakah benar tudingan bahwa karbon dioksida dan aktivitas manusia adalah penyebab pemanasan global?
Selama ini, kita dijejali informasi bahwa emisi C02 buatan manusia bertanggungjawab atas kenaikan suhu, bukan? Asumsi ini didapat dari data yang diambil dari stasiun cuaca yang ada di seluruh dunia dan kemudian dirakit dengan pemodelan menggunakan komputer. (Jadi ingat pemodelan Kopit yang dilakukan Prof. Lockdown, bukan?)
Ternyata data yang dikumpulkan ini mengandung bias yang cukup fatal, mengingat stasiun cuaca tempat data diambil tidak bekerja dengan baik. (http://scienceandpublicpolicy.org/images/stories/papers/originals/surface_temp.pdf)
Dengan temuan tersebut, Dr. Tim Ball menegaskan, “Suhulah yang menentukan tingkat CO2 dan bukan sebaliknya, karena CO2 bukanlah gas polutan. Selain itu CO2 dilepaskan dari dan diserap ke lautan tergantung pada suhu yang ada.” (http://www.galileomovement.com.au/docs/freedom1-CO2.pdf)
Mengatasi polemik ini, Prof. Vincent Courtilot yang merupakan pakar Geofisika dari Universitas Paris menyusun ulang data yang diperoleh lewat stasiun cuaca secara mandiri terhadap laporan yang dirilis oleh IPCC yang menjadi landasan pemanasan global tersebut.
Apa hasilnya?
“Matahari-lah yang menentukan kenaikan suhu, dan bukan CO2. Dengan kata lain, kontribusi C02 pada kenaikan suhu sangatlah kecil dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh matahari sebagai proses alami,” ungkap Prof. Courtilot. (http://www.youtube.com/watch?v=IG_7zK8ODGA)
Lalu bagaimana dengan klaim yang menyatakan bahwa pemanasan global mempengaruhi kenaikan air laut secara global?
Nyatanya, kenaikan air laut secara global hanya 18 cm dalam rentang 1 abad alias 100 tahun. Data ini di dapat dari stasiun pengukur pasang-surut yang ada di banyak negara. Silakan baca laporannya yang sudah melalui proses peer-review tersebut. (http://weather.missouri.edu/gcc/CCR2009FullReport.pdf)
Laporan tersebut paralel dengan paparan yang dilakukan Dr. Gregg Thompson tentang kenaikan air laut yang dipicu oleh pemanasan global, nyatanya hanyalah isapan jempol semata. (http://www.galileomovement.com.au/docs/EvidenceForNoSeaLevelChange.pdf)
Jadi tentang narasi bahwa pemanasan global akan mampu memicu kenaikan permukaan air laut dan akan mengakibatkan bumi terendam air, itu hanya klaim bodong semata.
Bukan itu saja. 1000 ilmuwan internasional juga menyatakan bahwa pemanasan global sebagai ulah manusia sebagai hal yang tidak dapat diterima secara keilmuan alias nggak ilmiah. (https://cupdf.com/document/2010-senate-minority-report.html)
Ini yang ngomong bukan saya lho ya, tapi para pakar yang telah lama berkecimpung di bidang iklim selama puluhan tahun. Selain itu mereka telah memberikan data pembanding untuk menepis asumsi yang selama ini digaung-gaungkan oleh banyak pihak tentang pemanasan global.
Pertanyaannya: mengapa sudah tahu isu pemanasan global nggak punya landasan data yang kuat, kok PBB melalui IPCC terus ngotot kalo isu tersebut beneran ada?
Jawabannya seperti saya pernah singgung dalam beberapa tulisan saya sebelumnya. (baca disini dan disini)
Setidaknya ada 2 alasan yang melandasinya.
Pertama, ada ‘cuan besar’ yang bisa didapat dari isu tersebut. Anda pernah dengar Emission Trading Scheme (ETS) alias Skema Perdagangan Emisi yang dirilis di Paris pada 2015 silam? (https://icapcarbonaction.com/images/StatusReport2015/ICAP_Report_2015_02_10_online_version.pdf)
ETS nggak lain adalah jembatan bagi diterapkannya ekonomi berbasis karbon secara global. Pada tataran teknis, ekonomi global akan didasarkan pada perdagangan dan pengendalian emisi karbon.
Saya coba jelaskan dengan sederhana.
Kedepannya, pemerintah akan menetapkan batas emisi karbon suatu perusahaan pada tingkat maksimum yang boleh mereka keluarkan. Semakin sedikit emisi karbon yang dikeluarkan, maka semakin dikit pula insentif yang harus mereka bayar sebagai dendanya. Demikian juga sebaliknya.
Dan perusahaan bisa menjual atau membeli kredit karbon-nya, melalui pasar pertukaran karbon, dimana Al Gore dan kartel Ndoro besar yang pegang kendali. Skema ini sudah diatur pada protokol Kyoto. (http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php/)
Mengingat banyaknya margin ‘cuan’ yang didapat lewat skema perdagangan karbon, menjadi wajar jika kemudian kartel Ndoro besar ikutan di dalamnya. Ada sederet nama beken, mulai dari Goldman Sachs, Morgan Stanley hingga JP Morgan. (https://www.ft.com/content/6e60b6ec-b10b-11e8-99ca-68cf89602132)
Sistem perdagangan karbon ini kini menjadi ‘lebih sempurna’ saat BlackRock meluncurkan skema ESG (Environmental, Social and Governance) bagi investor untuk mau menanamkan uangnya pada perusahaan yang dinilai ‘ramah lingkungan’ atau nggak, guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. (baca disini dan disini)
Apa alasan kedua?
Merujuk pada skema kredit karbon, maka ke depannya setiap orang akan punya yang namanya kartu karbon. Prinsipnya sama dengan perusahaan, dimana tiap individu akan menerima insentif lebih banyak jika mengeluarkan sedikit emisi karbon pada energi yang dipakainya, lewat kartu tersebut. Inggris sudah memulai proyek kartu karbon di tahun 2006 silam. (http://www.guardian.co.uk/politics/2006/dec/11/uk.greenpolitics)
Pada tataran teknis, kartu tersebut akan digesek manakala seseorang membeli bensin, membayar tagihan utilitas energi ataupun memesan tiket pesawat. Tapi anda nggak bisa menggesek kartu tersebut seenak jidat karena ada limit karbon yang diberikan.
Kaitkan kartu karbon dengan skema The Great Zero Carbon. (baca disini, disini dan disini)
Apakah manusia dapat hidup dengan energi yang dibatasi? Apakah manusia dapat hidup dari makanan hasil rekayasa genetik yang tinggi kandungan glifosat yang dapat memicu kanker pada tubuh manusia? (baca disini dan disini)
Dengan kata lain, alasan kedua nggak lain adalah agenda utama mereka: depopulasi.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments